Kopi TIMES

Paradigma Pemikiran dan Kontinuitas Tradisi Intelektual di Pesantren

Rabu, 26 Januari 2022 - 09:14 | 105.31k
Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.
Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Menulis karya ilmiah harus diakui memang tidak mudah. Menekuni dunia tulis menulis membutuhkan spirit dan semangat pantang menyerah dalam merefleksikan ide-ide dan gagasan yang bersentuhan dengan realitas empiris keseharian kita. Tradisi intelektual ini penting untuk terus digelorakan karena menjadi faktor penting maju mundurnya sebuah peradaban.

Karya ilmiah sementara ini diidentikkan dengan dunia intelektual dan perguruan tinggi. Bagaimana dengan dunia tulis menulis atau tradisi intelektual di pesantren? Tulisan ini bermaksud menelusuri genealogi tradisi intelektual tersebut dan menunjukkan bahwasanya pesantren sangatlah akrab dengan dunia tulis menulis atau karya ilmiah. 

Kilas balik kesejarahan menunjukkan peran yang sangat signifikan dari kalangan para pemikir dan intelektual Islam di era klasik dalam menggerakkan roda sejarah peradaban. Warisan intelektual mereka di bidang penulisan bisa dinikmati dan diaplikasikan—tentunya yang relevan dengan konteks kekinian—di era kontemporer ini.

Adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i atau yang lebih dikenal dengan Imam Syafi’i yang  pertama kali mencoba merumuskan secara sistematis kaidah-kaidah filsafat hukum Islam di era klasik. Karya monumentalnya di bidang filsafat hukum Islam (Islamic Legal Theory/ Usul al-Fiqh) adalah kitab al-Risalah. Sementara di bidang Ilmu Fiqh beliau mengarang kitab al-Umm. Kedua kitab tersebut hingga kini masih dikaji di dunia pesantren. Ini menunjukkan bahwa sebuah karya ilmiah bisa dijadikan tolak ukur dari maju mundurnya dunia peradaban kita. 

Pemikir lain yang relevan untuk disebutkan di sini adalah Abu Nashr al-Farabi. Ia lebih dikenal sebagai seorang filsuf. Magnum opusnya yang terkenal berjudul al-Madinah al-Fadlilah (Kota/Negara Utama). Kitab ini merupakan syarah atau komentar atas buku salah seorang filsuf agung Yunani yang bernama Plato yang berjudul The Republic. 

Intelektual Islam lain yang patut diunggah adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali yang dikenal dengan sebutan Hujjatul al-Islam. Ketajaman penanya terlihat dari berbagai karya ilmiah yang dilahirkannya, seperti al-Mustashfa min Usul al-Fiqh (Usul al-Fiqh), Maqashid  al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah (Filsafat), Bidayah al-Hidayah (Etika), dan magnum opusnya Ihya’ Ulum al-Din (Tasawuf).

Terlepas dari latar belakang lahirnya berbagai kitab dan disiplin keilmuan tersebut, yang jelas dunia Islam melalui tradisi tulis menulisnya telah melahirkan pemikir-pemikir besar yang mampu memanggul peradaban Islam ke pentas global pada waktu itu. Dan tradisi inilah yang kini diteruskan oleh dunia pesantren di Indonesia.  

Meminjam bahasa Thomas S. Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution, maraknya aktivitas dunia tulis menulis bisa menjadi sebuah paradigma keilmuan yang mendorong terjadinya perubahan secara revolusioner dalam dunia keilmuan kita setelah melewati berbagai anomali-anomali yang saling kontradiktif satu sama lain. Di tangan para intelektual dan ilmuwanlah perubahan itu bisa diharapkan dan terjadi dengan membawa sebuah paradigma baru (new paradigm) yang lebih sesuai dengan kondisi kekinian. 

Tradisi intelektual tersebut secara kontinu terus dikembangkan dan digalakkan hingga kini di dunia pesantren. Tercatat dalam lembaran sejarah, tradisi ini telah melahirkan tokoh-tokoh besar dan pemikir cemerlang yang mampu menggerakkan roda sejarah keindonesiaan.

Untuk menyebut beberapa contoh misalnya, pertama, Hadratusyaikh K.H. Hasyim Asy’ari  dikenal sebagai mu’allif (penulis kitab) Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah di bidang akidah yang dijadikan pegangan oleh kalangan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), di samping banyak sekali kitab yang dikarang oleh beliau. 

Kedua, tradisi yang diwariskan sang kakek menurun kepada cucunya, yakni K.H. Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa dengan Gus Dur. Ketajaman penanya tak ada yang menyangsikan dan meragukan. Tulisannya tersebar di berbagai media. Di antara beberapa karya Gus Dur yang dibukukan adalah Tuhan Tidak Perlu Dibela (1999), Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat (2000), Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (2002). Sementara itu buah pena Gus Dur yang monumental adalah Islamku Islam Anda Islam Kita Masyarakat Agama Negara Demokrasi (2006) dan Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (2007). Dan masih banyak lagi karya-karya lainnya.

Ketiga, K.H. Said Aqil Siradj, sosok orator ulung dan Ketua Umum PBNU dua kali berturut-turut ini juga memiliki tradisi kepenulisan yang handal karena penguasaannya terhadap turats atau warisan pemikiran para ulama klasik yang sangat kaya itu. Karyanya yang sangat diapresiasi oleh masyarakat dan dunia akademik adalah Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi (2007). 

Keempat, K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau lebih dikenal dengan Gus Mus. Selain dikenal sebagai seorang Kiai, Gus Mus juga seorang budayawan dan penyair kelas wahid. Puisi dan syair mengalir deras dari kerja pikir dan olah hatinya yang cemerlang. Bukunya yang menarik untuk dijadikan bahan renungan dan instrospeksi diri masyarakat Indonesia adalah Saleh Ritual Saleh Sosial Kualitas Iman, Kualitas Ibadah, dan Kualitas Akhlak Sosial (2016). 

Kelima, K.H. Ahmad Baso adalah seorang intelektual muda NU yang sangat produktif dalam dunia tulis menulis. Berbagai karyanya sering dibedah dan didiskusikan baik di dunia akademik maupun dunia pesantren. Di antara karyanya yang menarik untuk dibaca adalah Civil Society versus Masyarakat Madani (1999), Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam (2002), Islam Pasca Kolonial (2005), NU Studies (2006), Pesantren Studies (2012), Islam Nusantara jilid 1 (2015), The Intellectual Origins of Islam Nusantara (2017), dan Al-Jabiri, Eropa dan Kita (2017). Pada tahun 2006, bukunya NU Studies sempat dibedah di Institut Agama Islam (IAI) Darussalam Blokagung. 

Dari beberapa deskripsi singkat di atas, terlihat bahwa ternyata dunia pesantren sangat akrab dengan dunia tulis menulis. Pesantren adalah gudangnya turats atau tradisi keilmuan Islam klasik yang kaya. Meski pesantren seringkali dicap sebagai pelestari ilmu-ilmu tradisional dan karenanya orientasi keilmuannya ke masa lalu, tetapi seiring perubahan dan perkembangan zaman, pesantren terus berbenah di setiap lini dan sistem pendidikannya. 

Dalam konteks ini dunia pesantren berpijak pada kaidah al-muhafazah ala al-qadim al-salih wa al-akhzu bi al-jadid al-aslah. Yakni menjaga tradisi atau turats klasik yang baik/relevan dan mengambil hal-hal baru yang ditawarkan dunia kekinian/modernitas yang lebih baik. Kaidah ini sekaligus menjadi pemantik bahwa dunia pesantren bukanlah dunia yang kolot, konservatif, dan emoh atau alergi terhadap perubahan dan perkembangan di luar pesantren. Tapi  sebaliknya, pesantren sangat peduli terhadap hal-hal baru atau inovatif yang bisa membawa perubahan positif di masyarakat sekitarnya. 

Dalam posisi ini, meminjam bahasa K.H. Ahmad Baso (2006) pesantren haruslah menjadi subyek (fa’il) dan bukannya obyek (maf’ul). Subyek dalam arti pesantren sendirilah—baik secara ontologis, epistemologis dan aksiologis—yang harus berbicara kepada dunia luar secara obyektif dan faktual tentang kondisinya yang sebenarnya. Dan bukannya dunia luar seperti kalangan orientalis yang kadang-kadang tidak terlalu memahami dan seringkali mendistorsi nilai signifikan dari pesantren sebagai jangkar kebudayaan dalam sejarah keislaman dan keindonesiaan kita.

Posisi subyek (fa’il) ini terlihat misalnya, dengan aktifnya tradisi intelektual di Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo dengan Ma’had Aly sebagai katalisator dalam dunia tulis menulis. Beragam karya ilmiah diproduksi untuk merespons perkembangan pemikiran Islam yang demikian pesat. Pesantren lain yang dapat dijadikan percontohan adalah pesantren Lirboyo Kediri yang juga gencar menerbitkan karya-karya ilmiah mereka di ruang publik keindonesiaan kita. Dan tentu saja ini belum pesantren-pesantren lainnya yang ada di Nusantara.

Dengan paradigma tradisi intelektual inilah kesan bahwa pesantren bercorak kolot, rigid, dan konservatif akan tertolak dengan sendirinya. Lahirnya penulis-penulis handal yang berasal dari dunia pesantren membuktikan bahwa pesantren berhasil memutus anomali-anomali taklidisme yang seringkali dicapkan ke lembaga tertua di Nusantara itu. 

Selain itu dekatnya relasi pesantren dan masyarakat makin membuktikan keabsahan pijakan pendekatan empiris (empirical approach) yang digunakannya sebagai basis ilmiah tradisi intelektual yang terus menerus dirawat dan dilestarikan. Sentusan langsung dengan problematika sosial kemanusiaan inilah yang juga membuat tradisi intelektual di pesantren selalu up date dan tidak usang, apalagi ketinggalan zaman.

Walhasil, salah satu upaya yang mendesak dan harus dilakukan adalah membudayakan dan menggalakkan kembali dunia tulis menulis secara kontinu (istiqamah) yang telah diwariskan oleh para pemikir dan intelektual besar Islam baik di masa lalu maupun era saat ini. Pesantren dan dunia tulis menulis merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. 

***

*)Oleh: Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES