Gaya Hidup

Mengenal Agus Tobron, Punya Tekad Hidupkan Seni Bantengan Hingga Mati

Selasa, 25 Januari 2022 - 00:06 | 171.27k
Agus Tobron bersama kepala bantengan yang sedang dibuatnya dan karya batik bantengan karya anaknya. (Foto: Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)
Agus Tobron bersama kepala bantengan yang sedang dibuatnya dan karya batik bantengan karya anaknya. (Foto: Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BATU – Menyebut nama Agus Riyanto mungkin masih ada yang kebingungan mengidentifikasi siapa dia. Tapi kalau kita sebut nama Agus Tobron, secepatnya mereka akan menjawab bahwa pemilik nama itu adalah laki-laki yang bertekad menghidupkan seni bantengan hingga mati.

Ya, Agus Tobron adalah seniman kesenian bantengan di Kota Batu. Di kalangan pecinta bantengan ia adalah pendekar bantengan yang bertugas mengendalikan banteng yang sedang trans dan menyembuhkannya.

Kepada TIMES Indonesia, Agus Tobron mengisahkan kiprah awalnya di kesenian ini. Laki-laki kelahiran 23 Agustus 1967 ini awalnya adalah seniman lukis. Ia pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Bahasa dan Sastra Unisma namun tidak sampai lulus.

“Menghidupkan bantengan itu anggen-anggen (angan-angan-red) saya dari dulu, apalagi dulu seni bantengan ini dulu sekitar tahun 2005 mati suri tidak ada aktivitas sama sekali,” ujar Agus Tobron.

Tobron sendiri sudah mengenal bantengan sejak kecil. Ia sering melihat kakeknya seorang pendekar Perguruan Pencak Silat memainkan seni bantengan. “Dahulu yang memainkan bantengan ini hanya orang dewasa, tidak ada anak-anak, kita hanya menonton permainannya,” ujarnya.

Agus Tobron a

Entah mengapa kesenian bantengan semakin meredup, hingga tahun 2006, ia berangan-angan menghidupkan kembali seni bantengan lewat sebuah festival.  Dia mengawali gerakannya dengan silaturahmi ke setiap sudut desa.

Ia menemui para pecinta seni bantengan yang memiliki kelompok bantengan, sekaligus mendata perlengkapan yang dimiliki. Dua tahun ia bergerilya mencari keberadaan kelompok bantengan hingga akhirnya tahun 2008 ia berhasil menghimpun 67 kelompok dalam sebuah Festival Bantengan Nuswantara .

Satu tahun kemudian, Festival Bantengan Nuswantara ini berhasil menembus jaringan seniman internasional, hingga akhirnya sejumlah seniman lintas negara ikut serta menyemarakkan Bantengan Nuswantara.

Bukan hanya menghidupkan seni ini lewat sebuah even, ia mencoba menggali sejarah seni bantengan ini. “Beberapa mbah yang masih hidup saya tanya, tapi mereka tidak tahu asal usul seni ini, termasuk saya selalu berkomunikasi dengan leluhur, ketika kita tanya, para leluhur tidak tahu, para pepunden juga tidak tahu, mereka tahunya ketika mereka masih hidup seni bantengan ini sudah ada,” ujarnya.

Namun dari penggalian ini, ada satu titik terang yang mengatakan bahwa sebenarnya seni bantengan ini sudah ada sejak Kerajaan Kanjuruhan berdiri. Sang Patih menggunakan seni ini untuk mengumpulkan massa.

Agus Tobron b

Pasalnya saat itu, kalangan muda sulit diajak untuk belajar ilmu kanuragan. Sang Patih yang juga seorang seniman mendapatkan wangsit agar masuk hutan untuk mencari binatang bertanduk yang bisa mengumpulkan massa, hingga akhirnya terciptalah seni bantengan ini.

“Karena itu saya ingin hidupkan bantengan sampai mati, di era teknologi, seni bantengan masih aktif, malah tambah gila. Seni ini milik kalangan miskin, ekonomi lemah, tempat ekspresi paling mudah dan merakyat,” ujar laki-laki.

Keluarga Tobron bukan hanya menghidupkan seni bantengan lewat permainan bantengan, namun anak sulung Tobron, Anjani Sekar Arum menghidupkan seni bantengan ini lewat karya batik. Ia membuat batik khas Kota Batu, batik bantengan.

“Saya tidak mengarahkan anak saya, tahu-tahu ia membuat seni batik bantengan dan berkibar sampai sekarang,” ujarnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES