Kopi TIMES

Kebijakan Presidential Threshold Merupakan Kebebasan Pembentuk Undang-Undang

Senin, 24 Januari 2022 - 19:20 | 119.91k
Bahaudin, Analis Politik dan Konstitusi Indonesia Public Institute (IPI).
Bahaudin, Analis Politik dan Konstitusi Indonesia Public Institute (IPI).

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketentuan ambang batas pengusulan calon Presiden dan Calon Wakil Presiden atau Presidential Threshold (PT) dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemilu) kembali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kebijakan tersebut dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Kali ini yang jadi Pemohonnya adalah Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, didampingi kuasa hukumnya Refli Harun. Ketentuan dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, intinya adalah pasangan calon Presiden dan calon wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Selain Gatot, beberapa tokoh yang mengajukan PUU ke MK diantaranya adalah Wakil Ketua Umum Gerindra Ferry Juliantono, anggota DPD RI Bustami Zainuddin dan Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi.  

Terhadap hal tersebut. Paling tidak ada dua hal penting yang menarik dicermati. Pertama, kebijakan politik hukum yang mengatur Presidential Threshold. Kedua, pandangan Mahkamah Konstitusi terkait aturan Presidential Threshold. 

Untuk poin pertama, praktik ketatanegaraan di Indonesia menunjukkan bahwa penerapan Presidential Threshold telah dipraktikkan sejak Pemilu Presiden tahun 2004 sampai Pemilu Presiden tahun 2019. Artinya, ketentuan tersebut sudah diterapkan di empat kali pelaksanaan Pemilu Presiden. Hanya saja yang jadi pembedanya adalah besaran prosentase ketentuan Presidential Threshold tersebut.

Pada Pemilu Presiden tahun 2004, ketentuan Presidential Threshold sebesar adalah 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, (vide Pasal 5 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan pada Pemilu Presiden 2009, 2014 dan 2019, ketentuan Presidential Threshold naik menjadi 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional (vide Pasal 9 UU 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017). 

Kemudian untuk poin kedua adalah pandangan hukum Mahkamah Konstitusi. Terkait ketentuan Presidential Threshold, Ketua MK Anwar Usman menjelaskan paling tidak, MK telah memutuskan 13 permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) terhadap perkara ini. Bahkan Hakim MK Arief Hidayat menjelaskan bahwa MK, telah memutus 17 perkara terkait ketentuan Presidential Threshold.  

Lantas bagaimanakah Putusan MK terkait ketentuan Presidential Threshold?

Hingga kini belum ada Permohonan Pemohon yang dikabulkan. Mahkamah Kontitusi memutuskan bahwa kebijakan Presidential Threshold sama sekali tidak bertentangan dengan Konstitusi karena merupakan kebijakan yang diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945 yang sifatnya terbuka. Konsistensi pandangan Mahkamah Konstitusi tercermin jelas dalam Putusan MK No. 51-52- 59/PUU-VI/2008, Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017. 

Dalam Putusan MK No. 51-52- 59/PUU-VI/2008, Mahkamah berpendapat bahwa Kebijakan syarat perolehan suara 20% (dua puluh perseratus) dari kursi DPR atau 25% (dua puluh lima perseratus) perolehan suara sah nasional dalam Pemilu DPR, merupakan kebijakan hukum (legal policy) terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang menentukan,”Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”. Sehingga tata cara sebagai prosedur Pemilihan Presiden/Wakil Presiden sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan dalam pelaksanaan Pemilu adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan threshold yang diamanatkan dalam UUD 1945. 

Begitu juga dalam Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017 dengan Pemohon Partai Idaman yang mendalilkan ketentuan PT dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Konstitusi, MK kembali menegaskan bahwa penentuan ambang batas minumum perolehan suara parpol untuk dapat mengusulkan capres-cawapres adalah kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Sehingga dari sinilah bisa kita paham bahwa adanya ketentuan ambang batas Presidential Threshold merupakan kebijakan hukum terbuka yang konstitusional. 

DPR dan Pemerintah Sebagai Pemegang Kekuasaan Pembentuk Undang-Undang

Ketentuan dalam Pasal 6A ayat (2) dan ayat (5)  UUD NRI Tahun 1945 telah jelas memuat siapa subjek hukum yang diberikan kewenangan untuk mengusulkan pasangan calon Presiden-Wakil Presiden dan juga tata cara pelaksanaan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden. Subjek hukumnya adalah partai politik atau gabungan partai politik. Sedangkan delegasinya atau tata cara pemilihan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang. 

Konstitusi sebagai hukum dasar tertulis tertinggi menegaskan bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang ada pada Presiden (Pasal 5 ayat (1) 1 UUD NRI Tahun 1945) dan pada DPR RI, Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dari konstruksi hukum inilah bisa dipahami bahwa memang terbuka peluang dalam proses legislasi untuk memaknai apa saja syarat calon Presiden, termasuk di dalamnya ketentuan Presidential Threshold. 

Pada bagian lain MK juga menegaskan bahwa lembaganya tidak memiliki kewenangan dalam menilai praktik dan dinamika politik yang terjadi selama proses berlangsungnya pembentukan undang-undang, termasuk di dalamnya jika ada dinamika politik yang menyebabkan adanya beberapa fraksi walk out.

Dalam pandangan MK, hal tersebut sama sekali tidak menyebabkan substansi atau materi muatan suatu UU menjadi inkonstitusional, melainkan hanya menunjukkan tingkat penerimaan materi UU yang bersangkutan. Dalam artian bahwa persetujuan terhadap materi UU tersebut tidak diperoleh aklamasi. Mahkamah berpendapat bahwa pembentukan UU, termasuk soal Presidential Threshold, adalah keputusan politik dari suatu proses politik lembaga negara yang diberikan kewenangan konstitusi, yakni DPR dan Presiden. 

***

*)Oleh: Bahaudin, Analis Politik dan Konstitusi Indonesia Public Institute (IPI).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES