
TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Tanggal 23 Januari 2022 Megawati Soekarnoputri berulang tahun ke-75. Umur panjang yang patut disyukuri. Bukan hanya keberkahan kesehatan dan hal-hal yang membahagiakan bagi keluarga besarnya. Juga, bagi keluarga besar bangsa Indonesia. Kiprah dan peran Megawati dalam kehidupan bangsa dan negara sangat besar. Pengalamannya unik dan menarik. Kita layak belajar dari caranya memandang dan menyelesaikan persoalan.
Megawati Soekarnoputri tumbuh dalam situasi dan kondisi yang memilukan. Tak terbantahkan bahwa Bung Karno, ayahandanya, sangat berjasa bagi bangsa dan negaranya. Pikiran, tindakan, dan pengabdiannya sangat besar. Tapi, hari-hari terakhir Bung Karno tragis. Sangat memilukan, terutama bagi keluarga. Saya kira, pengalaman pahit itulah modal awal Megawati tatkala memilih jalan politik untuk meneruskan pikiran dan tindakan besar ayahnya. Pengalaman itu tak lain kesabarannya, yang membuat Presiden ke-5 RI itu tak kenal istilah “kalah” dan “lelah” dalam berpolitik.
Kesabaran itu terbentuk oleh sudut pandangnya. Menurut saya, Megawati adalah sosok politikus yang lebih dekat pada model rasionalitas substantif dalam perspektif Weber. Politik dihayati sebagai pelaksanaan prinsip keyakinan dan pencapaian idealisme. Jalan politik dipahami sebagai jalan pelayanan dan pengabdian kepada rakyat, bangsa dan negara. Bekerja demi publik. Bukan pribadi, bukan pula kelompok. Ada keteladanan dan etika, yang berimplikasi pada pendidikan politik.
Maka, persekutuan yang terbentuk pun mestilah bersifat positif, lalu menjelma menjadi energi hidup bersama, gotong royong. Sudut pandang ini pula yang diwariskan ayahnya bersama tokoh pendiri bangsa yang lain. Misalnya, saat perumusan Pancasila, dari pidato Soekarno 1 Juni 1945 pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) hingga perumusan final yang kita kenal sekarang.
Berbeda dengan rasionalitas substantif, politikus model rasionalitas formal. Politik dihayati semata-mata sebagai pragmatisme meraih kekuasaan. Etika dan nilai-nilai substantif yang luhur akan diperhatikan sepanjang mendukung upaya meraih kekuasaan.
Perjalanan Megawati terjal dan berliku. Menyandang nama besar Soekarno tentu saja berat. Kesabarannya diuji tatkala rezim Soeharto (Orde Baru) mulai memusuhinya. Tepatnya, ketika dia mulai memilih jalan politik untuk memuliakan pikiran dan ajaran ayahnya. Tatkala dia mulai melembagakan pikiran dan ajaran Bung Karno di dalam partai politik. Dan, Megawati melawan. Dia menentang politik de-Soekarnoisasi yang dijalankan rezim Soeharto. Meski terjal dan berliku, Megawati menjalaninya dengan langgam seorang ibu yang lembut dan penuh kesabaran. Sejarah akhirnya mencatat, Megawati lah politikus perempuan Indonesia pertama yang berhasil mencapai puncak kekuasaan (presiden) di republik yang diproklamasikan oleh ayahnya bersama Bung Hatta.
Kesabaran menjadi kata kunci. Kesabaran itulah yang mempertemukan antara “otak” dan “hati”. Yang mendialektikakan antara “realita” dan “idea”. Lalu, menemukan penghayatan bahwa politik bukan sekadar pragmatisme memperoleh kekuasaan. Politik adalah jalan pengabdian kepada nilai-nilai luhur, seperti keadilan sosial, kesejahteraan, kemakmuran, kedaulatan rakyat, persatuan-kesatuan. Nilai-nilai itu tidak bisa direduksi sekadar alat maksimalisasi perolehan kekuasaan. Ujung dari politik memang kekuasaan. Tapi, kekuasaan haruslah menjamin pemenuhan nilai-nilai substantif tersebut. Maka, politik yang dihayatinya tak lain adalah manifestasi kecintaannya pada rakyat. Yang saya tangkap, bagi Megawati, politik itu merawat, bukan membabat.
Karena itu, Megawati tak mengenal istilah “kalah”. Tak ada kata “lelah”. Perjuangan nilai-nilai substantif melalui jalan politik tak boleh berhenti hanya karena kekalahan kontestasi politik. Dia membuktikan. Kekalahan dalam pemilihan presiden dua kali berturut-turut tak membuatnya surut. Banyak orang mengira bahwa Megawati dan partai asuhannya akan habis pasca kekalahan pada pemilihan presiden 2004 dan 2009. Ternyata salah. Kekalahan, baginya, bukan untuk diratapi. Kekalahan itu dilakoninya dengan penuh kesabaran, kecerdasan, keteladanan, dan optimisme.
Megawati membuktikannya. Dengan kesabaran, kecerdasan, keteladanan, dan optimisme, dia membangkitkan kader-kadernya. Hasilnya, partai politik asuhannya memenangi pemilu berikutnya dua kali berturut-turut (2014 dan 2019). Sekaligus berhasil mempersembahkan kadernya, Joko Widodo, menjadi presiden dua periode. Megawati pula politikus paling berpengaruh hari ini. Di samping Joko Widodo yang juga kadernya.
Namun, tantangannya juga sangat berat. Baginya, kekuasaan politik mestilah substantif. Bukan sekadar partai politik memenangi kontestasi. Bukan cuma kader memenangi pemilihan presiden. Soal substantif inilah yang senantiasa diingatkan Megawati kepada kader-kadernya maupun kepada bangsa Indonesia pada umumnya.
Karena itu, dia sangat bersemangat berbicara Pancasila sebagai ideologi negara. Termasuk mendorong berdirinya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Juga menghubungkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan Pancasila. Yang berujung pada pembuatan UU 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Kenyataannya, kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi masih terjadi di banyak wilayah Indonesia. Solidaritas sosial dan semangat gotong royong juga tampak melemah. Separatisme dan radikalisme beragama menjadi duri dalam daging Indonesia sebagai negara kesatuan. Semua itu berhubungan erat dengan Pancasila sebagai ideologi negara yang belum membumi. Berhubungan erat pula dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita pelajari dan kembangkan, yang masih berjarak dengan nilai-nilai Pancasila.
Berat, tidak mudah! Mengelola Indonesia tidak cukup dengan kecerdasan. Butuh kesabaran. Juga keteladanan. Kita bisa belajar dari kepemimpinan politik Megawati: merawat dengan kesabaran. **
*) Penulis, Andang Subaharianto, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Dapatkan update informasi pilihan setiap hari dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.
**) Dapatkan update informasi pilihan setiap hari dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |