
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Taklid barangkali merupakan lema yang paling dekat untuk mendeskripsikan tingkat pemahaman masyarakat kita terhadap ajaran agama maupun wawasan ilmu pengetahuan. Hal ini bisa dipahami karena tak sedikit di antara kita masih berada di zona awam yang oleh Sidney Hook, filsuf Amerika Serikat, disebut sebagai “eventful man”. Ulasan menarik seputar sang filsuf sekaligus istilah itu bisa Anda simak di kiriman Gus Ulil Abshar Abdalla pada akun Facebook-nya yang bertajuk “Manusia, Sejarah, dan Akidah Asy’ariyah”.
Namun demikian, bukan berarti taklid harus selamanya dimaklumi; ia mesti dikikis pelan-pelan. Apa sebab? Berdikari dalam hal belajar dan tidak menelan informasi mentah-mentah merupakan upaya yang positif untuk terus menghamba pada dzat yang pantas dihambai: Sang Pencipta.
Pertanyaannya adalah, apakah taklid memang tak semestinya diberi ruang dalam sendi-sendi kehidupan? Atau sebaliknya, ada ruang-ruang taklid yang tak perlu kita selami anasir-anasir epistemologisnya?
*
Ada sebuah cerita menarik yang saya alami bersama seorang kawan. Kala itu kami tengah sowan pada seorang kiai—yang lebih akrab disebut “bindereh”. Sebagaimana tamu-tamu lainnya, kami berkeluh kesah seputar hal-hal yang kami alami, mulai dari yang biasa saja, agak biasa, hingga yang benar-benar serius. Kami tak ubahnya rombongan pasien yang mengantre berobat pada seorang dokter. Dan memang benar, setelah menyimak cerita-cerita kami satu per satu, sang bindereh akan memberikan “resep obat” berupa wawasan fikih, beberapa pil tasawuf, suntikan motivasi, atau amalan-amalan yang relevan.
Di tengah-tengah perbincangan, tak jarang bindereh menyisipkan informasi terkait suatu hal yang bisa dikatakan tak lazim bagi khalayak umum. Misalnya—yang saya dan teman saya terima—adalah bahwa Allah itu “api”, sehingga, kata bindereh, semua makhluk takkan sanggup bersua dengan-Nya—bahkan Jibril atau Rasulullah sekalipun. Beliau beralasan bahwa Tuhan merupakan Dzat yang Mahadahsyat, dan kedahsyatan tersebut membuat para makhluk tak kuasa menghadap-Nya. Api, yang saya pahami, merupakan ilustrasi yang bindereh pilih untuk menyederhanakan pernyataanya; jika seseorang mendekati api, maka ia akan terbakar. Sekalipun mungkin tujuannya untuk memahamkan orang-orang awam, tapi tetap saja itu merupakan pernyataan yang menggelitik, dan saya tak lantas sepakat dengannya. Jika dikatakan bahwa “Allah itu ‘api’”, maka itu sama saja menyamakan Tuhan dengan benda. Padahal, Dialah yang menciptakan benda-benda. Tentu ini bertentangan dengan QS 41: 11 yang menyatakan bahwa “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” Saya berusaha meminta penjelasan lebih detail, tapi tetap saja tak bisa melegakan pikiran.
Sebagaimana umumnya masyarakat awam saat mendapatkan “pengetahuan” baru, tamu-tamu di situ—termasuk teman saya—hanya mampu mengangguk takzim dan seakan-akan ingin berkata, “Ilmu saya belum sampai sana, maka saya hanya bisa menerimanya.” Jika hal ini dipraktikkan oleh seorang pembelajar, maka setidaknya akan menghasilkan dua konsekuensi. Pertama, ia meyakini pernyataan tersebut. Kedua, ia akan mencukupkan diri untuk tidak memverifikasi karena tak ada gejolak pertanyaan di kepalanya.
Bagi saya pernyataan bindereh di atas termasuk ilmu, bukan laku-spiritual. Karena ia ilmu, maka ia mesti dicari rujukannya, rasionalisasinya, bukti empirisnya—jika diperlukan, serta boleh digugat. Ini tentu berbeda dengan laku-spiritual yang merupakan aplikasi dari “ijazah” yang diberikan seseorang. Ia tak memerlukan rasionalisasi dan tak perlu diperdebatkan.
Setelah kami undur diri, di tengah perjalanan pulang teman saya menyampaikan uneg-unegnya, “Kelihatannya kamu kurang percaya pada bindereh,” sergahnya. “Kalau kamu keberatan dengannya, bukannya amalan-amalan yang beliau kasih bakalan sia-sia?” Sepertinya teman saya ini menyadari ketidakpuasan saya. “Aku percaya sama amalan yang beliau kasih, tapi soal pernyataan [‘Allah itu api’] tadi, aku nggak bisa sepakat.” Tentu saja. Menurut saya pernyataan bindereh itu akan mudah disalah-pahami. Mencampur-adukkan antara ilmu dan laku-spiritual yang jelas-jelas memiliki ranah yang berbeda.
*
Seorang pembelajar semestinya mampu membedakan mana yang termasuk ilmu dan mana yang termasuk laku-spiritual. Ketika ia membincang soal ilmu, maka ia mesti skeptis jika mendapati sesuatu yang ganjil, gelisah saat disodori pertanyaan tanpa mengantongi jawaban, dan sangsi menakala menyerap informasi yang berlawanan. Selanjutnya ia perlu mengeksplorasinya melalui berbagai cara: bertanya, membaca, merenung, maupun berdialektika. Tetapi ini tak berlaku pada laku-spiritual; ia cukup diterima dan dipraktikkan sebagaimanya adanya. Di titik inilah taklid bekerja.
Betapapun skeptis sudah menubuh dan mendarah daging dalam diri Anda, jika itu urusan laku-spiritual, maka sikap tersebut seyogianya Anda istirahatkan, karena meyakini “ijazah” untuk diamalkan merupakan syarat mujarabnya amalan tersebut dengan taklid sebagai rukunnya. “Bagaimana bisa?” Ah, ternyata Anda masih saja tidak percaya. Padahal, seperti yang saya katakan, syarat manjurnya “ijazah” adalah yakin dan rukunnya adalah taklid. Tersebab Anda ragu, pada akhirnya Anda tidak akan mengamalkannya. Jika tidak diamalkan, apakah khasiat “ijazah” tersebut akan menjadi nyata?
Taklidlah dalam hal-hal amalan-amalan, jangan ilmu pengetahuan.
*) Penulis, Iqbalul Mu'id
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Dapatkan update informasi pilihan setiap hari dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.
**) Dapatkan update informasi pilihan setiap hari dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |