Kopi TIMES

Moderatisme NU Terhadap Lintas Keagamaan

Kamis, 20 Januari 2022 - 18:31 | 116.56k
Tauhedi As’ad, Mahasiswa Program Doktor UINKHAS Jember, dan pengurung Lesbumi PCNU Jember serta Pengurus Cabang Barisan Kader (Barikade) Gusdur kabupaten Jember.
Tauhedi As’ad, Mahasiswa Program Doktor UINKHAS Jember, dan pengurung Lesbumi PCNU Jember serta Pengurus Cabang Barisan Kader (Barikade) Gusdur kabupaten Jember.

TIMESINDONESIA, JEMBER – Di Munas Ulama NU 2019 salah satu usulan yang marak di media sosial adalah penyebutan kata kafir dihapus dengan kata non muslim dalam konteks kewarganegaraan. Di kalangan muslim sendiri, menuai perdebatan terkait usulan hasil munas NU, ada yang tidak sepaham lalu mengeluarkan surat al-Kafirun, ada yang mengapresiasi karena bersumber dari teks primer yaitu dari kitab-kitab mu’tabarah. Karena itu, struktur sosial NU semakin kuat mendapatkan legitimasi dari masyarakat muslim secara umum bahkan semakin berani memberikan terobosan baru didalam mengungkap pesan-pesan keagamaan yang sejatinya demi menaburkan nilai-nilai agama ke dalam kehidupan sosial.

Sebagai warga Negara yang sah, tidak perlu ada konotasi negatif terhadap agama lain dengan ungkapan-ungkapan kafir, pelabelan kosa kata kafir yang termaktub dalam al-Quran harus berdasarkan konteks realitas masyarakat tertentu tanpa mengubah ayat-ayat atau menafikan surat-surat tertentu pula. Bahkan dalam pandangan fiqih, tipologi kafir bagi ummat lain di Indonesia tidak masuk di dalamnya karena disebut sebagai warga Negara.

Penulis tidak membahas proses dan hasil Bahtsul Masail Munas ulama NU sebagaimana telah ditayangkan oleh media sosial. Penulis menggali ulang paradigma kafir sebagai fakta sosial yang intimidatif dengan sarat diskriminasi teologis didalam kehidupan etika keagamaan.

Wacana kafir disematkan kepada mereka di luar golongan agama tertentu, atau tidak mengakui hasil kontrak sosial terhadap realitas keagamaan yang ada dengan dominasi tafsir sehingga kepentingan penafsir semakin kuat. Jika konsep kafir sebagai ideologi masyarakat milik agama tertentu, maka pemahaman tentang tafsirul-Quran penuh bias ideologis karena merespon budaya keagamaan tertentu. Tentunya interpretasi kafir dalam lingkup hubungan kemanusiaan tidak relevan dalam konteks manusia kontemporer, sebab perkembangan realitas sosial keagamaan khususnya masyarakat Indonesia memiliki kesamaan derajat atau menerima hak dan kewajiban yang sama.

Secara historis, Islam lahir di Arab Mekkah ke Madinah dengan tipologi yang berbeda, dan tipologi masyarakat tersebut berbeda karena realitas masyarakat yang dihadapinya juga berbeda. Realitas masyarakat Mekkah tidak memiliki kitab suci (semitik) dan bergantung kepada kekuatan kepala suku, maka ayat-ayat yang turun di Mekkah yang berbunyi ‘Wahai Manusia’. Pesan kemanusiaan universal yang dibangun tanpa adanya intimidasi-diskriminatif yang berbaur dengan suku, agama, ras dan antar golongan, maka sangat relevan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Dengan demikian, realitas masyarakat Mekkah sebagai fakta sosial untuk membangun humanisme manusia yang lebih baik tanpa adanya peperangan. Perjuangan Nabi Muhammad dengan berlumuran darah karena sikap masyarakat Arab Mekkah yang antipatif terhadap ajaran Nabi Muhammad sehingga Nabi Muhammad mencoba untuk pindah tempat ke suku lain tapi akhirnya juga tidak mempan untuk perubahan sikap-transformatif kesadaran masyarakat yang lebih baik. Disinilah dalam pandangan sejarah, bahwa masyarakat Arab Mekkah dihuni dan disebut Kafir Quraisy.
 
Berbeda dengan realitas masyarakat Madinah, masyarakat Madinah tergolong masyarakat berpendidikan karena masyarakatnya memiliki kitab suci, bahkan penduduknya sangat beragam baik penduduk pendatang maupun pribumi serta ada agama Islam, Kristen dan Yahudi. Ayat-ayat yang turun di Madinah yang berbunyi “wahai orang-orang mukmin’, wahai orang-orang munafiq. Tipologi masyarakat Madinah bercorak dikotomik-diskriminatif dengan cara balas membalas, siapa kawan dan lawan secara politis. Di Madinah memperbolehkan peperangan dengan syarat-syarat tertentu, maka Nabi Muhammad membangun kekuatan politik kebangsaan di Madinah dengan model satu ummat sebagaimana termaktub dalam Piagam Madinah.

Didalam Piagam Madinah cakupan ummat bisa digunakan dalam dua model, (1) untuk menyebut komunitas seagama, misalnya umat Islam, umat Nasrani, umat Yahudi, dan sejenisnya (pasal 1), (2) juga digunakan untuk menyebut komunitas pluralistik yang terdiri dari perbagai agama, ras, dan suku namun tergabung dalam satu kesatuan sosial poltik, misalnya seluruh warga Negara Madinah disebut sebagai satu Ummat (pasal 25).

Dengan demikian, masyarakat Madinah membangun kekuatan politik kebangsaan yang diikat dengan kata satu ummat sebagaimana yang diatur dalam Piagam Madinah tersebut. Tidak ada alasan lain untuk membangun etika keagamaan tanpa adanya penyebutan kafir yang berkonotasi negatif terhadap non muslim yang sebenarnya sama-sama sebagai warga Negara.

Pesan-pesan moral Piagam Madinah akan menjadi cerminan nilai-nilai etika keagamaan bagi umat Islam di Indonesia didalam konteks bernegara dan berbangsa. Ummat beragama di Indonesia diberikan hak legitimasi untuk menjalankan agamanya masing-masing dan sama-sama menjaga hubungan baik dengan agama lain karena bagaimanapun juga, di Negara kita bukanlah Negara agama maupun Negara kafir melainkan Negara demokrasi berdasarkan asas pancasila.

Tidak heran jika para kiai-kiai NU dahulu dan sekarang selalu mengedepankan berpikir moderat yang maslahat baik pada sisi wacananya maupun mempertahankan ideologi Negara dan NKRI berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karenanya, kekafiran seseorang tidak hanya terletak pada aqidah tertentu akan tetapi menyangkut semua hal yang menutupi kebenaran itu sendiri. Etika keagamaan akan mencerminkan pribadi baik terhadap komunitas agama lain yang didasari dengan bahasa yang halus dan sikap yang santun tanpa menyakiti agama lain, bahkan hukumnya haram jika menyakiti sesamanya. Waallahu A’lam  

***

*) Oleh: Tauhedi As’ad, Mahasiswa Program Doktor UINKHAS Jember, dan pengurung Lesbumi PCNU Jember serta Pengurus Cabang Barisan Kader (Barikade) Gusdur kabupaten Jember.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES