Kopi TIMES

Bayangan Cermin Negeriku

Kamis, 20 Januari 2022 - 16:25 | 321.02k
Zahid Ilyas/Dosen FKH-IPB, Penulis Lepas.
Zahid Ilyas/Dosen FKH-IPB, Penulis Lepas.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ini sekelumit kisah tentang perjalanan imajinatif saya ke sebuah negeri nun jauh di sana. Negeri nan amat indah dengan penduduknya yang ramah dan kekayaan sumberdaya alam melimpah. Negeri yang karena keelokan dan pesonanya membuat banyak bangsa lain tergiur dan diam-diam saling berebut untuk memangsa tubuhnya. 

Sayang, negeri itu kini sedang karut marut dirundung krisis multidimensional: ekonominya terpuruk, angka kemiskinan membengkak, daya beli masyarakat bawah kian melemah, kriminalitas meningkat, korupsi semakin marak, penerapan hukum tak tegak, kondisi sosial-politiknya hiruk pikuk, banyak proyek yang mangkrak, dan hutang pun kian membengkak. Soal ketimpangan sosialnya? Tentu saja, nyaris sempurna!

Celakanya lagi, para penguasa di negeri itu masih saja abai akan bahaya dahsyat yang siap menghadang negerinya di depan! Mereka terlena bermain di gelanggang politik murahan, yakni sekedar bagaimana bisa berkuasa dan mengamankan kekuasaan semata. Asyik Bercengkrama dengan elite di lingkaran kekuasaannya saja sambil mendengarkan senandung merdu dari para pemujanya. Mereka lupa - entah karena mabuk kekuasaan - bahwa tujuan ideal berpolitik sejatinya adalah bagaimana menggunakan kekuasaan untuk menghadirkan kehidupan yang lebih tertib, aman, adil dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.

Di negeri itu, saya sempat menyaksikan ada sekelompok orang yang tak jelas apa sebenarnya kesalahan mereka, diciduk lalu dipenjarakan dengan mudahnya. Sementara ada kelompok lain yang secara kasat mata melakukan perbuatan salah, setidaknya menurut ukuran pendapat normal orang kebanyakan di sana, tetap dibiarkan bebas berkeliaran dan menyalak sesukanya. Seperti biasanya, pihak aparat penegak hukum memberikan klarifikasi untuk menepis anggapan perlakuan diskriminatif atas kedua peristiwa tersebut. Begini keterangannya. 

Soal mengapa kelompok yang satu ditangkap, itu karena mereka diduga memiliki rencana melakukan perbuatan melawan hukum (maaf, jenis perbuatannya sendiri tak diungkapkan dengan jelas) yang konon berpotensi memicu terjadinya kegaduhan sosial. Sementara kelompok yang lain dibiarkan bebas karena, kata pihak aparat, mereka tak menemukan unsur kesengajaan atau niat jahat dari para pelakunya. 

Aneh bin ajaib, pikir saya. Dari sisi perspektif keadilan dan kebenaran, tentu saja, penjelasan tersebut sulit diterima akal sehat. Bagaimana mungkin sebuah rencana perbuatan, apalagi rencana itupun baru sekedar dugaan atau tuduhan sepihak aparat, bisa dengan mudah dijadikan alasan untuk menciduk seseorang.  Sebaliknya, atas perbuatan salah (jahat) yang terang benderang dilakukan oleh kelompok lain justeru pihak aparat seakan amat kesulitan menemukan alasan buat menangkapnya.  Apakah di negeri ini memang ada sekelompok orang tertentu yang dipaksa harus bernasib malang, sengaja dibuat sedemikian rentan terjerat pasal-pasal hukum, sementara kelompok lainnya diperlakukan istimewa sebagai kelompok yang kebal hukum?

“Ya, begitulah hukum rimba kekuasaan, bung! Mereka yang sedang berkuasa boleh ‘mengatur permainan’ sesukanya, tak peduli itu akan menabrak aturan yang ada. Mereka kerap menutup mata atas banyak kesalahan yang dilakukan oleh kelompoknya sendiri, tetapi sangat awas jika ada sedikit saja kesalahan dari kelompok lainnya. Jangan kau tanyakan pula soal keadilan dan kebenaran di sini. Sebab, ukuran salah dan benar tinggal tergantung dimana posisi seseorang berada. Kawan atau lawan!” begitu penjelasan sahabatku di sana ketika saya meminta pendapatnya mengenai kedua peristiwa tersebut.

Saya mencoba mencermati lebih dalam lagi kondisi negeri itu. Amat miris, memang. Jarang sekali saya melihat wajah bening para elit pemimpinnya, apalagi bernas dan menyejukkan tutur katanya.  Mereka umumnya gemar melakukan pencitraan, dan amat bersemangat menarasikan keberhasilan berbagai programya meski sering tanpa disertai tolok ukur yang memadai. Jika ada kritik atau koreksi dari pihak yang dianggap berseberangan, mereka merespon dengan gaya yang sangat khas: garang, arogan, dan serampangan. O ya, di negeri itu juga ternyata banyak buzzer peliharaan yang siap menyalak 24 jam jika ada yang berani mengganggu tuannya.  

Sebagian besar media mainstream di sana juga terasa membosankan dan menyebalkan. Ambyar! Alih-alih jadi pilar demokrasi, banyak media malah ikut menjadi partisan kekuasaan. Layar kacanya pun kering kerontang. Saban hari tayangannya dipenuhi sinetron murahan, dagelan kering, dan riuh celoteh para politisi begundal sambil mulutnya tak henti mengunyah remah-remah kekuasaan.

“Di sini tak sedikit pula kaum cerdik pandai yang sudah mengubur akal sehatnya, hingga mereka tampak menjadi sangat bodoh dan tak mampu lagi menggelengkan kepalanya di hadapan para penguasa,” kata sahabatku lagi.

”Lalu, bagaimana kondisi masyarakat di bawah?” tanya saya.

“Sejauh ini mereka tampaknya lebih memilih bungkam. Diam, sambil menyimpan geram di relung hatinya yang terdalam. Mungkin cuma itu satu-satunya cara mereka bertahan, agar masih punya sisa kesabaran menyaksikan keadilan yang tak pernah ditegakkan dengan benar dan kebenaran yang tak ditegakkan dengan adil. Ya, keadilan dan kebenaran yang hanya ditakar oleh rasa suka dan kebencian,” jawab sahabatku dengan air muka tampak prihatin dan kecewa akan situasi yang ada. Cilaka dua belas, pikir saya. 

“Bisakah negerimu terus bertahan dengan kondisi seperti ini?” tanya saya lagi. 
“Tidak! Tidak mungkin!” sanggahnya tegas.
“Bung suka baca sejarah?” dia balik bertanya, dan saya hanya meresponnya dengan gelengan kepala. 

“Dalam lembaran sejarah banyak dikisahkan tentang para penguasa yang terus meregangkan tali busur kezalimannya. Mereka tarik tali itu sesukanya, melesatkan anak-anak panah dengan amarah dan sikap pongah kepada siapapun yang berani mengusik singgasananya.”
Dia berhenti sejenak untuk menyalakan sebatang kereteknya, lalu melanjutkan lagi.

“Syahwat kekuasaan, ketamakan dan kecemasan saling berkelindan, membelit akal sehat dan merabunkan penglihatan mereka. Hingga tiba saatnya, ketika tali busur itu terus dan terus diregangkan untuk melesatkan anak panah yang kesekian, maka itu menjadi anak panah terakhir yang membuat mereka jatuh terperosok ke dalam lubang hitam sejarah. Jatuh bersama tali yang putus dan busur yang patah.”

”Apakah itu menjadi semacam hukum alam yang berlaku universal, tanpa terikat ruang dan waktu? Maksudku bisa menimpa kekuasaan siapapun, dimanapun dan kapanpun?” tanya saya penasaran.

“Tentu saja bisa”, jawabnya tegas dan meyakinkan, “Sebab sekokoh apapun bangunan kekuasaan yang disangga tiang-tiang kezaliman, kebenaran akan selalu menemukan jalan buat meruntuhkannya!”  

“Cepat atau lambat, itu pasti terjadi. Coba bung tengok kisah Namrud, Firaun, Mussolini, Hitler, Nicolae Ceausescu atau mungkin sejarah tragis kekuasaan yang lebih belakangan lagi. Kurang kuat dan hebat apa mereka di masanya? Toh, akhirnya hancur juga. Begitu memang sunnatullahnya, bung!” sambungnya lagi.

Menjelang saya pamit pulang, sahabatku itu kembali menambahkan, “Ingat bung, bukan karena kebodohan atau kemelaratan. Bukan pula karena alasan sains dan teknologi yang tertinggal seperti yang sering didengungkan orang-orang pintar itu, melainkan kezaliman demi kezalimanlah yang dapat menghancurkan bangunan peradaban!”

“Astaga, kezaliman seperti apakah yang bisa memiliki daya rusak sedahsyat itu?” tanya saya setengah terkejut.

“Kezaliman yang terus dibiarkan dan kemudian menjadi sistemik! Mereka yang memiliki otoritas untuk meluruskannya justeru menjadi bagian, bahkan menjadi simpul utama dari kezaliman tersebut. Itulah!” jawabnya singkat dan tegas mengakhiri percakapan.     

Saya benar-benar terpukau menyimak kata demi kata yang dilontarkan sahabatku pada pertemuan singkat kala itu. Pesannya amat dalam dan menghujam. Namun hal itu pula yang kemudian membuat saya menjadi sangat cemas belakangan ini.  Cemas, bukan karena mengkhawatirkan gerangan apa yang bakal terjadi di negeri sahabatku itu nanti. Tetapi saya merasa sangat cemas karena melihat negeri itu, negeri imajiner nun jauh disana, seperti melihat bayangan cermin negeriku sendiri. Ah, semoga ini tetap hanya imajinasi belaka!! 

“Ayo lekas diseruput kopinya, mas. Nanti keburu dingin!” teriak isteriku dari ruang tengah, membuyarkan pikiranku.

***

*)Oleh: Zahid Ilyas, Dosen FKH-IPB, Penulis Lepas.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES