
TIMESINDONESIA, MALANG – IDE yang dilontarkan awal oleh Presiden tentang perpindahan ibu kota negara awalnya memunculkan berbagai ketegangan bahkan melahirkan beragam spekulasi pemikiran sehingga ada beberapa daerah yang tiba tiba tampil menawarkan diri tentang kelayakannya dijadikan ibu kota negara dengan kajian argumentatifnya tak terkecuali kabupaten Malang pun sempat membangun wacana kelayakan tersebut.
Secara kajian kesejarahan di forum kecil yang tak terpublikasi penulis membangun ruang diskusi tentang lontaran ide tersebut maka muncullah imajinasi tentang kota Penajam Paser yang kala itu penulis pun sangat asing tentang sebutan itu tetapi yang menarik adalah ada bekas kesejarahan yang memiliki catatan atas peradaban nuswantara yaitu kerajaan Kutai (400M) maka saat itu terbersit wilayah Kalimantan, dengan kajian yang saat itu minim referensi maka muncul keyakinan bahwa di wilayah itulah ruang energi besarnya akan dibangunnya ibu kota negara, tetapi lepas dari segala kajian keilmuan yang akademis penulis memandang inilah akan dimulainya babak baru sejarah negeri tercinta.
Penulis tidak masuk pada ruang potensi geografisnya lokasi ibu kota negara tersebut, tetapi mencoba memasuki dimensi yang lain
Spiritualitas kebangsaan
Jakarta beratus tahun sangat kental dengan pelekatan sejarah VOC yang dulu bernama Djajakarta, sehingga di dalam perkembangannya Jakarta semakin penuh sesak spirit beragam klaim kebangsaan, maka seiring waktu berjalan ibu kota negara berwajah bopeng tanpa watak kenegaraan, semakin menggemaskan panggung publik terus dikuasai oleh gerombolan kurcaci pemalsu kebenaran tentang eksistensi negara, mereka semakin hari semakin menjadi bernafsu menguasai Jakarta dengan terus membangun opini pengabaian tentang negara. Ini ancaman kebangsaan yang tidak boleh dianggap sepele, maka sikap mengambil jarak dari ruang kompleksitas masalah tersebut adalah sikap bijaksana untuk menata ulang spirit kebangsaan kita demi masa yang panjang.
Dan kita tahu reaksi yang muncul atas sikap bijaksana tersebut semakin menggila yang semakin membuktikan wajah bopengnya Jakarta.
Pemutus mata rantai
77 tahun berlangsung perjalanan bangsa ini seolah dibelenggu oleh Jakarta, sehingga muncul idiom Indonesia adalah Jakarta dan Jakarta adalah Indonesia, maka seluruh dokumentasi tentang Indonesia selalu tercatat di altar Jakarta, maka betapa rumitnya kalau kita harus terjebak benang kusut segala problematika negara dengan titik pijaknya Jakarta.
Memutus rantai kesejarahan merupakan sikap yang visioner agar kedaulatan negara yang dicita-citakan para pendiri negeri ini bisa direcovery lagi secara bertahap dengan simultan.
Menegaskan kenuswantaraan
Dengan semakin menyeruaknya fenomena sosial dan budaya akhir akhir ini di setiap ruang publik yang semakin menonjolkan pikiran dan perilaku intoleransi berdampak pada terusiknya filosofi berbangsa kita yang berbhineka tunggal ika, dan semua desain intoleransi ada di Jakarta ditebar di berbagai daerah khususnya Jawa. Dari titik pijak pemikiran sederhana tersebut memutuskan pindahnya ibu kota negara menjadi ujud sikap kenegarawan untuk semakin mensunyikan teriakan kaum intoleransi di Jawa.
Dari kejauhan bisa lebih detail teramati sekecil apapun plot intolensikan akan dimainkan akan lebih mudah terantisipasi. Apalagi fenomena sosialnya yang seluruh suku di kalimantan seolah muncul kesadaran baru untuk bersatu dan menawarkan untuk memberikan perannya yang terbaik sebagai benteng kewibawaan ibu kota negara.
Dari sekilas pemikiran tersebut bisa kita tangkap ruang kebangkitan kearifan lokal yang selama digencet luar biasa oleh kekuatan intoleransi. Dan diharapkan akan menginspirasi semua basis kearifan lokal di negeri ini. Inilah momentum nuswantara triwikrama.
Semoga dengan sudah diumumkannya nama ibu kota negara kita adalah Nusantara (penulis Nuswantara) maka bisa menjadi tonggak sejarah negeri ini menata ulang kembali esensi peradaban kenuswantara yang sudah ribuan tahun berusaha dilenyapkan tanpa bekas sama sekali, meski di sudut yang lain penulis masih merasakan ada kemunculan persoalan baru yang secara spiritual menimbulkan letupan dinamika yang tidak boleh dianggap enteng yaitu tentang kalimat baru yang akan muncul di setiap pikiran seluruh bangsa ini “Indonesia ibu kotanya Nusantara” ada kejanggalan yang mengganggu di bilik kesejarahan kita.
Tetapi tinggal selangkah kejutan kesejarahan yang penulis pertahankan dalam lubuk imajiner yaitu “Nuswantara ibu kotanya Nusantara”. Bangunlah Nuswantaraku dari segala dimensi kehidupan. Jayalah nuswantaraku. (*)
Rahayu
Malang, 17-01-2022
*) Oleh: Bambang GW, Presidium Dewan Kampung Nuswantara
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.
**) Dapatkan update informasi pilihan setiap hari dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.
Publisher | : Sholihin Nur |