Kopi TIMES

Mendobrak Segregasi

Kamis, 13 Januari 2022 - 09:16 | 76.19k
Moh Ramli, Mahasiswa Pascasarjana Uhamka Jakarta
Moh Ramli, Mahasiswa Pascasarjana Uhamka Jakarta

TIMESINDONESIA, JAKARTA – AKHIRNYA, pengumuman yang saya tunggu dari beberapa hari lalu itu terlaksana. Tepat di depan saya. Kurang lebih dua meter jaraknya. Di Aula Lantai 8 Gedung PBNU, di Jalan Keramat Jaya 164 Jakarta Pusat. Ketua Umum (Ketum) Yahya Cholil Staquf mengumumkan jajaran pengurus organisasi yang didirikan oleh Kiai Hasyim Asy'ari itu.

Yang saya tunggu dari ucapan Kiai yang biasa disapa Gus Yahya itu bukan soal siapa Sekjennya, yang sudah sah diduduki oleh Saifullah Yusuf (Gus Ipul) itu. Yang juga Wali Kota Pasuruan itu. Namun siapa saja jajaran kaum perempuan yang masuk dalam kepengurusan baru itu. 

Saya berpandangan, ini begitu pentingnya. Menjadi catatan sejarah. Untuk pertama kalinya organisasi yang didirikan tahun 1926 silam tersebut, diisi oleh pengurus perempuan. Diantaranya jajaran Mustasyar ada Nyai Nafisah Sahal Mahfudz, Nyai Sinta Nuriyah dan Nyai Mahfudloh Ali Ubaid.

Selain itu, di jabatan A’wan yakni Nyai Nafisah Ali Masum, Nyai Badriyah Fayumi, serta Nyai Ida Fatimah Zaenal. Juga di Tanfidziyah ada nama Khofifah Indar Parawansa serta Alissa Qotrunnada Wahid, sebagai Ketua.

Setidaknya, ada dua indikasi PB NU berani memasukkan kaum perempuan dikepengurusannya tersebut. Pertama, begitu sudah matangnya organisasi ini. Betapa begitu meyakinkannya organisasi ini melangkah ke usia yang satu abadnya dan akan mampu menjawab tantangan-tantangan global. Diketahui, lima tahun yang akan datang, tepatnya 31 Januari 2026, NU akan merayakan milad yang 100 tahunnya.

Kedua, dengan dimasukkannya perempuan di pengurusan, PB NU ingin menegaskan, sudah saatnya masalah dan perbincangan gender di Indonesia selesai. Setidaknya, PB NU ingin memulai hal itu dari ruang internalnya. Dan yang lebih penting, PB NU ingin memperlihatkan bahwa organisasi ini sudah saatnya terbuka dan suatu saat bisa saja dinakhodai oleh kaum perempuan.

Jelas, secara normatif tidak ada larangan akan hal itu. Dalam dokumen Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU juga tidak ada pasal yang mensyaratkan jenis kelamin tertentu untuk menjadi Ketum PB NU. 

Kombinasi sejarah kepengurusan PB NU tersebut pun membuat pikiran saya melayang ke tahun 2015 silam di Makassar. Yang Aisyiyah menyatakan kekecewaannya karena tidak adanya satupun nama perempuan yang dicalonkan menjadi pengurus PP Muhammadiyah.

Pada waktu itu, Ketua Umum PP Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini menyampaikan, di era sekarang, apalagi Muhammadiyah sudah berusia satu abad, peranan perempuan harus diikutsertakan dalam pembangunan. Termasuk dalam pengurus organisasi yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan tersebut. Dan PB NU kemarin, setidaknya melakukan start awal dalam pemikiran tersebut.

Meleburkan

Saat ini, pembahasan gender sudah mulai menemukan titik kebosanannya. Termasuk dalam forum mahasiswa sendiri. Termasuk dalam masyarakat yang lebih luas. Kesadarannya mungkin hal itu sudah tak relevan. Mulai hambar karena sudah bukan lagi zamannya. Laki-laki dan perempuan dalam kesempatan apapun sudah terbuka. Tinggal bagaimana siapa yang mau maju atau tetap dalam sangkar yang lama.

Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan pada hal yang lebih luas. Menurutnya saya, sudah saatnya organisasi raksasa seperti NU, Muhammadiyah mau pun dalam ranah dikepemudaan seperti PMII dan HMI memikirkan peleburan dengan organisasi keputriannya seperti Muslimat NU, Aisyiah, Kopri dan Kohati dalam satu atap yang sama.

Mungkin pandangan tersebut sedikit radikal dan tidak mudah dilakukan serta butuh langkah panjang. Tapi menurut saya, secara sosial dan psikologis dewasa ini, jika hal itu terjadi, rasa kesenjangan dan di nomer duakan secara otomatis akan terkikis. Pasalnya, dengan tetap mempertahankan dua organisasi yang berbeda, secara tersirat mengatakan, bahwa laki-laki dan perempuan adalah berbeda dalam unsur kontribusinya. Dan secara tak langsung meyakini perempuan memang berada di kelas nomer dua.

Selanjutnya, jika perempuan sudah diletakkan dalam satu kotak yang sama, akan sama-sama memiliki peran yang adil dalam gagasan mau pun gerakannya. Kawan, sulit kita bicara soal kesetaraan gender, jika perempuan disekitar kita saja tidak boleh dan tak punyak kesempatan serta cita-cita menjadi Ketum di PB NU, PP Muhammadiyah, PB PMII dan di PB HMI. Lalu dimana letak setaranya?

Menurutnya saya, sudah saatnya, paling tidak organisasi yang saya sebut di atas, peran laki-laki dan perempuan dileburkan menjadi satu dalam satu organisasi saja. Tak terkecuali. Lalu berkontribusi dan berkontestasi dalam kotak yang sama. Saya berpandangan, itu logis dan fair untuk zaman saat ini dan di masa mendatang.

Sebelumnya, pandangan tersebut sudah pernah diutarakan oleh Prof Ahmad Najib Burhani. Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu dalam bukunya berjudul "Muhammadiyah Berkemajuan" (2016) mencontohkan, pemisahan antara Muhammadiyah dan Aisyiah, antara Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiyah, atau antara Pemuda Ansor dan Fatayat NU misalnya, adalah bagian dari segregasi laki-laki dan perempuan yang mengokohkan dominasi laki-laki atas perempuan. 

Menurut Najib Burhani, pembedaan organisasi itu juga merupakan bukti kuat adanya keyakinan bahwa tugas laki-laki dan perempuan adalah berbeda, perempuan berada dalam sektor domestik dan pendidikan. Sementara laki-laki memiliki kawasan yang lebih luas. 

Segregasi organisasi ini merupakan satu dari akar-akar tempat berpijak dan tumbuh-berkembangnya paradigma lama tentang gender inequality. Bahwa wilayah laki-laki dan perempuan tidaklah sama dalam segala hal dan karena itu harus dipisahkan. Segregasi organisasi ini lantas berimbas pada pembagian lapangan kerja, pendidikan, jabatan, dan sebagainya.

Lalu bagaimana mana? Peneliti terbaik LIPI bidang Sosial Humaniora tahun 2020 itu menyampaikan, langkah awal untuk mendobrak segregasi ini, adalah dengan meleburkan kedua organisasi itu menjadi satu. Jadi, laki-laki tidak hanya mengurus laki-laki dan perempuan tidak hanya mengurus perempuan.

Jika kedua organisasi yang segregatif itu hendak dipertahankan, paling tidak landasan keberadaannya harus diubah. Sehingga sejalan dengan kesadaran kesetaraan gender. Konsekuensinya, harus dibuka peluang bagi laki-laki untuk masuk dalam organisasi perempuan dan sebaliknya, perempuan masuk dalam organisasi laki-laki.

Akhirnya, saya begitu pesimis tulisan ini bisa "menjual" opsi peleburan yang disuguhkan di atas. Tak muda diterima karena diyakini harus merombak secara total dan berani. Tapi saya yakin, jika segregasi itu dihapus dan didobrak, secara alami akan melahirkan progres sejati untuk kehidupan masyarakat. Jika kaum laki-laki bisa, tentu kaum perempuan juga pasti bisa dong. Ini tinggal bagaimana kita mau atau tidak. 

*) penulis, Moh Ramli, Mahasiswa Pascasarjana Uhamka Jakarta

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

________
**)
 Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES