Kopi TIMES

Teleskop 2021: Rasionalisasi 1 Tahun Kepemimpinan Kepala Daerah Pasca Pilkada Serentak 2020

Selasa, 04 Januari 2022 - 14:21 | 139.80k
DR. H. Aznil Mardin, S.Kom., M.Pd.T 
DR. H. Aznil Mardin, S.Kom., M.Pd.T 

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah tahun 2020 telah usai disemua tingkat daerah, semua gubernur dan bupati terpilih bersama wakilnya telah dilantik hampir satu tahun menahkodai sistem pemerintahan didaerahnya masing-masing. Namun tajamnya dinamika politik masih sangat kental dan tajam terasa diberbagai daerah khusunya dibeberapa wilayah yang melangsungkan Pilkada 2020 kemarin. Apabila dikaji secara komprehensif hal ini tidak lepas dari relatif lebih singkatnya masa kepemimpinan kepala daerah ini yang hanya 4 tahun atau 2 tahun efektif dalam mewujudkan pembangunan daerah ditengah ancaman dan dampak pandemi covid-19 yang melanda semua penjuru saat ini. 

Apabila dirinci di tahun pertama kepemimpinan kepala daerah yang baru hanya mampu merealisasikan anggaran kepala daerah yang telah disahkan sebelumnya dan juga disibukan dengan “bersih-bersih” menetapkan OPD dan jajaranya. Kemudian ditahun 2022 dan 2023 kepala daerah terpilih ini harus mampu merealisasikan janji-janji politik ditengah segelumit masalah yang telah diwariskan sebelumnya. Agar pada Pemilu serentak di tahun 2024 tidak menjadi ancaman bagi kepala daerah dalam mempertahankan kekuasaanya sebagai petahana dalam Pemilu serentak nanti, apalagi isu tentang regulasi yang berkembang saat ini calon petahana yang maju kembali pada Pemilu 2024 nanti harus berhenti dan bukan lagi cuti. Oleh sebab itu maka dapat diasumsikan masa kepemimpinan kepala daerah yang dilantik tahun 2021 ini hanya berlangsung efektif menjalankan roda kepemimpinan 2 tahun, dan ditahun terakhir sibuk pada persiapan PILKADA berikutnya. 

Pandemi covid-19 secara langsung dampak buruknya telah dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, pelaku ekonomi, bahkan sekelas pemerintahan yang memiliki sumberdaya keuangan dalam membangun daerah. Rekonfusing anggaran diawal pandemi tahun 2020 sampai tahun 2022 nanti menjadi hambatan penting bagi pemerintah dalam mewujudkan cita-cita politik yang telah diumbar ditengah-tengah masyarakat.

Tidak hanya sampai disitu saja, dengan PMK nomor 17 tahun 2021 tentang pengelolaan TKDD tahun anggaran 2021 dalam menanggulangi dampak pandemi covid-19 menjadikan dana desa (DD), APBD, dan APBN bergerak bersama-sama fokus untuk memulihkan ekonomi masyarakat dan vaksinasi sampai tahun 2022. Maka hal ini akan berdampak pada pembangunan-pembangunan skala prioritas yang ditetapkan pada tahun-tahun sebelumnya jadi terbengkalai dan akan menjadi pertanggung jawaban ditengah-tengah konsituen pemilihnya yang tidak memahami mekanisme pergeseran kebijakan dalam menghadapi pandemi ini. 

Situasi sulit ini menjadi tantangan nyata bagi kepala daerah yang baru terpilih ini untuk bisa memberikan pemahaman dan edukasi ditengah-tengah masyarakat, tanpa harus menerapkan “POLITIK BALAS DENDAM” yang akan merugikan pemimpin terpilih serta masyarakat pada akhirnya. Apalagi situasi pelik bagi aparatur sipil negara yang hak-hak politiknya juga dijamin oleh Negara semasa pilkada berlangsung, menjadi ancaman terhadap kelangsungan karir mereka dari etika politik “balas dendam”. 

Situasi serupa juga dihadapi oleh mitra kerja pemerintahan daerah seperti perusahaan, anggota DPRD, kepala desa/wali nagari, dan tokoh-tokoh yang dianggap berafiliasi dengan calon kepala daerah yang kalah akan diganggu secara kekuasaan. Hal ini haruslah dibuang jauh-jauh oleh semua kepala daerah yang terpilih, apalagi dalam menghadapi masa-masa genting ditengah pandemi covid-19 ini semua sistem pemerintahan OPD, aparatur sipil negara, mitra pemerintahan antara gubernur, bupati, DPRD, dan pemerintahan terendah desa/wali nagari sekalipun harus duduk bersama-sama agar mampu mewujudkan cita-cita demokrasi yang berbudaya santun dengan falsafah Minang “biduak lalu kiambang batauik”. 

Dalam menghadapi situasi genting ini kepala daerah tidak hanya membangun sistem pemerintahan yang efektif, namun juga menciptakan budaya kerja yang sehat agar semua sistem pemerintahan mampu berjalan dengan baik, bersih, berwibawa (good governance). Karna tidak akan mungkin kapal besar yang disebut pemerintahan bolong-bolong ditengah deras ombak dalam situasi daerah atau Negara saat ini yang tidak baik-baik saja. 
Oleh sebab itu, diperlukan sebuah kebijaksanaan dalam meningkatkan kerjasama yang sehat dalam internalisasi sistem dan mitra pemerintahan. Bahkan pola komunikasipun harus juga dibangun melalui mitra kritis pemerintah sebagai fikiran-fikiran yang menjadi kontrol checks and balances sistem pemerintahan yang berjalan saat ini. 

Fikiran-fikiran kritis dan membangun haruslah menjadi teman berfikir kepala daerah dalam segelumit masalah yang dihadapi diberbagai daerah saat ini, bukan malah menjadikan ancaman bagi kepala daerah. Budaya kerja yang berwibawa haruslah dibangun disemua lapisan tanpa mempolarisasi individu atau lembaga yang tidak sejalan disaat PILKADA, agar praktek kepemimpinan yang dipertontonkan menjadi katalisator bagi masyarakat untuk ikut berkontribusi membangun daerah sebelum dan setelah pemilu berlangsung. 

Di tengah situasi Negara dan daerah yang sedang tidak baik-baik saja, hal inilah menjadi hambatan besar bagi semua kepala daerah dalam menunjukan eksistensi berfikir dalam bentuk program yang dikemas hanya dalam waktu 2 tahun efektif sebelum PEMILU 2024 nanti. Dimana pemilu merupakan sebuah penghakimanan sosial politik oleh masyarakat kepada petahana atau pemimpinya dalam mengkomunikasikan kelangsungan peradaban yang sedang berlangsung saat ini. baik dari sisi pembangunan fisik, sumber daya manusia, atau mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bagus dan bersih (good governance, clean governance). 

Untuk keluar dalam situasi pelik tersebut, energi dan emosi selama pilkada berlangsung haruslah dihilangkan dan fokus pada kelangsungan pembangunan ditengah pandemi ini. Gesekan kepala daerah dengan mitra pemerintahanya sebagai mana berlangsung keras diberbagai media saat ini, haruslah dihentikan dan fokus pada issue-issue strategis yang memberikan rasa tentram, dan aman dalam internalisasi pemerintahan maupun pada mitra kerja pemerintahan. 

Situasi ini menarik untuk diamati, pertarungan eksistensi kepala daerah dan wakilnya pun menjadi sorotan bagi semua kalangan saat ini. Ditengah waktu yang singkat dalam masa kepemimpinan mereka, dan diiringi kepentingan politik yang sangat tinggi ditahun 2024 menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan sistem pemerintahan saat ini. Adu intervensi antara kepala daerah dan wakilnya pun sudah menjadi rahasia umum ditengah masyarakat saat ini, hal tersebut sudah terjadi diberbagai wilayah yang kepala daerahnya dilantik ditahun 2021 kemarin. Oleh sebab itu, kepala daerah haruslah menyiapkan formulasi cerdas ditengah keterbatasan yang ada, namun harapan masyarakat masih tinggi terhadap kelangsungan pembangunan daerah kedepan. 

Untuk itu program strategis dalam 100 hari, 1 tahun, sampai 4 tahun masa kerja haruslah empirik dan rasional bagi masyarakat, termasuk mitra kritis pemerintahan yang ada. Agar kepala daerah tidak hanya sebatas mencari momen ditengah-tengah masyarakat, namun juga hadir sebagai jawaban dari janji-janji politik yang dijanjikan sebelumnya, kemudian mencerdaskan masyarkat melalui program-program yang terukur. Difase inilah sebenarnya kapasitas pembantu kepala daerah dalam menterjemah visi dan misi dipertanyakan, melalui OPD dan aparatur sipil Negara yang kepala daerah pimpin apakah mampu merealisasikan gagasan dalam bentuk program terukur, terencana, dan terarah sehingga memberikan efek politik bagi seorang kepala daerah tanpa harus menunggu masa kampanye pemilu berikutnya. 

Masalah atau "isu" ini menarik untuk kita diskusikan dan tunggu evaluasi 1 (satu) tahun kepala daerah yang sudah menginjak setahun masa kepemimpinannya dalam menahkodai masing-masing daerah yang mereka pimpin. Agar mampu memberikan ruang dan edukasi kepada masyarakat sejauh mana kapasitas dan rasionalisasi berfikir pemimpin mereka dalam menggunakan anggaran yang telah dititipkan kepada mereka. Karna partisipasi publik sangat diperlukan agar menjadi penyeimbang dan kontrol terhadap kekuasaan yang dibentuk melalui proses pemilu, dan menjadikan suara masyarakat adalah bentuk sebuah kedaulatan absolute dalam demokrasi.

***

*) Oleh : DR. H. Aznil Mardin, S.Kom., M.Pd.T 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES