Kopi TIMES

Menimbang Pemimpin Indonesia 2024

Senin, 03 Januari 2022 - 16:46 | 109.25k
Miftahul Ulum, Penikmat Sejarah dan Politik.
Miftahul Ulum, Penikmat Sejarah dan Politik.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pemilu masih akan digelar tahun 2024, namun situasi politik sudah menghangat. Beragam manuver politik sudah dilancarkan. Bersaing untuk merebut simpati rakyat. 

Deretan petinggi partai seperti Prabowo Subianto, Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono. Atau, sejumlah kader partai sebagaimana Sandiaga Uno, Ganjar Pranowo, Bambang Soesatyo, sampai Tri Rismaharini telah sejak awal bersolek, bermanuver, menggalang opini melalui media sosial, melakukan survei, memasang baliho, memunculkan isu, sampai menggerakkan relawan. 

Berbeda dengan petinggi partai, politisi non-parpol yang tengah menduduki jabatan publik juga tak ingin ketinggalan. Mengemban jabatan publik juga dioptimalkan untuk meningkatkan popularitas sekaligus elektabilitas melalui  kebijakan dan gimmick yang berbagai rupa. Termasuk dalam golongan ini meliputi Erick Thohir, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Khofifah Indar Parawansa, Moeldoko, sampai La Nyalla Mattalitti, Ketua DPD RI. 

Terlepas dari nama-nama yang masuk radar survei capres-cawapres 2024 tersebut, terdapat suara-suara lirih yang menyimpan harapan baru tentang kepemimpinan nasional. Suara-suara alternatif terkait sosok berbeda yang tidak terduga, tidak mainstream.

Nah, tulisan ini mencoba melihat peluang alternatif capres-cawapres tersebut. Hal ini menunjukkan negara sebesar dan seunik Indonesia masih memiliki stok pemimpin potensial di luar nama-nama yang telah beredar sebagaimana disosialisasikan oleh berbagai lembaga survei. 

Lanskap Politik Indonesia Paska-Jokowi

Pemimpin tidak tumbuh dalam ruang hampa. Mereka tumbuh beriringan dengan situasi dan kondisi sosial politik Indonesia, dan global, yang selalu dinamis. Jika jernih melihat, berdasarkan sejarah kepemimpinan nasional, justru pemimpin yang jadi sesungguhnya muncul tanpa diduga.

Untuk melihat situasi kondisi riil tersebut kita harus mampu menganalisis situasi dan kondisi politik saat ini, era kepemimpinan Presiden Jokowi. 

Pada awal periode kedua Jokowi, sejak dilantik tahun 2019, terlihat situasi politik nasional dimulai dengan cukup stabil. Di periode ini, Jokowi merangkul mantan 'rival'-nya Prabowo Subianto ke dalam kabinet. Menyusul kemudian Sandiaga Uno, cawapres yang mendampingi Prabowo. 

Namun memasuki tahun kedua periode kedua, situasi sosial politik nasional ikut terpacu dalam eskalasi kontestasi figur-figur pejabat negara, kepala daerah atau sosok menteri yang memiliki keinginan bertarung dalam Pilpres 2024. Kontestasi ini  semakin 'menajam' justru ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia, ketika sebagian menteri, kepala daerah atau ketua lembaga negara memiliki kesempatan untuk 'tampil'. 

Sisi positifnya adalah, performa dan kinerja pejabat publik dapat diukur secara terbuka dalam hal respon dan pelaksanaan tugasnya saat mengatasi krisis. Di mata tokoh-tokoh tersebut, intensitas kemunculan di publik tentunya tak bisa dilepaskan dari potensi meningkatnya kesempatan dan peluang mereka untuk proyeksi politik jelang 2024. 

Meski pertanyaan sebenarnya adalah, jika dilihat berdasarkan figur dan kinerja yang dilakukan, serta terlepas dari berbagai upaya pencitraan dan pemberitaan yang dilakukan, apakah mereka benar-benar dapat memenuhi ekspektasi masyarakat untuk sebuah kepemimpinan yang diharapkan muncul di zamannya? Hal ini relevan untuk dipertanyakan mengingat setiap zaman pastinya memiliki aspirasi, tren dan aktor-aktor sejarahnya sendiri-sendiri. Realitas politiknya kerap seperti itu.

Realitas sosial politik juga menunjukkan polarisasi masyarakat akibat kontestasi politik yang keras kenyataannya masih cukup terlihat pada sebagian masyarakat kita. 

Jika kita lihat wajah Kabinet Kerja jilid II, pemerintahan Jokowi telah berupaya melakukan semacam rekonsiliasi politik pada tingkat elite melalui akomodasi dan distribusi kekuasaan. Dengan merangkul dan mengakomodasi berbagai kekuatan politik, termasuk kelompok-kelompok bisnis ekonomi, Jokowi tampaknya ingin lebih mendorong stabilitas ekonomi-politik, sekaligus memastikan pembangunan infrastruktur, investasi dan ekonomi selama periode kedua dapat menjadi fondasi bagi perkembangan selanjutnya.

Saking luasnya daya rangkul dan daya akomodasi politik tersebut, tak salah muncul dugaan, persepsi, atau rumor, bahwa sejumlah pihak di sekitar mantan Wali Kota Solo ini hendak berupaya mengatur strategi memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode melalui amandemen konstitusi. Atau antara lain dengan memasang Prabowo sebagai wakil presidennya, atau sekadar memperpanjang beberapa tahun masa tugas di periode kedua sebagai opsi lain. Meski Presiden Jokowi sendiri menyatakan dengan tegas menolak gagasan 3 periode yang sempat menyebar liar di ruang publik.

Hasil survei terkini dari Indikator Politik Indonesia membeberkan, kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi selama 2020-2021 fluktuatif. Sebanyak 86 persen masyarakat masih percaya terhadap Presiden. Namun demikian, sebanyak 21,8 persen masyarakat menyatakan kondisi politik hari ini buruk.

Susah dipungkiri, salah satu faktor yang menyebabkan kondisi politik menjadi begitu spekulatif adalah situasi pandemi. Dampak dan transformasi sosial ekonomi yang muncul, dan respon kepemimpinan/pemerintah serta publik terhadap situasi kritikal dan dinamis yang terjadi. Di tengah kondisi demikian, justru kehebohan terjadi ketika sejumlah elite politik sudah tancap gas untuk antisipasi pemilu 2024 paska Jokowi. 

Pertanyaannya kemudian, di luar nama elite-elite politik yang telah berseliweran dalam survei, bilboard, spanduk, iklan media serta berbagai konten media sosial tersebut, apakah ada kesempatan bagi rakyat untuk memunculkan kekuatan baru? Nama-nama alternatif yang bisa menjadi opsi lain yang lebih relevan di era transformatif yang menjadi 'jalan tengah' untuk mempersatukan Indonesia, sekaligus melanjutkan warisan Presiden Jokowi, Indonesia Maju paska 2024 nanti?

Kuda Hitam

Dalam sejarah politik kita, pada sejumlah transisi kepemimpinan nasional, selalu ada sosok kuda hitam yang awalnya tidak diduga, tidak dijagokan, namun tiba-tiba muncul dan menjadi presiden. Dalam konteks ini, sejumlah tokoh yang tidak dijagokan menang, atau yang luput dari radar survei, patut dipertimbangkan. 

Dapat diilustrasikan kondisi mendatang mirip dengan situasi politik tahun 2014. Di mana Presiden SBY tidak lagi berpeluang menjadi presiden, sehingga nama-nama baru memiliki peluang yang sama untuk menjadi pemimpin. Dan tahun 2014, Jokowi yang awalnya tak disangka terpilih menjadi Gubernur Jakarta di tahun 2012, dua tahun kemudian berhasil menyalip nama-nama besar seperti Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie dan memenangkan Pilpres.

Upaya mencari alternatif pemimpin tersebut bukan hanya soal siapa memperebutkan apa. Namun untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki variabel dan konstalasi politik yang seringkali sulit diprediksi. Para kuda hitam ini bisa muncul dari berbagai latar belakang dan tergantung dari 'arah dan kehendak zaman', seolah mengafirmasi 'suara rakyat, suara Tuhan'. 

Nama-nama di bawah ini bisa menjadi gambaran. Dari dalam kabinet, ada Menteri Koordinator PMK Muhadjir Effendi, mantan rektor, salah satu jajaran pimpinan PP Muhammadiyah yang sebelumnya juga menjabat sebagai Mendikbud. Sebagai Menko PMK, di masa pandemi, Muhadjir tanpa banyak 'ribut' memimpin koordinasi penyerahan berbagai bantuan sosial. Selain Muhadjir, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) tampaknya patut diperhitungkan, baik kepemimpinannya sebagai menteri maupun sebagai Ketua Umum GP Ansor. Yaqut membuat perubahan dalam pelayanan publik di Kementerian Agama.

Kemudian, sosok Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan. Sekalipun di awal susah payah, Budi berhasil menjalankan tugasnya di tengah berbagai tekanan tingkat tinggi dan menghindari kontroversi. Tantangannya adalah menghadirkan vaksin buatan dalam negeri. Jenderal Andika Perkasa, Panglima TNI yang baru dilantik Presiden. Sebagai pimpinan TNI dengan latar belakang Angkatan Darat, secara historis Andika tentu memiliki kans politik yang potensial untuk diperhitungkan. Andika saat menjabat KSAD menggelar prajuritnya untuk total dalam mendukung vaksinasi dan penanganan pandemi. 

Termasuk dalam kategori ini adalah sosok Budi Gunawan, Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), purnawirawan jenderal Polri. Peranannya agar BIN mengawal program pemerintah dalam penangan pandemi dan membantu menjalankan program vaksinasi mendapat banyak pujian. 

Di luar itu, Nadiem Makariem, Mendikbudristek memiliki potensi kepemimpinan yang cukup menjanjikan. Mantan CEO Gojek tersebut terbukti mampu menjalankan amanah Presiden membawa pendidikan melewati pandemi. Selain itu, Emil Dardak, Wakil Gubernur Jawa Timur tersebut mampu menunjukkan kematangan memimpin, baik di Trenggalek maupun di Jawa Timur. Sayang, jika pilpres digelar Mei 2024, usia menjadi pengganjal keduanya untuk menjadi capres. 

Sesungguhnya jika kita perluas secara lebih inklusif, dari kalangan masyarakat sipil ini masih banyak banyak pilihan calon pemimpin. Ketua Umum PBNU yang baru terpilih, KH Yahya Staquf, tentunya menjadi sosok yang punya potensi cukup serius. Pernah menjadi Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid dan Wantimpres Presiden Joko Widodo, Gus Yahya adalah  pemimpin Islam moderat yang punya koneksi global yang cukup luas. Meskipun, Gus Yahya sendiri menyatakan bahwa jika terpilih menjadi Ketum PBNU beliau menolak adanya capres atau cawapres dari PBNU.

Berikutnya adalah Yenny Wahid, Direktur Eksekutif Wahid Institute, pernah menjadi Staf Khusus Presiden dan Komisaris BUMN. Kemudian Najwa Shihab, jurnalis populer dan pembawa acara terkenal. Atau Susi Pudjiastuti, perempuan cerdas, mantan menteri KKP yang pemberani, dan dicintai netizen. 

Lalu dari ranah masyarakat sipil juga ada anak muda Haris Azhar, Direktur Lokataru dan mantan Ketua Kontras. Ia konsisten bergerak untuk mengadvokasi kepentingan rakyat marjinal dan harus berhadapan dengan pemerintah dan kepentingan bisnis. Jika bicara isu anak muda, sosok lainnya adalah Dimas Oky Nugroho, entrepreneur sosial, aktivis, yang juga Koordinator Perkumpulan Kader Bangsa. Dikenal konsisten membersamai dan meningkatkan kapasitas para pemimpin muda Aceh sampai Papua untuk tumbuh berkembang. 

Meski demikian, salah satu tembok besar kepemimpinan alternatif ini adalah ambang batas presiden sebesar 20 persen. Di mana tokoh-tokoh potensial pemimpin yang bukan dari kalangan partai harus bernegosiasi dengan institusi partai politik demi memenuhi syarat tersebut. 

Dalam perspektif yang lebih optimistik, saya menganjurkan agar kolaborasi dan saling kerja sama antara partai politik dengan masyarakat sipil dapat terjadi lebih erat. Bukan hanya untuk urusan kontestasi politik, baik itu pilkada, pileg maupun pilpres. Namun secara lebih luas, partai politik harus mampu membangun jembatan dengan kalangan masyarakat sipil sehingga memastikan proses optimalisasi program, relevansi dan rejuvenasi partai, serta rekrutmen dan regenerasi calon-calon pemimpin publik pada institusi-institusi demokrasi bisa berjalan sehat, terbuka dan progres. 

Mungkinkah demikian? Sangat mungkin, mengingat hal demikian sudah pernah dan kerap terjadi. Tinggal kita saksikan bersama apakah pileg, pilkada dan pilpres 2024 mendatang akan benar-benar menjadi kemenangan seluruh rakyat, atau perwujudan kontestasi dan ambisi sekumpulan para elite semata?

Yang jelas, presiden mendatang adalah sosok yang harus dan mampu melanjutkan kinerja dan keutamaan yang dihasilkan Presiden Jokowi selama memimpin Indonesia selama dua periode. 

Maka, jika tidak ingin hanya sekedar menjadi saksi, lantas opsi paling rasional dan bijaksana adalah menjadi penggerak, atau bahkan pelaku sejarah. Menuju transformasi Indonesia Maju, menuju era demokrasi yang penuh hikmat dan kebijaksanaan bernegara. Semoga!

***

*) Oleh: Miftahul Ulum, Penikmat Sejarah dan Politik.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES