Kopi TIMES

Sekstorsi: Penyalahgunaan Otoritas Kuasa untuk Bebas Eksploitasi Sesuka Hati

Rabu, 29 Desember 2021 - 02:22 | 100.34k
Isna Arofah, Ketua PMII Rayon FKIP Komisariat Universitas Islam Jember. 
Isna Arofah, Ketua PMII Rayon FKIP Komisariat Universitas Islam Jember. 

TIMESINDONESIA, JEMBER – Sekstorsi (Sextortion) berasal dari kata Sex yang berarti seksual dan Extortion yang berarti pemerasan. Apabila diartikan secara etimologi sekstorsi, berarti pemerasan seksual. Menurut Forsyth dan Copes dalam Encyclopedia of Social Deviance, sekstorsi dapat diartikan sebagai otoritas seseorang yang mengambil keuntungan terhadap orang lain dengan cara memberikan kekerasan dan membahayakan orang lain. Adapun bahaya yang dimaksud dapat berupa bahaya terhadap fisik seseorang, properti dan reputasi seseorang.

Lebih lanjut, menurut De la Cerna dalam artikelnya Sextortion, bahwa sekstorsi merupakan eksploitasi seksual dengan penyalahgunaan kekuasaan sebagai sarana pemaksaan untuk mendapatkan keuntungan seksual. 

Lebih lanjut, selain tercatat sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual, sekstorsi juga dikategorisasikan sebagai bagian dari korupsi. Hal ini berdasarkan Transparancy International Indonesia (TII) yang memasukkan sekstorsi pada Globlal Corruption Barometer Asia pada tahun 2020. Pada artikel How To Curb Sextortion, Violence Against Women pun disebutkan bahwa sekstorsi merupakan bagian dari korupsi yang bisa terjadi di berbagai sektor dalam beragam akses layanan publik, pendidikan, kesehatan, dll. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Global Corruption Barometer Indonesia merupakan negara dengan angka sekstorsi tertinggi di Asia. Data tersebut menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi pertama se-Asia dengan tingkat sekstorsi tertinggi (18%), diikuti Sri Lanka (17%), dan Thailand (15%). Angka ini lebih dari dua kali lipat diatas rata-rata Negara-negara dalam survey yang hanya sebatas 8%. Hal ini tentu sangatlah mengejutkan.

Berdasarkan artikel Sextortion Charges To Come Up Next Week dapat diketahui bahwa istilah sekstorsi pertama kali muncul di media cetak California pada tahun 1950. Selanjutnya, kata sekstorsi kembali digunakan oleh International Association of Women Judges pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2009 Institute for Rsponsible Online and Cell-Phone Communication mulai memperingatkan publik tentang tren sekstorsi melalui siaran langsung dan situs webnya www.sextortion.org.

Adapun sekstorsi terjadi akibat adanya asimetri kekuatan sosial serta relasi kekuasaan yang membuat korban (biasanya perempuan) terhempas dalam jurang eksploitasi. Selain itu, adanya budaya yang patriarkal dengan anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lazim mendapatkan eksploitasi atau kekerasan seksual menjadi penguat bagi seseorang untuk melakukan sekstorsi. 

Sekstorsi dapat terjadi dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun. Sebagai contoh artikel yang ditulis oleh Cleo dengan judul Time To Drag Sextortion Into The Light disebutkan beberapa bentuk sekstorsi, antaranya; pejabat pemerintahan yang meminta imbalan seksual untuk pemberian izin atau lisensi atas suatu hal, seorang guru yang menukar nilai bagus siswanya dengan syarat berhubungan seks, dan seorang majikan yang menjadikan layanan seksual sebagai syarat bagi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan.

Selanjutnya, Frank Vogl seorang reporter The Times of London mengisahkan bahwa selama lebih dari setahun, tim tBBC melakukan penyamaran di Univesitas Ghana dan Universitas Lagos.

Dimana mereka mendapati banyaknya mahasiswa perempuan yang diperas secara rutin oleh para professor dan dosen mereka. Mahasiswa-mahasiswa perempuan itu sangat rentan sebab mereka telah bersusah payah untuk bisa masuk dan bertahan di universitas tersebut serta sebuah kenyataan bahwa mereka juga harus berjuang untuk memperoleh nilai yang bagus. Sebab itulah mereka dipaksa untuk menjadi pelayan seks.

Hal inipun kerap terjadi di Indonesia, banyak sekali kasus dosen predator yang mengiming-imingi nilai bagus dan kelulusan mahasiswa dengan syarat melakukan hubungan seksual. Salah satunya, mahasiswa Universitas Riau yang dilecehkan dosennya ketika melakukan bimbingan skipsi yang sempat viral pada November 2021.

Selain beberapa contoh di atas, Dr Yoojin dari International Anti Corruption Academy di Vienna melakukan sebuah penelitian dengan hasil yang menunjukkan fakta bahwa migran perempuan sangat rentan terhadap tindak kejahatan sekstorsi. Misalnya, mereka diminta untuk melayani seksual sebagai pembayaran untuk layanan perbatasan dan kontrol petugas bea cukai yang selalu dilakukan dengan sangat ketat kepada para migran illegal.

Contoh lainnya adalah pemaksaan melayani seksual dalam mengakses pelayanan kesehatan, penegakan hukum, dll. Dalam tindak sekstorsi kebanyakan korban didominasi oleh perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan adalah kelompok yang sangat rentan dalam tatanan sosial masyarakat menyangkut seksualitas. 

Adapun dampak dari adanya tindak sekstorsi akan menjebak korban dalam tekanan psikologis. Korban akan ketakutan, mengalami kekhawatiran secara berlebihan, serta mendapatkan trauma. Selain itu, adanya victim blaming (penyalahan terhadap korban) akan membuat korban kehilangan kepercayaan terhadap lingkungan sekitar. Sehingga yang terjadi alih-alih melaporkan tindak kejahatan yang menimpanya, korban lebih memilih untuk memendamnya sendiri dihantui bermacam  ketakutan dan kekhawatiran. Tidak hanya itu, adanya reviktimisasi (menjadi korban berulang-ulang) yang biasanya dilakukan oleh pelaku dengan mengancam korban akan menyebarluaskan aib korban, tentu akang sangat membuat korban dilumuri ketakutan tanpa henti. Adanya hal semacam ini tentu akan membawa dampak yang sangat buruk bagi korban pun bahkan orang lain, sebab akan membiarkan pelaku untuk mengulangi kejahatan yang sama tanpa diberi efek jera. 

Berdasarkan hal di atas, maka pilihan yang dapat dilakukan oleh korban adalah berani melaporkan tindak kejahatan yang ia alami. Korban dapat melaporkannya kepada pihak terkait seperti Komnas Perempuan, kepolisian, dll. Karena pada dasarnya, hukum positif di Indonesia telah mengatur terkait ancaman hukum bagi pelaku sekstorsi. Secara lex generalis dalam KUHP tindak sekstorsi dapat dikaitkan dalam pasal 386 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untu memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan penjara paling lama Sembilan bulan. Ada beberapa delik yang dapat dikaitkan dengan kejahatan sekstorsi, yaitu menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, banyaknya kasus sekstorsi yang disertai dengan pemerasan dan ancaman maka hal itu merupakan pelanggaran delik ini dan telah melanggar HAM serta tidak sesuai dengan asas-asas kepatutan hidup dalam masyarakat.

Adapun perlindungan hukum bagi korban sekstorsi sebagaimana telah dijelaskan dalam konstitusi Indonesia bahwa pada dasarnya setiap orang telah dilindungi hak asasinya sebagai manusia, sebagaimana tertuang dalam pasal 28A hingga pasal 28J yang diatur secara komprehensif dalam menjamin hak asasi manusia untuk setiap warga Negara. Salah satunya tertuang dalam pasal 28 G yang menyatakan bahwa: “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya,serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” 

Selanjutnya, untuk membuat korban nyaman dan berani melapor perlu kiranya membangun system pelaporan yang aman bagi korban. Aman dalam artian perlindungan hukum yang ada didukung oeh berbagai stakeholder seperti Pemerintah, Penegak Hukum, Masyarakat, dll. Karena korban yang mengalami sekstorsi biasanya akan merasa malu dan takut apabila hal buruk yang ia alami diketahui oleh banyak orang, maka perlu kiranya masyarakat tidak mengucilkan korban dan tidak memberikan penilaian yang buruk terhadap korban. Untuk para penegak hukum harus lebih bertindak secara tegas untuk memberantas para pelaku sekstorsi. Serta, pemerintah dapat melakukan integrasi sosialisasi tentang sekstorsi dalam segala kegiatan anti korupsi dan anti kekerasan seksual. Dengan demikian, diharapkan sektorsi yang sering terjadi dapat diatasi dengan baik. 

 ***

*)Oleh: Isna Arofah, Ketua PMII Rayon FKIP Komisariat Universitas Islam Jember. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES