Politik

Pengamat: Kedaulatan Maritim Harus Jadi Kenyataan di Tahun 2022

Selasa, 28 Desember 2021 - 11:11 | 57.44k
Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT., M. Mar, Pengamat Maritim dan Pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat  AKKMI. (foto: dok.pribadi/TIMES Indonesia)
Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT., M. Mar, Pengamat Maritim dan Pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat  AKKMI. (foto: dok.pribadi/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Menjelang akhir tahun 2021 banyak peristiwa yang mewarnai perjalanan kemaritiman Indonesia. Selama hampir dua tahun sektor maritim pun tidak luput menjadi korban keganasan pandemi Covid-19.

Ada beberapa hal yang perlu dievaluasi di sektor kemaritiman. Apalagi semenjak dicanangkannya visi poros maritim dunia oleh Presiden Joko Widodo. Berbagai pelaksanaan pembangunan untuk memajukan kemaritiman Indonesia terus berkembang.

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa SSiT., M. Mar, pengamat maritim dan pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI).

Banyaknya kapal penangkap ikan asing yang membuat kacau wilayah maritim Indonesia, mengambil ikan tanpa izin. Bahkan ada juga penjaga pantai dan kapal militer dari negara lain terutama yang menjadi sorotan adalah negara China yang ikut masuk ke perairan Indonesia.

"Mengutip data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sepanjang 2021, KKP telah menangkap 140 kapal, terdiri dari 92 kapal ikan Indonesia yang melanggar ketentuan dan 48 kapal ikan asing yang mencuri ikan. Kapal ikan asing yang ditangkap merupakan 17 kapal berbendera Malaysia, 6 kapal berbendera Filipina dan 25 kapal berbendera Vietnam," kata Capt. Hakeng, Selasa (28/12/2021).

"ZEE adalah laut internasional, karenanya di sana hak kita hanya eksplorasi, eksploitasi dan konservasi. Hanya tiga itu saja kalau kita bicara ZEE. Di ZEE kita berbicara zona maritim. Kewenangan kita untuk menangkap kapal ikan berbendera asing di wilayah ZEE itu, jika kapal tersebut sudah atau sedang melakukan kegiatan mengambil ikan yang ada di sana," sambungnya.

Hal lain yang menjadi perhatian dari nakhoda berpengalaman ini pula adalah soal kurang tepatnya protes China untuk penghentian pengeboran minyak dan gas di Laut Natuna Utara di akhir tahun 2021 ini.

"Permintaan itu tidak tepat, karena pengeboran atau pendirian rig di laut Natuna Utara itu masih berada di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Protes China itu hanya berdasarkan 9 garis putus (9 Dash Line) di Laut China Selatan," ujarnya.

"Padahal keabsahan dan legalitas 9 garis putus  tidak memiliki dasar hukum internasional dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea, Konvensi PBB tentang Hukum Laut). Dengan demikian tidak dapat diakui secara hukum, legal standing Indonesia secara maritim sangat jelas di sana," lanjut Capt Hakeng.

Tindakan protes China di Laut Natuna Utara  itu menurut Capt. Hakeng yang juga aktif di kepengurusan Forum Komunikasi Maritim Indonesia (FORKAMI) dan menjabat sebagai Kepala Bidang Pertambangan di perkumpulan tersebut, tindakan negara China tentunya dapat mengganggu stabilitas dan kedaulatan negara. Karena itu pihak pemerintah Indonesia harus dengan tegas menolak permintaan tersebut.

"Seperti telah diatur di dalam UNCLOS, yakni kedaulatan suatu negara atau wilayah laut tertentu diukur berdasarkan jarak dari titik pangkal pulau terluar. Bukan berdasarkan ketentuan lain, termasuk latar belakang sejarah, dari sini saja sudah jelas bahwa wilayah yang disengketakan tersebut 100 persen merupakan hak bangsa Indonesia guna mengelolanya serta menikmati nilai keekonomian darinya," jelasnya.

Indonesia memiliki 111 Pulau Kecil terluar, karena itu negara harus hadir di setiap pulau kecil terluar. Pemerintah juga harus mampu menjaga empat bidang utama dalam pengelolaan pulau terluar antara lain kesejahteraan masyarakat, ketahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan.

Melalui UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran jelas disebutkan bahwa penjaga laut dan lepas pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. Penjagaan laut dan pantai tersebut harusnya diwujudkan dalam bentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut dan perkuatan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai.

"Peran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Kepolisian dalam hal ini Polair, KPLP dan Bakamla harus terus disokong pemerintah, baik penambahan kapal, peralatan, dan peningkatan teknologi kemaritimannya. Semua itu untuk menunjang kerja para penjaga kedaulatan negara di sektor maritim," tutur Capt. Hakeng.

Selain itu juga, Capt. Hakeng mengimbau serta mengingatkan agar soal menjaga kedaulatan negara dapat melibatkan para Nelayan atau para Pelaut Indonesia.

"Dengan melibatkan para pelaut dan nelayan Indonesia maka secara tidak langsung akan menjadi penjaga kedaulatan negara Indonesia. Di sini sebetulnya esensi Pasal 30 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen kedua, yaitu sistem hankamrata yang dapat diterapkan pula di dunia Maritim," terangnya.

"Kapal-kapal asing yang ingin menangkap ikan di lautan Indonesia dapat dipantau dan dapat segera dilaporkan oleh para pelaut/nelayan Indonesia yang melihatnya. Dengan begitu, secara langsung maupun tidak langsung kedaulatan negara, kedaulatan pangan, dan kelestarian ekosistem laut Indonesia dapat terjaga pula dengan sendirinya," ujarnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES