Kopi TIMES

Merealisasikan Hak Buruh Perkebunan Sawit di Tengah Pandemi

Jumat, 24 Desember 2021 - 14:11 | 67.92k
Natal Sidabutar, SH; Pemerhati kebijakan buruh dan perkebunan sawit; Sekretaris Jendral ( Sekjend ) Serikat Buruh Industri Perkebunan Sawit Indonesia ( SARBUKSI ) Sumatera Utara.
Natal Sidabutar, SH; Pemerhati kebijakan buruh dan perkebunan sawit; Sekretaris Jendral ( Sekjend ) Serikat Buruh Industri Perkebunan Sawit Indonesia ( SARBUKSI ) Sumatera Utara.

TIMESINDONESIA, SUMUT – Menteri Keuangan Republik Indonesia belum lama ini menyampaikan informasi menarik yang menyatakan produk kelapa sawit naik 2.200 persen (yoy) karena bea keluar lebih besar tahun 2021 dan pengenaan bea keluar pada produk turunannya (pengaruh tingginya harga referensi CPO). Sektor pertanian produktif yang cukup tahan banting tersebut menjadi penyelamat penerimaan kas negara.  Tren itu kian progresif jika bercermin dari ekspor yang relatif bertumbuh signifikan pada tahun 2020 sebesar 13,6 persen atau sekitar Rp 321,5 triliun !.

Sektor pertanian (perkebunan) memang menjadi unggulan di banyak negara saat ini. Pandemi tanpa tedeng aling menggulung industri penerbangan, manufaktur, UMKM dan pariwisata yang sebelumnya menjadi primadona penerimaan devisa negara, terpaksa merunduk bahkan terjerembab. 

 Kita tahu, Indonesia merupakan eksportir sawit wahid dunia. Komoditas sawit memiliki hasil turunan panjang dari minyak goreng, mentega, bahan baku sabun, dan sebagainya. Produk-produk tersebut merupakan kebutuhan primer global. Bahkan, tidak ketinggalan pula, sawit merupakan bahan bakar biodisel (emisi gas rumah kaca rendah). Tidak heran, efek domino dari perkebunan sawit ( swasta ) terlihat memacu pertumbuhan ekonomi, sekalipun masih banyak catatan merah. Nilai plus lain, perkebunan sawit swasta turut juga membantu perwujudan program pemerintah terkait infrastruktur, karena membuka jalur transportasi baru di daerah-daerah tertinggal yang jauh dari jangkauan pembangunan nasional.

Celakanya, sekalipun perkebunan sawit begitu manjurnya menarik pendapatan negara, namun pemerintah terlihat belum optimal atau malah sengaja abai hak buruh dalam mengejawantahkan undang-undang sapu jagat dengan kehadiran UU Cipta Kerja yang kini justru inkonstitusional.

Pun, masih di tambah dengan Peraturan Presiden (Perpres ) No. 44 tahun 2020 perihal sistem sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan atau Indonesia Sustanaible Palm Oil ( ISPO). Realisasinya di lapangan, masih jauh panggang dari api. Siapa yang menjadi korbannya ? Tidak lain adalah buruh.

Bagaimana tidak, buruh perkebunan terlihat menjadi “sapi perah” dengan upah rendah. Padahal, sektor perkebunan tersebut di proyeksi mampu menyedot tenaga kerja 16 juta jiwa. Situasi simalakama tersebut tentu saja semakin mempersulit buruh mendapatkan akses pangan berkualitas sehingga rentan secara ekonomi sehingga kesejahteraan hanya sekedar halusinasi—mimpi di siang bolong.

Bagaimana jika dikaitkan pula dengan kualitas pendidikan buruh ? Jika pemenuhan kebutuhan pokok alias perut saja minim, bagaimana mungkin menyisihkan pendapatan dan memikirkan pendidikan berkualitas di masa depan bagi kaum tersebut dan anak-anaknya? Mau di bawa kemana bangsa kita di masa depan. Visi Indonesia emas tahun 2045, rasanya muskil terwujud.

Apalagi jika ini dikaitkan dengan buruh harian lepas (BHL). Dari hasil temuan di lapangan, rata-rata buruh sawit acap kali bekerja selama 12 jam dalam satu hari dengan meniadakan upah lembur yang pantas sesuai aturan yang berlaku. Belum lagi, para buruh nasibnya sungguh nelangsa.

Sistem upah dihari libur, justru lebih rendah dibandingkan dengan hari bekerja reguler.  Ketidakadilan itu semakin menggila ketika musim panen tiba. Buruh wajib bekerja untuk memenuhi target perusahaan. Padahal, hak upah lembur tegas di atur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, bahwa lembur tidak dapat di paksakan dan pekerjaan di hari libur wajib di perhitungkan sebagai lembur. Tragis, bukan? 

Belum lagi, jika kita menyoroti faktor jaminan kesehatan dan pensiun, BHL sangat rentan mengalami eksploitasi tanpa dukungan perlindungan penuh. Hal ini tentu saja berbahaya dan banyak melanggar hak pekerja sebagai manusia yang seharusnya di lindungi oleh negara karena dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pertanyaannya, cukup adilkah buruh di pasung rentetan eksploitasi tersebut padahal memiliki andil besar dan krusial dalam menyokong pembangunan? Boleh jadi ini malah terlihat semakin kontradiksi, jika bercermin dari program Nawacita yaitu ingin mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Pun, ironis pula , jamak kita ketahui pemilik perusahaan perkebunan sawit merupakan orang-orang terkaya nasional!

Sebenarnya cukup dengan mendukung dan sungguh-sungguh merealisasikan hak-hak buruh, pada masa sulit pandemi ini, pemerintah paling tidak sudah meringankan beban berat subsidi bantuan tunai langsung dan segala tetek bengek bantuan lainnya, karena buruh sawit mampu tetap produktif dan menggerakkan banyak sektor ekonomi akar rumput.  Bukankah, ini misi besar pemerintah? Jika ini terwujud, bukankah bangsa kita sedikit agility menerobos ekonomi yang terjerembab? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab para policy maker dan pemilik perusahaan. Jangan sampai pepatah lama menjadi lelucon nyata, semut di seberang lautan terlihat, gajah di pelupuk mata justru tak tampak serupa makhluk bunian.

***

*) Oleh: Natal Sidabutar, SH; Pemerhati kebijakan buruh dan perkebunan sawit; Sekretaris Jendral ( Sekjend ) Serikat Buruh Industri Perkebunan Sawit Indonesia ( SARBUKSI ) Sumatera Utara.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES