Kopi TIMES

Karya Bersama, Maju Bersama

Jumat, 24 Desember 2021 - 11:34 | 72.40k
Yuswono Hadi, Dosen Program Studi Teknik Industri Universitas Ma Chung
Yuswono Hadi, Dosen Program Studi Teknik Industri Universitas Ma Chung

TIMESINDONESIA, MALANG – Kota Batu dikenal sebagai kawasan dengan udara yang sejuk. Bahkan di beberapa bulan, saat musim kemarau, hawa dingin terasa menusuk. Apalagi di saat dini hari.

Namun tidak bagi Iksan (54), serta enam orang anggota kelompok produsen es puter di Jalan Lesti, Kota Batu.

Rerata, pukul tiga pagi, mereka sudah membuka hari dengan memarut kelapa. Dalam sehari, untuk membuat satu tabung, seorang penjual es puter, membutuhkan minimal lima kg atau 12 butir kelapa. 

Selesai diparut, kemudian kelapa itu diperas diambil air santannya. Setelah itu, air santan dicampur dengan racikan beberapa bahan. Proses selanjutnya, setelah semua racikan bahan menyatu dalam satu tabung, kemudian tabung ditutup rapat dan diputar dalam sebuah wadah yang berisi es batu dan garam. Tabung diputar terus-menerus, hingga semua bahan yang ada di dalamnya, membeku. 

Proses inilah yang kemudian memberikan nama pada produk kuliner ini sebagai es puter. Di beberapa tempat, dahulu, dijual dengan cara menawarkan lewat bebunyian. Ada yang membuat suara dari lonceng, kleneng..kleneng..atau dengan menabuh gong kecil berbunyi tuung..tuung..
Tak ayal, produk kuliner ini dikenal juga dengan sebutan es tung tung..

***

Adalah Yuswono Hadi, pengajar di program studi Teknik Industri, Universitas Ma chung. Dia tinggal di sekitar Jln. Lesti, Batu. Saban pagi, dia mendapati pemandangan itu. Pedagang es tung tung, berjejer-jejer menjalani ritual memproduksi es puter.

‘Kebiasaan’ itu, suatu saat mengusik rasa ingin tahunya. Sebagai dosen muda, Yuswono dirundung penasaran. Faisal dan Abiyyu, dua mahasiswanya, diajak belajar bersama Kelompok Pedagang Es Puter di Jalan Lesti, Kota Batu.

Alhasil, Faisal, Abiyyu dan Yuswono memutuskan ‘ikut merasakan’ kehidupan yang dijalani para pedagang itu. Suatu saat, mereka mengikuti Takim, salah satu pedagang es puter di sana. 

Tiga insan dari dunia akademis itu, mengikuti semua proses sesuai arahan dan bimbingan Takim. Hampir empat bulan, mereka ‘menyelami’ hidup sebagai pedang es puter. Mulai dari memarut kelapa, hingga memutar es dalam tabung. Mereka bertiga, bergantian memutar tabung berisi adonan es. Belum berapa lama, di pagi yang sejuk, keringat mereka sudah mengucur. 

“Proses pemutaran adonan es, dua jam non stop diputar dengan tangan. Wuihh, capek, Pak,” nampak Abiyyu dan Faisal, nafasnya ngos-ngosan.
“Iya,” Yuswono tersenyum. Ia tak dapat menyembunyikan dadanya yang turun-naik, menarik nafas dalam. 

Bergantian memutar tabung, bergantian pula mengambil waktu beristirahat. Bertiga, pantang mengambil langkah mundur. Takim tersenyum melihat kesungguhan mereka. 
Lantas, seraya menikmati kopi, berempat nampak asyik tenggelam dalam obrolan. “Lumayan lama, ya Pak marut dan meras kelapanya,” ujar Abiyyu.

“Kalau menurut saya, yang berat itu pas muter tabungnya, sampai semua bahan jadi beku,” timpal Faisal.

Tak menunggu lama, mereka sudah sengit beradu argument. Yuswono menarik nafas. Dia menikmati proses tersebut. Mereka menggunjingkan persoalan yang mereka alami dan rasakan. 

“Proses pembuatan santan, mulai dari memecah kelapa, memarut hingga memeras membutuhkan sedikitnya dua jam. Proses memutar tabung, sedikitnya butuh waktu dua jam,” tutur Yuswono. 

Dia ingin meletakkan persoalan pada porsinya. Kemudian, mengajak melihat persoalan, dari data dan fakta yang ada. 

“Kita tahu, proses produksi ini sudah waktunya, ada bagian yang bisa digantikan oleh teknologi. Kita membuat peralatan atau teknologi, dalam rangka menyelesaikan persoalan untuk memenuhi kebutuhan.”

Mereka bergunjing dengan khidmat. Mereka sudah menemukan titik jumpa. Ada peluang untuk penerapan teknologi, demi memudahkan proses produksi.

“Iya, setuju kalau memang ada rencana pembuatan mesin. Ning, pokoke aku diajak rembugan pas nggawene. Mbiyen yo tau enek bantuan. Satu-dua kali datang, tanya-tanya, lalu selang beberapa waktu teka maneh membawa mesin yang sudah jadi. Terus ditinggal. Saiki, lha iku mesine nganggur.. gak iso digawe, ” kalimat Takim tandas jelas. 

Pesannya juga cukup jernih: dia ataupun orang seperti dia, juga layak menjadi subyek. Tak berapa lama, Takim mohon diri. Ia segera berangkat keliling. 
Heri Mustakim (59), pria yang sedari tadi duduk di Takim, turut memerhatikan perbincangan tersebut. Ia pernah bekerja di Malaysia. Lalu, memutuskan pulang dan ikut berjualan es puter. 

Mulai dari rancangan awal, perubahan desain, penambahan bagian yang dibutuhkan dan penghilangan bagian yang dianggap kurang penting, dilakukan secara bersama. Setelah desain mesin pemeras santan sudah dianggap cukup, Yuswono, Faisal, Abiyyu dan Takim, mereka berangkat ke bengkel mengeksekusi rancangan bersama itu.

Akhirnya, tiga unit mesin pemeras santan tersebut, diserah-terimakan pada kelompok produsen es puter yang beranggotakan tujuh orang tersebut. Takim sebagai koordinator kelompok, memeragakan mesin ke beberapa pembuat es puter. 

“Bapak Ibu, dengan bantuan mesin ini, minimal sehari bisa produksi dua tabung es!” ujar Yuswono sumringah. 

Mesin pemeras santan tersebut, merupakan bagian dari program pengabdian kepada masyarakat yang dananya didukung oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2021. 

***

Selang tujuh bulan Pak Takim, bisa menghasilkan dua tabung per hari karena proses peras kelapa, yang awalnya dilakukan manual dilakukan dengan tangan, mulai dibantu mesin. Meskipun belum otomatis, karena tidak memungkinkan menggunakan dinamo, tapi mampu menghemat tenaga, sehingga bisa menyiapkan adonan lebih banyak. 

Seluruh proses pembuatan, akhirnya siap dijajakan, sekitar jam delapan pagi. Setelah istirahat sejenak dan sarapan, Iksan dan semua penjual es tung tung ini, berjalan mendorong gerobak keliling kampung, menyusuri setiap jalan dan gang kecil.

Biasanya, ujung dari rute Iksan, akan berakhir di halaman SD swasta di kampung itu. Beristirahat sejenak. Sesekali, nampak ia mengusap keringat yang membasahi wajahnya. Sesekali, ia menarik nafas dalam. Menggumpalkan doa tak terucap.

Tak begitu lama, saatnya pun tiba, siswa sekolah SD yang pulang sekolah, berhamburan menyerbu gerobaknya. Anak-anak inilah yang menjadi ‘andalan’ pangsa pasarnya. 

“Sebentar..sebentar…sabar tohh..” kalimat itu sering terdengar, tatkala anak-anak berebut meminta dilayani lebih dulu ketimbang temannya. Mereka tak ingin kehabisan. Saling minta didahulukan pesanannya.

“Iyaa, tangane mung loro..sik yo sabar..kumanan kabeh kok..” lagi, terdengar suaranya meredakan antrian yang riuh.

Keriuhan seperti itu, bagi Iksan, bukan hal baru. Baginya, ‘kegaduhan kecil’ itu bukan sekadar ‘keramaian pasar’ yang membuat produknya ludes terjual. Suara anak-anak yang berebut, sudah menjadi hiburan tersendiri. 

Di tengah ‘kegaduhan kecil’ itu, sambil melayani pesanan, ia berhitung persediaan. Ia membaginya dengan rata, mencukupkan persediaan. Tentu saja, dengan harga yang disesuaikan.

Dia tak ingin, ada anak yang tak kebagian. Sungguh tak terbayang kecewanya. Dan, Iksan tidak ingin hal itu terjadi. 

Suasana seperti itulah yang menjadi sumber kekayaan batinnya, selama 30 tahun lebih menjadi pedagang es tung tung..

***

*) oleh: Yuswono Hadi, Dosen Program Studi Teknik Industri Universitas Ma Chung.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES