Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Menjadi “Negarawan” di Surga

Kamis, 23 Desember 2021 - 09:53 | 33.86k
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Ciri pemimpin sejati itu diantaranya mudah diemukan dan dirasakan perannya di tengah masyarakat. “Kalau ingin menemukan tempat terbaikku, maka carilah aku diantara orang-orang kecil” (Sabda Nabi Muhammad SAW). Hadis ini menunjukkan bukti responsibilitas dan komitmen Nabi terhadap nasib masyarakat kecil atau yang berstatus akar rumput.

Hadis itu juga mengajarkan, bahwa tempat terbaik pengabdian manusia dalam hidupnya adalah memihak dan membebaskan derita masyarakat kecil.  Saat masyarakat kecil dihadapkan pada penderitaan atau kita menemukan problem membelitnya, maka hal ini menjadi bagian dari momentum besar untuk menunjukkan etos juang sebagai negarawan.

misalnya pengikut Nabi Muhammad SAW yang mengikuti beliau saat berhijrah adalah lebih banyak yang berasal dari kalangan masyarakat akar rumput (the grass root community). Golongan masyarakat ini mau memeluk Islam dan menjadi  pengabdi setia Nabi, karena ajaran Allah SWT yang dikampanyekan Nabi bukan hanya mendidik manusia berfikir rasional dan obyektif, serta menjanjikan keselamatan di akhirat,  tetapi juga mengajarkan makna pembelaan terhadap martabat kemanusiaan. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Ketika martabat kemanusiaan sedang terinjak-injak di tanah arab empatbelas abad lalu itu, Nabi Muhammad menunjukkan dirinya sebagai negarawan dengan cara membebaskan masyarakat kecil ini.

Ketika kalangan masyarakat kecil atau golongan “akar rumput” itu menjadi orang-orang teraniaya (mustadh’afin), yang ditafsirkan oleh Jalaluddin Rahmat “orang-orang lemah atau yang dibikin lemah, orang-orang menderita atau yang dibikin menderita, maka Nabi menjadi pembelanya, mendeklarasikan dan mendaulatkan diri sebagai bapak asuh, dan menunjukkan jati diri sebagai pejuang  yang giat menegakan prinsip-prinsip kesederajatan (egalitarian), kejujuran, dan keadilan. Mereka dinaikkan derajatnya menuju kemuliaan dengan cara mengentasnya dari belenggu ketertindasan.

Dalam suratan historis memang tertulis, bahwa di setiap jengkal langkah, nafas, dan gerak Nabi,  orientasi perjuangannya terpusat pada pembelaan hak-hak asasi manusia, seperti membebaskan  segolongan orang yang jadi budak klas elit Makkah. Kalau beliau tidak cukup punya uang untuk mengganti harga budak itu, beliau meminta sahabat-sahabatnya yang punya uang banyak untuk membelinya dan membebaskannya. (Imam, 2007).

Bilal misalnya yang dikenal sebagai pejuang di garis utama dakwah Nabi juga tergolong sebagai sosok budak yang merasakan “dimerdekakan” oleh Islam melalui salah seorang sahabat  Nabi.  Bilal telah membuktikan, bahwa “harga” perbudakan yang menjeratnya selama beberapa tahun tidak lagi menjadi mahal nilainya selama ada komponen Islam yang bersungguh-sungguh memerdekakannya.

Kasus itu menunjukkan, bahwa perbudakan di zaman awal kenabian sudah mulai bisa diberantas atau  “dihijrahkan” dari potret sejarah kebiadaban manusia atas manusia lainnya sesuai dengan jerih payah yang dilakukan manusia sendiri. Manusia punya kekuatan untuk merubahnya, membebasskan penyakit sosial-kemanusiaan berupa keteraniayaan (sebagai budak) menuju orde yang memanusiakannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Firman Allah SWT sudah memperingatkan “Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa (rakyat), jika rakyat atau bangsa itu tidak berusaha merubah nasibnya sendiri.

Ayat tersebut ditafsirkan oleh Mufassir kenamaan M. Quraish Shihab (1995), bahwa manusia telah dipercaya oleh Allah SWT sebagai pelaku perubahan. Mau dibawa kemanakah dunia, bangsa, dan rakyat di setiap negara, adalah tergantung permainan yang ditunjukkan oleh manusia

Kalau kemudian  yang mengikuti Nabi Muhammad SAW saat berhijrah tidak nsedikit diantaranya kaum budak, maka hal ini menunjukkan bahwa mereka (budak-budak) telah demikian yakin, bahwa di bawah bimbingan dan kepemimpinan beliau, jerit tangis menjadi budak bisa diatasi. Mereka percaya kalau Nabi akan mampu mengantarkan dirinya memasuki gerbang kehidupan yang jauh lebih baik, khususnya memperoleh hak egalitariannya, dibandingkan harus menghadapi kediktatoran, otoritarian, dan ketidak-manusiawian.

Sebagai sampel historis: saat di Madinah inilah, Nabi Muhammad SAW mencoba secara gradualitas untuk membangun masyarakat yang bercahaya (al-madinah al-munawwarah), yang di dalamnya terjadi kesatuan social tanpa memandang pluralitas etnis, budaya, politik, ideologi, dan suku. Beliau bangun suatu bentuk negara yang di dalamnya terjadi aktifitas yang menyatukan segenap komponen sosial secara egaliter.

Dalam ranah itu, Tak dibenarkan kelompok social social yang satu menjadi superior dan ningrat dibandingkan lainnya. Beliau selalu memediasi agar setiap orang kaya atau berduit bisa menjadi “negarawan” d surga, yang kesemuanya ini bisa atau harius dikonstruksinya sebagai “proyek utama” di dunia.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Oleh: Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES