Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Dinamika Umat dalam Bermadzab

Rabu, 22 Desember 2021 - 10:01 | 44.70k
Kukuh Santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kukuh Santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Pengertian madzhab sendiri terdapat berbagai ragam definisi yang diberikan ulama terkait pengertiannya. Di bawah ini penulis uraikan ragam definisi madzhab pandangan ulama. Menurut Imam Az-Zarqani ialah Pendapat yang diambil oleh seorang imam dan para imam dalam masalah yang terkait dengan hukum-hukum ijtihadiyah, dan menurut M. Said Ramadlan al-Buthi adalah Jalan pikiran, paham, ataupun pendapat yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid di dalam menetapkan suatu hukum Islam dari al-Qur`an dan al-Hadits, Dengan demikian, dari beberapa definisi madzhab di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah madzhab dapat dipahami mengandung dua arti: pertama, cara berfikir atau metode berijtihad yang diterapkan oleh mujtahid untuk menentukan hukum suatu kasus berdasarkan al-Qur‟an dan hadits. Kedua, fatwa atau pendapat mujtahid tentang hukum suatu kasus atau peristiwa yang diambil dari al-Qur‟an dan Hadits. Berkaitan dengan istilah bermadzhab sendiri, Muchit Muzadi mengklasifikasikannya kedalam tiga tingkatan:

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

1.      Bermadzhab dalam tingkat mengikuti produk (hasil) ijtihad orang lain, sama sekali tidak mampu berijtihad sendiri, bahkan tidak tahu dalil yang dipergunakan

2.      Bermadzhab dalam tingkat mampu “berijtihad sendiri” secara sangat terbatas, seperti seorang santri yang sudah mampu menguasai problematika fardhunya wudhu, mulai dari dalil- dalilnya, pengelolaan dalil, serta penyimpulannya

3.      Bermadzhab dalam tingkat sudah mampu berijtihad sendiri dengan mempergunakan metode dan pola pemahaman yang diciptakan oleh tokoh lain.  

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dari pengklasifikasian di atas dapat dipahami bahwa tidak semua orang memiliki pemahaman yang mapan terkait hukum Islam, terdapat kelompok umat yang secara pemahaman dibawah kemampuan para ulama mujtahid atau yang biasa disebut sebagai orang awam, sehingga dalam beramal tidak memiliki kemampuan secara mandiri untuk menggali hukum yang tertuang dalam al-Qur‟an maupun Hadits Nabi, Saw. Dan ada pula kelompok umat yang mampu secara mandiri untuk menggali hukum, baik dari al-Qur’an maupun Hadits Nabi, Saw. Realitas tersebut, menurut Ibrahim Hosen, bahwa mengenai suatu masalah yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash, maka bagi yang memiliki kemampuan untuk berijtihad, ia berkewajiban untuk berijtihad dan mengamalkan hasil ijtihadnya. Sedangkan bagi yang tidak mampu untuk melakukan ijtihad (orang awam dan ulama yang tidak mampu melakukan ijtihad), maka ia berkewajiban mengamalkan hasil ijtihad salah seorang imam mujtahid (taqlid).

Kemunculan madzhab fiqh pada gilirannya menimbulkan permasalahan baru, khususnya pada periode ulama muta’akhirin, yakni tentang wajib tidaknya umat Islam menganut madzhab tertentu dan boleh tidaknya berpindah madzhab dari yang satu ke madzhab yang lain, baik sebagian ataupun secara keseluruhan dari fatwa ataupun pendapat imam madzhab, serta boleh tidaknya mengambil pendapat yang ringan dari setiap madzhab untuk diamalkan atau dikenal dengan istilah talfīq. Kemunculan istilah talfīq dalam bermadzhab menimbulkan perdebatan dikalangan ulama, terkait boleh tidaknya pengamalan talfīq itu sendiri. Perdebatan seputar masalah talfīq dikalangan ulama tersebut mendapat perhatian dan pengkajian serius oleh para pakar Hukum Islam.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Tak hanya pada masa ulama muta’akhirin saja pada masa sekarang inipun masyarakat awam menimbulkan selisih paham karena kurangnya pemahaman terhadap bertaqlid, sehingga menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah seseorang yang bertaqlid disaat ia memilih seorang mujtahid atau madzhab, ia diharuskan konsisten dalam mengambil semua pendapat mujtahid atau madzhab tersebut dalam sebuah masalah?

Terkait dengan persoalan tersebut, ada dua pendapat berkenaan dengan hal itu, Pertama, wajib konsisten dalam berpegangan pada suatu madzhab dalam semua persoalan. Pendapat ini didukung oleh sekelompok ulama. Pendapat ini dilandasi dengan argumentasi bahwa ketika seorang muqallid sudah menyatakan kesanggupan pada madzhab tertentu, maka secara tidak langsung telah meyakini kebenaran madzhab tersebut. Dengan demikian, wajib baginya untuk merealisasikan sesuatu yang dianggapnya benar. Kedua, tidak wajib konsisten pada madzhab tertentu. Sehingga pada saat muqallid telah menyatakan kesanggupan pada madzhab tertentu, ia tidak wajib untuk meneruskannya. Ia boleh berpindah dari madzhab yang diikuti ke madzhab lain. Pendapat ini didukung oleh sekelompok ulama dan ditarjih oleh Ibn Burhan dan An-Nawawi. Argumentasi yang melandasi pendapat kedua ini adalah:

(1)    Tidak ada kewajiban kecuali apa yang telah dibebankan Allah, Swt., dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini Allah, Swt. hanya menyerukan untuk mengikuti ulama, tanpa menentukannya secara personal, hal ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah, Swt. QS. An-Nahl: 43 di atas.

(2)    Sejarah menunjukkan bahwa para peminta fatwa diera sahabat tidak selalu konsisten bertanya kepada sahabat tertentu, mereka pada umumnya sudah terbiasa meminta fatwa kepada siapa saja yang bersedia. Realitas ini terjadi tanpa ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya. dengan demikian, terbentuklah ijma‟ bahwa tidak wajib bertaqlid pada madzhab tertentu dalam semua persoalan.

(3)    Keharusan konsisten dalam bermadzhab akan berimbas mempersempit umat. Padahal perbedaan ulama adalah sebuah nikmat dan rahmat bagi umat. Sebagaimana halnya sabda Nabi, Saw. “Perbedaan umatku adalah rahmat.” (HR. Baihaqi)

Dengan demikaian kita sekaranng melihat dari sudut pendidikan, bisa dipahami bahwa masyarakat atau orang yang sempit dalam pemaahamannya terhadap sebuah persoalan ataupun sebuah ilmu akan bisa menimbulkan selisih paham, oleh karena itu kita alangkah baiknya jika sering membaca atau mendengarkan kajian agar kita memiliki pemahaman yang lebih luas agar tidak terjadi selisih paham.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Kukuh Santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES