Kopi TIMES

Peran Fiskal untuk Kesejahteraan Petani di Jawa Timur

Selasa, 21 Desember 2021 - 20:55 | 48.23k
Luxman Efendy S.St.Ak, M.Si.Ak.,  Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II C pada Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Timur. 
Luxman Efendy S.St.Ak, M.Si.Ak.,  Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II C pada Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Timur. 

TIMESINDONESIA, MADIUNSEKTOR Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan (PKP) di Jatim selama rentang periode 2011 hingga 2020 memberi kontribusi terbesar ketiga terhadap PDRB, di bawah Sektor Industri Pengolahan dan Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor. 

Sektor PKP selama rentang periode tersebut mempunya rata-rata kontribusi terhadap PDRB  sebesar 12,89 persen (ADHB) atau 11,71 persen (ADHK).  Meski kontribusi sektor PKP terhadap PDRB Jatim mengalami penurunan, tidak serta merta bisa disimpulkan bahwa sektor ini kurang penting dalam perekonomian di Jawa Timur. Berdasarkan data BPS selama periode Februari 2011 hingga  Agustus 2021, sektor PKP menyerap tenaga kerja lebih tinggi dibandingkan dengan dua sektor tertinggi yakni industri pengolahan dan perdagangan. Sampai dengan Agustus 2021, sektor PKP menyerap 31,68 persen tenaga kerja atau 6,66 juta tenaga kerja di Jatim. Sedangkan sektor industri dan perdagangan jika dijumlah menyerap 34,03 persen tenaga kerja. 

Berdasarkan Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS-2018), jumlah rumah tangga pertanian mencapai 5,16 juta atau 47,35 persen dari total rumah tangga di Jatim sebanyak 10,91 juta (SP2010 dan Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045). 

Dari sisi tingkat kemiskinan, berdasarkan tempat tinggal di Jatim, di pedesaan yang banyak menyerap tenaga kerja di sektor PKP jauh lebih tinggi dibandingkan perkotaaan dengan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan juga lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Dengan tingkat ketimbangan (Gini Ratio) di perdesaan di Jatim jauh lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan, maka masyarakat perdesaan lebih rentan mendekati garis kemiskinan karena rata-rata penghasilan tidak jauh berbeda antar rumah tangga. 

Dengan uraian di atas tidak salah jika disimpulkan bahwa upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Jatim sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi seharusnya dikonsentrasikan ke perdesaan dan sektor PKP. 

Jatim seharusnya mempunyai modal sangat cukup untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di perdesaan dan sektor PKP. Salah satu modal di sektor pertanian adalah luas baku lahan sawah di Jatim merupakan yang terbesar di Indonesia mencapai 1,21 juta hektare dan merupakan lumbung pangan nasional dengan produksi GKG tertinggi di Indonesia mencapai 9,91 juta ton pada tahun 2021.  

Selain itu infrastruktur pertanian seperti bendungan, irigasi, ketersediaan air, dan curah hujan sangat mendukung  pengembangan sektor pertananian. Ditambah lagi di Jatim terdapat banyak lembaga pendidikan tinggi dengan jurusan pertanian yang tentunya dapat berperan lebih besar dalam mengakselerasi kemajuan dan perkembangan sektor pertanian. 

Dukungan fiskal pemerintah pusat ada sektor PKP di Jatim dikategorikan melalui 4 (empat) instrumen yaitu pertama melalui anggaran kementerian/kembaga (K/L) yang selama lima tahun terakhir rata-rata sebesar Rp1,21 triliun. Kedua, melalui DAK fiaik dengan alokasi 2021 mencapai Rp0,18 triliun. Ketiga, subdisi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada 465.815 debitur dengan jumlah kredit Rp13,23 triliun. Keempat,  subsidi pupuk dengan alokasi 2021 sebesar 2,3 juta ton pupuk bersubsidi. 

Dukungan fiskal pemerintah pusat melalui instrumen di atas nyatanya belum mampu mengangkat kesejahteraan petani di Jatim. Berdasarkam data BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai ukuran kesejahteraan petani di Jatim selama periode 2019-2021 hanya 100,41 (nilai 100 berarti impas, pendapatan petani sama dengan pengeluarannya), jauh di bawah angka nasional sebesar 102,56. 

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dengan dukungan fiskal saja tidak cukup untuk dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Dukungan fiskal selama ini lebih banyak menyasar sisi input petani (seperti subsidi benih, subsidi pupuk, peralatan pertanian, irigasi, proses produksi, dll). Sehingga dibutuhkan dukungan fiskal yang lebih menyasar sisi output petani terutama kebijakan harga komoditas pertanian. Selain itu pemerintah juga dapat mempertimbangkan reformasi agragria khususnya di sektor kepemilikan lahan usaha bagi petani berupa pemanfaatan tanah negara yang tidak produktif untuk dapat digunakan oleh masyarakat dalam upaya meningkatkan produksi sektor pertanian. Tulisan ini merupakan opini pribadi saya dan tidak mencerminkan kebijakan organisasi. 

***

*) Oleh: Luxman Efendy S.St.Ak, M.Si.Ak.,  Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II C pada Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Timur. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Bambang H Irwanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES