Kopi TIMES

Mewujudkan Kampus Ramah Minoritas

Selasa, 21 Desember 2021 - 14:43 | 53.56k
Azza Abidatin Bettaliyah, S.I.Kom, M.Med.Kom, Dosen Fakulas Teknik, Universitas Islam Lamongan (Unisla).
Azza Abidatin Bettaliyah, S.I.Kom, M.Med.Kom, Dosen Fakulas Teknik, Universitas Islam Lamongan (Unisla).

TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Tidak bisa dipungkiri, Indonesia merupakan Negara yang serba multi; multi suku, agama, etnis, budaya, golongan dan masih banyak ragam lainnya yang menjadi keunikan dari Negara dan masyarakat negara ini.

Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dan ramah di tengah perbedaan-perbedaan yang ada,  termasuk mewujudkan kehidupan yang ramah di lingkungan perguruan tinggi bagi mahasiswa minoritas.

Minoritas yang dimaksud semisalnya dari sudut pandang agama yang dianut, perbedaan ras dan suku mahasiswa dengan mayoritas mahasiswa lain, perbedaan bentuk fisik dengan mayoritas mahasiswa lain dan sebagainya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis terkait dengan “Adaptasi Budaya Mahasiswa Non Muslim dalam Kampus Islam”, bahwa; faktor agama dan faktor penampilan fisik menentukan tingkat kepercayaan diri mahasiswa non muslim di kampus Islam.

Dari faktor agama misalnya, ketika mahasiswa muslim (perempuan) mengenakan hijab dan yang non muslim tidak berhijab. Hal tersebut menjadikan diri mereka merasa sangat berbeda dengan yang lain.

Selain agama, penampilan fisik juga menentukan tingkat  kepercayaan diri mereka. Mahasiswa keturunan Tionghoa (secara fisik berkulit putih dan bermata sipit) yang berada di kampus dimana mayoritas mahasiswa asal suku Jawa, merasa tidak percaya diri karena penampilannya terlalu "Chinese".

Begitu pula dengan mahasiswa yang berasal dari Indonesia bagian Timur misalnya, merasa tidak percaya diri dikarenakan warna kulit dan penampilan beda dengan mahasiswa yang lain.

Untuk itu, diperlukan I’tikad kuat untuk mewujudkan kampus ramah bagi minoritas, setidaknya diwujudkan dalam dua aspek; sistem dan  budaya. 

Pertama; Sistem. Yang dimaksud dengan sistem disini adalah peraturan dan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan. Peraturan dan kebijakan kampus harus menempatkan mahasiswa minoritas dan mahasiswa mayoritas secara adil dan proporsional.

Maksudnya, peraturan dan kebijakan yang dilaksanakan adil, tidak boleh tebang pilih, yang diberlakukan bagi mahasiswa mayoritas juga harus diberlakukan kepada mahasiswa minoritas. Semisal kesempatan yang sama untuk memperoleh bantuan pendidikan (beasiswa).

Selain itu, peraturan dan kebijakan itu harus diberlakukan secara proporsional. Semisal, kebijakan yang mewajibkan mahasiswa tinggal di pondok pesantren mahasiswa (ponpesma) minimal 1 semester yang dijadikan salah satu syarat agar seorang mahasiswa bisa mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampus Islam.

Dalam pelaksanaanya, harus ada kebijakan khusus bagi mahasiswa non muslim. Semisal, bentuk “mondok” mahasiswa Nasrani cukup dengan mengikuti secara rutin kegiatan di gereja bagi mahasiswa yang beragama Kristen, di Pura bagi yang beragama hindu, di Vihara bagi yang beragama Budha dan di klenteng bagi yang beragama Konghucu.

Mahasiswa non muslim yang  melaksanakan program “mondok” di rumah ibadah masing-masing diharuskan membuat laporan kegiatan sebagai acuan dikeluarkannya sertifikat sebagai tanda telah mengikuti program ponpesma. Sehingga, mahasiswa non muslim juga memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki sertifikat dari Ponpesma yang nantinya akan dijadikan syarat untuk mengikuti kegiatan KKN.

Contoh lainnya, pemberlakuan mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI). Harus ada format khusus yang mengatur pelaksanaan mata kuliah PAI bagi mahasiswa non muslim.

Kedua, budaya. Untuk mewujudkan kampus yang ramah bagi minoritas, budaya saling menghormati dan sikap saling toleransi harus selalu dipupuk dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik oleh pimpinan, tenaga pendidikan dan mahasiswa. Semisal di bulan Ramadhan, ketika mahasiswa muslim sedang berpuasa, maka mahasiswa non muslim tidak boleh makan di depan umum atau ketika kegiatan kampus bertabrakan dengan kegiatan ibadah mahasiswa non muslim, waktu kegiatan tersebut harus diundur atau dimajukan. Sehingga mahasiswa non muslim bisa mengikutinya tanpa meninggalkan kewajiban beribadah.

Selain itu, mahasiswa mayoritas harus bahu membahu untuk menghilangkan culture shock pada mahasiswa minoritas. Culture Shock atau biasanya disebut dengan “Gegar budaya” merupakan perasaan yang menggambarkan perasaan terkejut, gelisah, keliru yang dirasakan seseorang saat bersentuhan dengan kebudayaan yang berlainan sama sekali.

Perasaan seperti ini timbul akibat adanya perbedaan dan kesulitan dalam beradaptasi dengan budaya baru yang kemudian menyebabkan seseorang sulit mengenali apa yang boleh dan dilarang, ada yang wajar dan tidak wajar.

Maka dari itu, kampus yang ramah minoritas diwajibkan turut serta memiliki kepedulian untuk membantu mahasiswa minoritas agar tidak terlalu terjebak dalam culture shock. Seluruh usaha yang tertulis diatas dilaksanakan demi mewujudkan kampus ramah minoritas dan demi mendukung Pendidikan multikulturalisme dalam kehidupan kampus. (*)

* ) Penulis: Azza Abidatin Bettaliyah, S.I.Kom, M.Med.Kom, Dosen Fakulas Teknik, Universitas Islam Lamongan (Unisla
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ardiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES