Peristiwa Nasional

Indonesia Fact-checking Summit 2021 Bangun Ekosistem Digital Sehat

Senin, 20 Desember 2021 - 18:30 | 30.95k
Webinar Sesi 1 dalam rangkaian Indonesia Fact Checking Summit 2021, Senin (20/12/2021). (Foto: Tangkapan Layar oleh TIMES Indonesia)
Webinar Sesi 1 dalam rangkaian Indonesia Fact Checking Summit 2021, Senin (20/12/2021). (Foto: Tangkapan Layar oleh TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTAIndonesia Fact-checking Summit 2021 mencapai acara puncak rangkaian yakni Webinar pada Senin (20/12/2021). Indonesia Fact-checking Summit 2021 diselenggarakan sejak 16-20 Desember 2021 dengan dukungan Google News Initiative. 

Salah satu esensi pembahasan yang ditekankan adalah upaya media membangun ekosistem digital yang sehat. 

Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua II AMSI, Irfan Junaidi, dalam sambutannya saat membuka sesi Webinar. Menurutnya, kegiatan ini dilaksanakan sebagai upaya untuk membangun ekosistem digital sehat.

“Masyarakat perlu dilibatkan dan mendapatkan literasi Cek Fakta agar tidak menelan informasi mentah-mentah dan mampu mengambil keputusan berdasarkan informasi yang benar. Kerja sama berbagai pihak menjadi mutlak,” ujarnya.

Menurutnya, kolaborasi multi pihak jadi kebutuhan mendasar memastikan kerja dan distribusi hasil pemeriksaan fakta dapat menyaingi kecepatan peredaran informasi bohong. Kolaborasi perlu dibangun dari hulu hingga hilir untuk menciptakan ekosistem informasi sehat bagi seluruh masyarakat.

Indonesia Fact checking Summit 2Webinar Sesi 2 dalam rangkaian Indonesia Fact Checking Summit 2021, Senin (20/12/2021). (Foto: Tangkapan Layar oleh TIMES Indonesia)

Ia menekankan Cek Fakta bukan milik satu pihak tertentu tapi melibatkan banyak pihak antara media, CSO, jurnalis dan berbagai lembaga.

Pada waktu bersamaan, juga dilakukan peluncuran Playbook Cekfakta.com sebagai produk kolaborasi pemeriksa fakta. Buku panduan dalam dua bahasa yang disematkan di website Cekfakta.com ini berisi strategi, program, latar belakang, proses kerja, hingga bagaimana kerja-kerja kolaborasi pemeriksaan fakta. 

Sekretaris Jenderal AMSI, Wahyu Dhyatmika, menerangkan buku ini dibagi dalam 8 BAB yang diharapkan dapat membantu sharing knowledge kepada publik, peminat pemeriksa fakta, serta akademisi melakukan studi, riset, dan membuka jejaring kerja bersama terkait pemeriksaan fakta. 

“Buku ini tersedia dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Harapannya buku ini bisa mencapai publik yang membutuhkannya dan menunjang kerja-kerja pemeriksaan fakta,” kata Wahyu.

Wahyu juga memberikan catatan kritis terkait kolaborasi yang sudah berjalan selama ini. Kata dia, hingga saat ini kerja-kerja pemeriksaan fakta belum menyentuh akar persoalannya.

Menurutnya, perlu ada upaya memastikan kerja-kerja periksa fakta itu harus berdampak pada penciptaan ekosistem informasi yang lebih sehat. Kondisi pandemi, tambah Wahyu, memaksa berbagai elemen pemeriksa fakta berkomunikasi dan berjejaring dengan beragam komunitas baru seperti dari bidang kesehatan guna menyaingi peredaran informasi bohong seputar Covid-19. 

“Pengalaman ini harusnya bisa kita coba replikasi buat konteks lebih luas di luar isu kesehatan,” tuturnya. 

Wahyu mengajak seluruh komponen untuk membuat strategi bersama guna menyasar akar masalah penyebaran hoaks. Bukti tidak sehatnya ekosistem informasi itu, antara lain, kriminalisasi pemeriksa fakta, mempertanyakan kredibilitas pemeriksa fakta, doxing, perisakan daring, hingga terpolarisasinya kelompok masyarakat. 

Pada Webinar sesi 1 yang bertema “Tantangan dan Peluang Cek Fakta sebagai Upaya Kolaborasi Media dan CSO dalam Membangun Ekosistem Informasi yang Kredibel di Indonesia” menghadirkan beberapa narasumber.

Mereka adalah Septiaji Eko Nugroho (Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia/ Mafindo), Wanda Indana (Eedaktur Medcom.id), Elin Yunita Kristanti (Wakil Pemimpin Redaksi Liputan6.com), Donny Budi Utoyo (Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika), dan Wahyu Dhyatmika, Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).

Kolaborasi bernama Cekfakta.com ini terus berjalan dengan melibatkan 24 media massa di Indonesia. Kolaborasi ini secara formal terbentuk selepas Trusted Media Summit 2018 yang melibatkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia, komunitas pemeriksa fakta Mafindo. 

“Kelebihan kolaborasi periksa fakta Indonesia ini sangat kuat, mungkin paling kuat di Asia Tenggara,” kata Septiaji. 

Tantangannya adalah memastikan kerja-kerja dan hasil pemeriksaan fakta bisa terdistribusi viral seperti halnya informasi bohong. Mafindo menilai kolaborasi paling sederhana dengan berbagai pihak adalah menyebarkan hasil cek fakta seluas-luasnya. Catatan Mafindo semasa pandemi, peredaran konten verifikasi yang beredar hanya mencapai 10 persen dari konten mis/disinformasi (hoaks). 

Senada, Elin dan Wanda dari perwakilan media yang memiliki kanal periksa fakta, menuturkan kolaborasi penting dalam konteks melindungi publik sebagai kelompok yang paling rentan dalam penyebaran informasi bohong. Pihaknya mengajak masyarakat agar berpartisipasi aktif melawan hoaks. 

"Kami gelar kelas virtual untuk berbagi ilmu serta mengajak pakar memberikan penjelasan kepada 15 grup Whatsapp dengan kurang lebih dua ribu anggota yang kami kelola,” jelasnya. 

Wanda membagi pengalamannya bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan terkait maraknya informasi bohong berbasis politik yang beririsan dengan isu agama. 

“Kami juga buat pelatihan verifikasi fakta dasar bagi masyarakat,” kata Wanda menambahkan. 

Sementara itu, Webinar pada sesi kedua menghadirkan narasumber Citra Dyah Prastuti (Badan Pengawas dan Pertimbangan AMSI), Novi Kurnia (Koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital/ Japelidi), Widjajanto (Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES), Ismail Fahmi (Direktur Media Kernels Indonesia/ Drone Emprit) dan moderator Santi Indrastuti (Presidium Mafindo).

Saat membuka sesi kedua webinar bertema “Mengukur Dampak Cek Fakta: Sejauh Mana Media Berhasil Menangkal Hoaks”,  Sasmito Madrim (Ketua AJI) mengatakan tugas jurnalis secara alamiah adalah melakukan verifikasi dan menjernihkan banjir informasi yang menyebar di jagat digital. 

“Kolaborasi antar jurnalis, perusahaan media, dan masyarakat sipil sudah sangat baik dalam memerangi hoaks yang menyebar. Namun, yang tidak kalah penting adalah memastikan hasil pemeriksaan fakta yang dilakukan media tersebut sampai ke publik supaya dapat mengambil keputusan dengan tepat,” ujar Sasmito.

Di sisi lain, Direktur Media Kernels Indonesia/ Drone Emprit, Ismail Fahmi, menyampaikan dalam percakapan terkait hoaks, posisi media masih jauh kalah populer dari influencer. 

Saat Pilpres 2019 gerakan cek fakta masuk di tengah-tengah antara kedua kubu. Posisi cek fakta sangat penting, banyak publik figur yang membutuhkan bantuan untuk pengecekan fakta. 

“Media Cek Fakta perlu masuk di cluster-cluster masyarakat yang ada, perlu melibatkan masyarakat sebagai agen untuk membantu distribusi. Agar Cek Fakta bukan lagi di tengah kedua kubu, tapi seperti udara ada di mana-mana,” pungkasnya pada acara Indonesia Fact-checking Summit 2021. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES