Kopi TIMES

Memupuk Harapan untuk Kesetaraan Berkeadilan

Kamis, 16 Desember 2021 - 00:23 | 119.86k
Agustina Suswardani Kanti Astuti, S.IP, MM; Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II A pada Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi DIY
Agustina Suswardani Kanti Astuti, S.IP, MM; Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II A pada Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi DIY

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTAPANDEMI menjadi krisis yang paling dalam dampaknya, karena memukul keras ekonomi Indonesia sehingga perlu membangun kembali harapan. Pemerintah dengan sigap mencoba mencari upaya di tengah krisis yang berkepanjangan ini.

Pengalaman dua tahun berjibaku melawan pandemi membuat semakin dewasa dalam bersikap. Segala upaya dilakukan pemerintah dalam mengatasi krisis.

Dimulai dengan langkah pengetatan aktivitas masyarakat, meskipun hal ini akhirnya membawa dampak sosial yang luar biasa karena ekonomi Indonesia bertumpu pada mobilitas.

Dengan pembatasan aktivitas masyarakat otomatis geliat ekonomi semakin melambat yang berdampak pendapatan negara mengalami penurunan. Di sisi lain belanja mengalami kenaikan signifikan karena pemerintah menjadi tumpuan penyelamatan ekonomi, kesehatan dan sosial, dengan mengambil konsekuensi pembiayaan ditingkatkan, ruang fiskal diperlebar dan defisit dilonggarkan.

Kemewahan yang kita nikmati saat ini didapatkan dari campur tangan pemerintah untuk melindungi rakyatnya (seperti pemberian vaksin Covid-19), bukanlah kemewahan yang bisa dipergunakan semaunya. Tetapi harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab untuk memastikan agar kita segera terbebas dari dampak pandemi, meski kurva kasus positif dan angka kematian melandai.

Reformasi sistem kesehatan nasional diarahkan untuk percepatan pemulihan serta mendorong kesiapsiagaan ketahanan dan tetap melanjutkan program strategis.

Mengutip data dari Kementerian Keuangan, alokasi TKDD tahun 2021 mencapai Rp795,5 triliun atau sekitar 45,6 persen dari total penerimaan pajak dan PNBP. Hal ini menunjukkan perhatian dan keseriusan dukungan pusat kepada daerah guna penguatan layanan publik.

Sejauh ini, belanja yang digencarkan pusat untuk pembangunan belum sepenuhnya diikuti pemda yang cenderung menggunakan TKDD untuk belanja perjalanan dinas dan program yang luar biasa banyaknya.

Di sinilah pusat hadir untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat secara merata seperti yang diamanatkan dalam sila kelima Pancasila serta UUD 1945 pasal 33.

Soal kemandirian fiskal, banyak daerah yang belum mandiri, karena tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat relatif tinggi. Provinsi DIY misalnya, realisasi pendapatan hingga Triwulan III 2021 sebesar Rp11,3 triliun atau 72,18 persen dari pagu.

Realisasi pendapatan daerah masih didominasi transfer sebesar Rp8,47 triliun (74,72 persen), PAD Rp2,81 triliun (24,82 persen) dan lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar Rp 52,09 miliar atau 0,46 persen.

Dari data ini terlihat bahwa ketergantungan Pemprov DIY atas pendapatan transfer masih relatif tinggi. (Sumber: GFS, LRA Kab/Kota/Prov DIY 2021, diolah).

Demikian juga Provinsi Papua Barat dengan realisasi pendapatan sampai dengan Triwulan III sebesar Rp9,45 triliun atau 45.73 persen dari pagu, realisasi pendapatan daerahnya masih juga didominasi pendapatan transfer sebesar Rp 8,8 triliun (94,58 persen) sementara PAD hanya sebesar Rp599 miliar (0,06 persen) dan lain-lain pendapatan yang sah sebesar Rp194 miliar atau (0,020 persen) (Sumber: SIKD, diolah).

Hal ini menjelaskan bahwa ketidakmandirian fiskal juga disebabkan berbagai hal mulai dari PAD yang kecil sedangkan belanja daerahnya besar, penerimaan pajak daerah yang rendah, kesenjangan wilayah atau sering terjadi bencana, Dana Bagi Hasil (DBH) yang rendah serta banyak program yang tidak tepat sasaran.

Meskipun jika dilihat dari potensi wilayah bisa dibilang cukup tinggi, hanya secara praktik yang berjalan, bisa dikatakan dorongan serta motivasi belum cukup kuat dari pemda untuk melepaskan diri dari peran pemerintah pusat.

Pembangunan daerah yang semakin masif memberikan harapan besar di mana daerah dapat menyeimbangkan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang hasil akhirnya adalah untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat.

RUU HKPD disusun untuk mengganti dua Undang-Undang, yakni UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, sebagai upaya penguatan desentralisasi fiskal yang mendorong pengalokasian sumber daya nasional secara efektif dan efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan, akuntabel dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat, dan menjadi bagian dari agenda reformasi di bidang fiskal dan struktural untuk mencapai Indonesia Maju 2024.

RUU HKPD telah disahkan menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna di Gedung DPR pada 7 Desember 2021. Inilah upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam memanfaatkan momentum krisis, mengubah tantangan menjadi harapan.

Konsepsi dalam UU HKPD bukan bertujuan untuk resentralisasi, melainkan menguatkan peran dan tanggung jawab pemda dalam mewujudkan pelayanan publik dan kesejahteraan bersama-sama pemerintah pusat dalam bingkai NKRI.

UU HKPD memuat aturan pokok di antaranya meliputi pajak dan retribusi daerah, transfer ke daerah, pengelolaan belanja daerah, pembiayaan utang daerah, pembentukan dana abadi, sinergi pendanaan dan sinergi kebijakan fiskal nasional yang memberikan kemampuan kepada pemda untuk berkinerja lebih optimal dalam memberikan layanan publik serta secara sinergis memiliki derap langkah seirama dengan pemerintah pusat untuk mencapai tujuan bernegara.

Hal ini sekaligus menjadi manifestasi dari asas gotong royong antara pemerintah pusat dan pemda untuk kemakmuran rakyat.

Harapan yang telah disemai dan dipupuk, perlu ditebar dengan menyelami pengalaman bertahan dalam segala situasi di mana pemerintah bekerja extraordinary untuk menuntaskan pemulihan ekonomi.

Dengan melihat fakta, wajar upaya pemerintah tersebut patut didukung semua pihak dan benar-benar dilaksanakan karena institusi yang mampu melakukan mediasi sebagai jembatan semua pihak.

Kementerian Keuangan melalui Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air berperan sebagai Regional Chief Economist (RCE) bersama dengan pemda bersinergi mendorong akselerasi belanja pemda dan pengelolaan keuangan.

Konsolidasi fiskal perlu terus ditingkatkan karena pemenang dari krisis ini adalah yang melakukan keputusan yang tepat di saat krisis dengan memanfaatkan adaptasi perubahan teknologi, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip lama yang masih kompeten di masa sekarang ini, tetapi selalu terbuka dengan tantangan baru yang merupakan peluang dan harapan Indonesia untuk semakin maju dan berkembang.

Sesuai komitmen pemerintah bahwa kita harus luwes, adaptif, terbuka pada hal baru, peluang baru, bahkan dengan aktor baru yang mungkin akan terlibat demi pemulihan ekonomi negara kita tercinta, Indonesia. (*)

***

*) Oleh: Agustina Suswardani Kanti Astuti, S.IP, MM; Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II A pada Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi DIY.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_______
**)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES