Kopi TIMES

Lapas Sebagai Tempat Penjeraan, Masihkah?

Rabu, 15 Desember 2021 - 06:03 | 85.86k
Okki Oktaviandi. S.Tr.Pas., S.H.; ASN Kementerian Hukum dan HAM
Okki Oktaviandi. S.Tr.Pas., S.H.; ASN Kementerian Hukum dan HAM

TIMESINDONESIA, SULAWESI – "Reformasi Pemasyarakatan memang tidak bisa dipisahkan dari pembaharuan dalam sistem peradilan dan pemidanaan. Sampai kapanpun penjara (lapas) tidak akan pernah cukup, jika semangat memenjarakan orang tak pernah redup." Kalimat ini diambil dari penggalan puisi Najwa Shihab pada tayangan Narasi TV tanggal 17 November 2021.

Akhir-akhir ini, media sorak ramai memperbincangkan persoalan manajemen lapas khususnya dalam penanganan terhadap narapidana dan juga tahanan. Jadi, bagaimanakah seharusnya para narapidana mendapatkan penanganan di dalam lapas?

Ujian penjara sekarang Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai tempat penjeraan telah dimulai sejak lahirnya sistem penjara kolonial Hindia Belanda yakni pada abad ke-19. Sistem kepenjaraan yang dibangun dengan dogma penjeraan menjadi satu-satunya cara yang dianggap pantas dan layak bagi siapa saja yang terhukum dan menjalani pidana di dalam Lapas.

Berdasar pada pasal 10 Wetboek Van Stafrecht Voor De Inlanders In Nederlands Indie, Negara mempunyai kewenangan absolut untuk mengatur para pelanggar hukum agar kapok alias taubat.

Kendati demikian, sistem kepenjaraan Hindia Belanda ini kian menambah daftar hitam bagi sejarah kepenjaraan di Indonesia. Bukannya menjadikan penjara sebagai rumah pertaubatan, melainkan menjadi tempat penyiksaan yang pada akhirnya menimbulkan kejahatan yang lebih besar atau dengan kata lain adalah meningkatnya jumlah residivis (pengulangan tindak kejahatan).

Berdasarkan data Sistem Database Pemasyarakatan (SDP), angka residivis di Indonesia sudah mendekati angka 30 ribu dari jumlah total narapidana adalah 272.212 narapidana per tanggal 10 Desember 2021 pukul 08.00 WIB. Namun, apakah angka ini akan menurun atau justru meningkat? Dan, sejauh manakah ujian Lapas sebagai bagian akhir dari proses peradilan pidana mampu mengatasi problematika kejahatan di Indonesia saat ini?

Konsepsi Pemasyarakatan

Di tahun 1963, istilah lembaga Pemasyarakatan yang semula penjara telah digelorakan oleh Sahardjo, Menteri Kehakiman saat itu. Meskipun mendapat perdebatan dari pelbagai pejabat pemerintahan dan aktivis hukum namun penekanan terhadap perlakuan yang humanis menjadi era baru dalam politik pemidanaan di Indonesia.

Selain itu, konsep Pemasyarakatan ini mengubah sistem pemenjaraaan yang dahulu berasas penjeraan kini menjadi resosialisasi dan reintegrasi. Yakni mengembalikkannya ke masyarakat. Konsep inipun kian digalakkan ke masyarakat luas, walaupun demikian konon sampai saat ini masih banyak masyarakat yang meyakini bahwa lapas adalah sebagai tempat untuk menjerakan.

Lahirnya konsep Pemasyarakatan mengubah paradigma baru dalam proses pemidanaan senada dengan restrukturisasi bentuk pemidanaan yang bersifat punitif menjadi resosialitatif. Legitimasi pemidanaan menjadi Pemasyarakatan menjadi satu- satunya cara yang paling efektif dalam memodifikasi tindakan atau perilaku kejahatan.

Konsep ini lebih mengedepankan perilaku sebagai objek dimana perubahan perilaku menjadi tujuan dari proses legitimasi pemidanaan. Pada akhirnya, proses modifikasi dengan jalan pembinaan terhadap para pelaku tindak kriminal diharapkan akan merestart pola perilaku pelanggar hukum. Sejatinya, hal ini telah diuraikan dalam pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dimana, tujuan dari Pemasyarakatan adalah melaksanakan pembinaan kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Rumah Pendidikan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan

"Lapas tidak hanya menjadi Rumah Pendidikan Negara (RPN), namun Lapas mempunyai tanggung jawab yang sangat besar yakni menyadarkan para terhukum untuk bertaubat dan berusaha menjadikan mereka menjadi terlatih dan terdidik sehingga dapat kembali ke masyarakat," seperti ditulis dalam Suara Buruh Kependjaraan, Mei 1957.

Namun, apakah Lapas yang menyandang predikat sebagai Rumah Pendidikan Negara menjadi satu-satunya cara bagi negara untuk mendidik warga negaranya yang terjerat hukum untuk kembali ke masyarakat? Tentu sebuah kontradiksi ketika Lapas yang secara tugas pokok dan fungsi sebagai pengemban tugas ini jika melihat kondisi masyarakat dewasa kini. Haruskah Lapas menjadi tumbal ketika negara gagal dalam dalam mendidik warga negara yang baik dan bertanggung jawab?

Lebih jauh lagi, seharusnya seluruh komponen aparat penegak hukum dan masyarakatlah yang mempunyai andil dalam proses pembinaan terhadap warga negaranya.

Dalam Sistem Peradilan Pidana, Lapas menjadi bagian akhir dalam proses peradilan pidana atau dengan kata lain Lapas menjadi satu-satunya tempat bagi mereka yang telah dinyatakan bersalah dihadapan hukum. Lapas diyakini menjadi lembaga pelaksana dalam melakukan pembinaan bagi mereka, sehingga setelah bebas mereka dapat kembali hidup di masyarakat.

Namun, lagi-lagi pembinaan didalam Lapas sesungguhnya tidak dapat menjamin seutuhnya bagi para pelanggar hukum untuk tidak kembali melakukan kejahatan ketika selesai melakukan pidananya. Walaupun dari sebagian mereka ada yang berhasil tetapi presentase keberhasilan narapidana belum sebanding dengan mereka yang gagal dalam proses pembinaan di dalam Lapas. Kuncinya adalah bagaimana negara hadir dan masyarakat turut berperan aktif dalam proses pembinaan para narapidana ketika diluar Lapas.

Banyak faktor yang tentu menjadi penghambat dalam proses pembinaan di dalam Lapas, sehingga terkadang pembinaan terhadap narapidana bukannya semakin baik tetapi menjadi lebih jahat dari sebelumnya. Adapun pelbagai permasalahan yang timbul yakni budaya pemenjaraan yang masih sangat kental.

Selain itu, lapas menjadi tempat pertemuan bagi seluruh pelaku tindak kejahatan atau sarang kejahatan sehingga sangat memungkinkan terjadinya efek prisonisasi yakni sekolah kejahatan bagi para narapidana. Belum lagi kondisi overcrowded yang terjadi di hampir seluruh lapas di Indonesia yang menyebabkan kurang optimalnya pelaksanaan pembinaan di dalam Lapas.

Oleh sebab itu, perlu menjadi catatan khusus bagi negara untuk menangani persoalan tersebut. Negara perlu jeli melihat permasalahan yang kompleks sehingga persoalan tersebut tidak selalu berulang.

Lapas seharusnya tidak menjadi satu-satunya tempat bagi mereka yang divonis bersalah, namun lebih jauh pemilihan lapas adalah menjadi upaya terakhir (ultimum remedium) ketika penanganan terhadap pelanggar hukum tidak menemui titik terang.

“Jangan bebankan hanya kepada Pemasyarakatan saja.“ seperti pendapat Reynhard Silitonga dalam sebuah FGD Beban Pemasyarakatan akibat Sanksi Pidana Penjara. Akhirnya, masih banyak solusi dan alternatif pemidanaan (alternative improsenment) yang dapat diambil pemerintah dalam penangan terhadap pelanggar hukum salah satunya adalah dengan menyelenggarakan pidana sosial atau pidana denda. Hal ini tentu sangat efektif dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan kejahatan dengan mengedepankan pendekatan restorasi.

Langkah ke depan

Paradoks penjara menjadi momok bagi mereka yang melanggar hukum perlahan mulai tergerus akibat pendekatan yang humanis terhadap proses pemidanaan yang bersifat resosialitatif atau dengan kata lain pembinaan yang sudah tidak mengenal lagi kata penyiksaan. Sistem Restorative Justice yang belakangan ini telah dibangun oleh Pemasyarakatan dan sejumlah APH kini mulai terasa dampak dan outputnya. Salah satunya dengan penerapan diversi dari Sistem Peradilan Pidana Anak sekaligus peran dari Pokmas Lipas yang sangat mendorong tercapainya upaya alternative imprisonment antara pelaku dan juga korban yang bersengketa.

Selain itu, kebijakan dari Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terkait Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak yang mengalami perpanjangan selama masa pandemi Covid-19 juga sangat signifikan dalam membantu penanganan laju pertumbuhan kejahatan serta overcrowded dengan jalan membaurkan mereka ke masyarakat.

Namun hal ini tentunya dilaksanakan bagi mereka yang telah memenuhi syarat adminitrasi dan subtantif dalam lapas dan mendapat pengawasan secara berkala oleh pertugas Pembimbing Pemasyarakatan selama proses pembinaan berlangsung di luar lembaga.

Yassona H. Laoly pernah menegaskan bahwa pembinaan di luar lembaga merupakan salah satu program pembinaan yang selama ini telah berjalan dengan membaurkan narapidana ke masyarakat umum. Menurutnya, meskipun masih banyak pihak yang menentang, namun hal ini sangat efektif sebagai upaya pengendalian overcrowded lapas dan kebijakan humanis di masa pandemi Covid-19. Pada akhirnya resolusi Pemasyarakatan mampu memberikan rekomendasi pemidanaan yang tepat bagi para pelanggar hukum dan membantu mengatasi disharmonisasi pelaksanaan pemidanaan sebagai jalan keluar dalam caruk-maruk permasalahan pemidanaan di Indonesia.

***

*)Oleh: Okki Oktaviandi. S.Tr.Pas., S.H.; ASN Kementerian Hukum dan HAM.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES