Kopi TIMES

Kadrun, Cebong Bersatulah! Kita Punya Musuh Bersama

Rabu, 15 Desember 2021 - 02:32 | 98.14k
Ikrama Masloman, Peneliti Senior LSI
Ikrama Masloman, Peneliti Senior LSI

TIMESINDONESIA, MANADO – Tulisan ini bukan bermaksud menceramahi dua kubu citizenship yang dilabeli kampret versus cebong, yang hari ini telah bertransformasi menjadi kadrun versus togog. Polarisasi keduanya telah melampaui konteks kelahirannya. Yaitu sekedar pelabelan pendukung pada ajang pencapresan 2019 kemarin.

Setelah hampir tiga tahun berlalu, ditambah dua pasangan kandidat yang bersiteru telah melebur dalam satu kapal pemerintahan, polarisasi tak tampak surut. Bahkan terjadi eskalasi pertentangan dimana-mana.

Apakah polarisasi ini tidak merugikan rakyat? Bukankah melestarikan pembelahan ini hanya menguntungkan mereka yang sengaja mengkomodifikasikan identitas dan sentimen untuk jenjang kekuasaannya.

Seperti janji penulis, tulisan ini bukan untuk menasehati, hanya sekedar menjadi teman untuk berfikir.

Kejahatan Pelabelan

Konsekuensi dari pelestarian label kadrun vs cebong, tidak hanya melanjutkan pembelahan tajam seperti hari ini. Kadrun vs cebong dapat bermetamorfosis hingga bentuknya yang sempurna yaitu sumber kejahatan politik. Saya memproyeksikan setidaknya ada tiga fase yang akan menyempurnakan pelabelan ini hingga mewujud kejahatan tersebut.

Pertama, bias kewarganegeraan. Kecenderungan ini terpampang di aneka linimasa sosial media kita. Ruang perdebatan tidak lagi mengandung muatan untuk saling memboboti dengan masukan gagasan atau setidaknya kritik konstruktif (kritik yang memberdayakan). Narasi itu tenggelam dengan narasi sentimentalitas yang mengoyak habis kohesi sosial kita. Prasangka, stigmatisasi, kebencian pada personal, xenofobik, sentimen rasial, kesukuan dan agama yang mengglorifikasi politik identitas sebagai grand narrative, yang pada kenyataannya itu semua tidak berhubungan langsung dengan urusan publik. 

Jika kubu-kubuan ini ditempatkan pada sebuah spektrum, cebong berada pada posisi kanan paling ekstrem, sedangkan kadrun ada di kiri yang paling ujung. Hal ini anomali bahkan paradox di saat simbol pemimpin gerbong kubu kadrun yang waktu itu disebut kampret dengan simbolnya Prabowo – Sandi yang telah menjadi pembantu Jokowi dalam kabinet Indonesia Maju, tidak mampu menghentikan sentimen ini.

Setidaknya ada dua tafsir mengapa rekonsiliasi hanya terjadi pada tataran elit, tanpa menetes hingga akar rumput. Pertama, ketidakmampuan membaca pandangan pengikutnya, kedua, mungkin mengira kubu ini betumpu pada personal bukan pada isu yang sifatnya impersonal. Seperti semangat beroposisi pada rezim dan akumulasi isu agama yang bias konservatisme dan isu kebebasan yang diselubungi ingatan tindakan represif yang pernah mereka dengar dan terima.

Dua hal tersebut setidaknya yang membuat Prabowo-Sandi menurut penulis tidak hanya gagal menarik gerbong, bahkan terlepas dan terjungkir dari gerbongnya. Sehingga gerbong melirik lokomotif baru yang terbuka pada Anies, AHY dan lainnya.

Sedangkan kelompok Cebong atau togog semoga tidak mengarah pada apa yang saya sebut sebagai fasistik sipil, yaitu fanatisme ultra nasionalis. Berbekal pada pemahaman itu, tidak sedikit kelompok ini memposisikan mereka seperti pamong-pamong pemerintah, kadang berperangai lebih hebat dari pada jubir presiden, mendeclare sebagai kelompok rasional penjaga benteng kebhinekaan, meskipun sikapnya kerap berkebalikan.

Fasistik sipil membuka jalan pada gerakan penyingkiran (decentering) yang mulai tampak pada komentar-komentar netizen seperti “unta arab pulang ke kampung loe” “bersihkan kutu kadrun dari sayap garuda,” ujar cebonger. 

Tidak hanya pedas ujaran kebencian seperti itu juga menjijikan, sikap ultra nasionalis seperti ini, kita perlu belajar pada Orde Baru bahwa Pancasila dan jargon pembangun seperti Repelita, pernah dijadikan alat manipulasi untuk menuding aktivis pengkritik soeharto sebagai tidak pro pembangun, komunis bahkan teroris.  

Menurut Milan Svolik (2019) dalam Polarization versus Democracy. Pembelahan yang tajam dapat mengarah pada apa yang disebutnya sebagai democratic breakdowns. Dalam penelitiannya dibeberapa negara, publik yang terbelah cenderung mendahulukan atau membela kepentingan politik mereka ketimbang menjaga nilai-nilai demokrasi. Artinya terdapat potensi melawan demokrasi bahkan konstitusi sebagai dasar kewarganegaraan, demi membela kepentingan politik kelompoknya. Maka bias kewarganegaraan terjadi, ketika kelompok masyarakat bersama meminggirkan aturan main dalam berbangsa, saling mempertahankan kepentingan politiknya ketimbang konsensus bersama yang disepakati, diujungnya tentu sudah menanti kekacauan perpecahan.

Fase kedua, yaitu  pengerasan dalam pengorganisasian kelompok. Jika suatu kelompok dilabeli dengan justifikasi kelompok menyimpang, maka maka algoritma sosial dapat juga bercorak gelembung penyaringan (filter buble) karena desakan, tekanan dan mencari kelompok pertahanan yang sama karakter dan asosiasinya.

Jika suatu kelompok diidentifikasi menyimpang, sangat sulit untuk menghapus label itu. Individu tersebut menjadi terstigmatisasi sebagai penjahat dan cenderung dianggap tidak dapat dipercaya oleh orang lain. Maka jika kondisi terlabelisasi seperti ini tidak dihapus atau setidaknya dimediasi. Maka kelompok-kelompok yang berseteru makin terisolasi secara intelektual, dan akan membahayakan karena tidak terdapat jembatan untuk semua kelompok duduk bersama.

Fase Ketiga, tentu adalah akumulasi yang menakutkan, berawal dari pelabelan, mengerasan dengan ketidakpercayaan dan kebencian. Maka ujungnya adalah diskriminasi dan penindasan sesama anak bangsa.

Mencari Musuh Bersama 

For the many, not for the few, ungkap Jeremy Corbyn dalam Menifesto Partai Buruh 2017 lalu. Politik memang esensinya untuk semua bukan untuk beberapa kelompok. Catatan paling awal tentang politik juga menyebutkan zoon politikon atau soyos politikos. Terjemahannya memang binatang yang berpolitik. Namun secara konotatif yang dimaksud adalah perbedaan spesifik kita manusia dengan binatang adalah politik itu sendiri. Yang terjemahan lainnya adalah politea atau polis yang berarti negara kota. Bahwa ada penegasan hanya manusialah yang bisa tinggal di kota. Kata lainnya, tujuan politik sesimpel bisa hidup bersama (living together is possible) dengan apapun pilihan nilainya (the idea of good life) yang dipilih bersama. Namun kondisi pembelahan kadrun vs cebong membuat tujuan sesimpel hidup bersama menjadi sulit.

Untuk memenuhi cita-cita politik simpel namun mulia itu, maka perlu digagas aliansi baru, sekaligus secara tidak langsung menghapus perseteruan lama, dengan cara membangun aliansi kadrun plus cebong dalam koalisi anak bangsa, melawan musuh yang betul-betul nyata. Tidak seperti hari ini, menurut penulis musuhnya ecek-ecek, yaitu politik identitas dan semangat ultra nasionalis saja.

Karena menganggap kedua kubu ini sebagai musuh, adalah kesesatan bernalar menurut Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon (2014: 117). Hal ini disebut manusia Jerami (straw man) dimana ketika kita menyerang atau menolak sesuatu, padahal subjek yang sebenarnya tidak disentuh atau disangkal sama sekali. Singkatnya, seperti namanya, layaknya ketika ingin memukul manusia, kita justru hanya memukul manusia jerami.

Menolak menjadi manusia Jerami, maka kita tidak akan memukul atau bermusuhan, hanya karena kita berbeda identitas, atau berbeda pandangan, dan sudah semestinya ide dan gagasan tampil di tengah-tengah ruang publik untuk bisa uji, dikritik sehingga memiliki argumentasi yang kuat, pengujian itu harus dilihat sebagai urusan publik, bukan personal apalagi kelompok.

Lalu jika tidak boleh mempermasalahkan identitas, karena identitas jika tampil dalam panggung publik, percaya atau tidak ia merupakan hasil kreasi politik. Dapat dijadikan alat oleh mereka untuk mempertahankan hirarki moral dan hirarki kekuasaan. Kemudian, jika tidak boleh juga baper ketika ide dan gagasan kita harus diuji dan dibuka pintu kritik. Maka untuk alasan apa? koalisasi anak bangsa ini bergerak.

Koalisi anak bangsa, perlu bergandeng tangan melawan musuh bersamanya. Membangun kesadaran kolektif sebagai kelompok yang dipinggirkan secara ekonomi politik selama ini.

Kita adalah kelompok petani, umkm, para buruh, pengusaha, profesional, emak-emak dan milenial, harus melawan para oligarki yang berisikan segelintir orang yang menguasai sumber daya. Melawan para elit yang bermain mata terlibat dan menyokong kartel-kartel bisnis, yang membuat kita terpinggirkan dari kesempatan dan hak-hak penghidupan.

Sesungguhnya mereka adalah musuh bersama nyata kita. Bukan cebong. Bukan kampret.

***

*) Oleh : Ikrama Masloman, Peneliti Senior LSI.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES