Kopi TIMES

Bunuh Diri dan Tanggung Jawab Sosial

Rabu, 15 Desember 2021 - 00:23 | 131.60k
Dimas Wira Adiatama, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta.
Dimas Wira Adiatama, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Bunuh diri merupakan salah fenomena yang tidak begitu asing dalam kehidupan masyarakat. Meskipun begitu, tetap saja tindakan ini tidak dapat dibenarkan. Mengingat intensitasnya yang cenderung meningkat, bunuh diri tidak hanya menjadi permasalahan personal, melainkan juga permasalahan sosial.

Dikutip dari kompas.com (12/9/2021), menurut Asosiasi Internasional untuk Pencegahan Bunuh Diri, setiap 40 detik, seseorang melakukan bunuh diri di seluruh dinia. Artinya terdapat sekitar 800.000 kejadian bunuh diri setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2MKJN) 2019, terdapat 16.000 kasus bunuh diri setiap tahunnya. Motif dari tindakan bunuh diri bervariasi, mulai dari kesulitan ekonomi, ketidakharmonisan rumah tangga, hingga masalah asmara.

Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah kasus Novia Widyasari - mahasiswi asal Mojokerto, di awal bulan Desember. Ia ditemukan tidak bernyawa di sekitar makam ayahnya. Diduga ia mengakhiri hidupnya setelah meminum racun yang dicampur dengan sebuah minuman. Setelah dilakukan penyelidikan, kuat dugaan bahwa motif bunuh ini dilandasi oleh permasalahan asmara, di mana korban yang tengah hamil dipaksa untuk melakukan aborsi oleh sang kekasih. Hal ini membuat korban frustrasi, sehingga memilih untuk mengakhiri hidup.

Penyebab Bunuh Diri

Secara umum, fenomena bunuh diri seringkali diakaitkan dengan kondisi psikologis korban. Stres, frustasi, hingga depresi merupakan beberapa penyebab yang kerap diidentifikasikan pada korban bunuh diri. Selain itu beberapa penyakit mental, seperti skizofrenia ataupun narcissistic personality disorder, juga menjadi faktor penyebab terjadinya bunuh diri. Hal ini membuat pendekatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bunuh diri adalah pendekatan psikologis, seperti terapi kejiwaan, pendampingan psikolog, ataupun anjuran-anjuran agar lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME.

Namun, bunuh diri tidak hanya dapat dipahami sebagai fenomena personal yang bersifat psikologis, melainkan juga fenomena sosial yang bersifat sosiologis. Salah seorang sosiolog terkemuka asal Prancis, yaitu Emile Durkheim, pernah menjelaskan fenomena bunuh diri melalui karyanya yang berjudul Le Suicide (1897). Durkheim melihat bunuh diri sebagai tindakan individu yang dilatarbelakangi oleh faktor-faktor sosial, seperti integrasi, solidaritas, nilai, dan norma.

Terlalu lemahnya, terlalu kuatnya, ataupun tidak adanya faktor sosial dapat menjadi penyebab terjadinya bunuh diri. Ini yang kemudian menjadi dasar pembentuk tipe-tipe bunuh diri menurut Durkheim, diantaranya bunuh diri egoistik (egoistic suicide), bunuh diri altruistik (altruistic suicide), bunuh diri anomie (anomie suicide), dan bunuh diri fatalistik (fatalistic suicide).

Dalam kasus bunuh diri Novia Widyasari maupun kasus-kasus lain yang sejenis, secara sosiologis dapat dikategorikan sebagai bunuh diri egoistik. Tipe bunuh diri ini terjadi karena integrasi sosial yang terlalu lemah. Individu merasa terasing dengan lingkungan sosialnya dalam jangka waktu yang lama. Kurangnya ikatan dan solidaritas sosial membuat individu merasa tertekan, khususnya jika sebelumnya memiliki beban masalah seperti yang dialami Novia. Kasus bunuh diri egoistik bisa saja dicegah apabila lingkungan sosial memberikan dukungan terhadap individu yang memiliki beban masalah tertentu. Dukungan ini merupakan bentuk dari ikatan dan solidaritas sosial, sehingga individu tidak merasa terasing.

Tanggungjawab Sosial

Melalui pendekatan sosiologis Durkheim atas kasus bunuh diri Novia Widyasari, maka dapat dikatakan bahwa fenomena bunuh diri tidak hanya menjadi tanggungjawab individu. Sorotan atas fenomena bunuh diri tidak hanya difokuskan pada kehidupan korban, seperti kondisi psikologis ataupun religiusitas. Penting untuk meninjau faktor sosiologis, seperti ikatan dan solidaritas sosial, sehingga setiap anggota masyarakat memiliki peran dan tanggungjawab yang sama untuk saling menjaga dan mendukung.

Masing-masing anggota masyarakat perlu menjaga keseimbangan, keselarasan, dan keteraturan sosial agar tidak lahir faktor-faktor pemicu bunuh diri. Menjaga keselamatan masyarakat sama dengan menjaga keselamatan individu.

***

*) Oleh: Dimas Wira Adiatama, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES