Kopi TIMES

Praktik Chains of Custody dalam Penanganan Alat Bukti Elektronik

Selasa, 14 Desember 2021 - 15:12 | 134.47k
Sakafa Guraba SH., MH., adalah Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh. 
Sakafa Guraba SH., MH., adalah Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh. 

TIMESINDONESIA, ACEH – Pembuktian merupakan bagian paling penting dalam hukum acara pidana. Secara garis besar pembuktian sering tafsirkan sebagai suatu proses untuk memberikan keyakinan kepada hakim dalam menyatakan kesalahan seseorang hingga dijatuhkan pidana, kemudian proses  pembuktian sering diartikan sebagai bagian dari proses untuk mendapatkan kebenaran materil dari suatu peristiwa ataupun perbuatan pidana. Lebih dari itu, sebuah postulat dalam hukum pidana menyebutkan In Criminalibus, probantiones bedent esse luce clariores (Dalam perkara pidana, bukti-bukti itu harus lebih terang dari cahaya)

Sistem pembuktian di Indonesia menganut Positief wettelijk bewijstheorie dimana hakim terikat oleh hukum tertulis atau undang-undang yang ada saja. Hal ini dapat dilihat dari hukum acara pidana di Indonesia yang mana hakim hanya melihat pembuktian dari pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Pasca terbitnya UU No. 11 Tahun 2008 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), proses pembuktian sedikit banyak telah mengikuti perkembangan zaman. Hal ini ditandai dengan telah diakuinya alat bukti elektronik dalam persidangan sepanjang memenuhi syarat formil dan materiil sebagai diatur dalam UU ITE.

Perdebatan tentang alat bukti elektronik telah dimulai sejak terbitnya UU No. 11 Tahun 2008, dimana banyak kalangan yang mempertanyakan terkait alat bukti elektronik apakah perluasan dari alat bukti sebagaimana dalam pasal 184 KUHAP ataukah sebagai alat bukti baru yang berdiri sendiri. Namun pakar bukti elektronik Komisaris Besar Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar berpendapat bahwa terlapas pada praktiknya ada yang memposisikan bukti elektronik sebagai alat bukti keenam, ada yang menjadikan alat bukti elektronik sebagai perluasan dari alat bukti di Pasal 184 ayat (1) KUHAP, Menurutnya kedua pendapat itu benar, yang terpenting adalah alat bukti itu di dapat secara sah.

Problematika Penanganan Bukti Elektronik

Pada awal berlakunya UU ITE, permasalahan yang sering timbul yakni mengenai keabsahan alat bukti elektronik dalam persidangan. Pada dasarnya alat bukti elektronik yang telah diatur dalam peraturan perundangan-undangan merupakan alat bukti yang sah dan memiliki nilai pembuktian yang sama dengan alat bukti lainnya. Kemudian  permasalahan yang muncul dalam praktik adalah sejauh mana alat bukti elektronik dapat diterima dalam persidangan mengingat sifatnya yang Volatile yakni rapuh, mudah berubah dan mudah rusak, sehingga pokok masalah alat bukti elektronik yang terjadi pada saat ini bukanlah pada validitas (keabsahan) namun lebih kepada Admisibilitas (penerimaan).

Admisibilitas alat bukti elektronik sebenarnya secara umum telah diatur pada Pasal 5 dan 6 UU ITE, secara singkat Pasal 5 UU ITE telah menyebutkan syarat formil alat bukti elektronik yakni sah, otentik, terjaga integritasnya. lalu Pasal 6 UU ITE mengatur syarat materiil alat bukti elektronik yakni relevan atau sesuai dengan tindak pidana. Pengaturan secara umum dan terbatas tersebut sedikitnya juga menimbulkan polemik dalam praktik, hal ini dikarenakan tidak ada peraturan pelaksana yang mengatur terkait syarat formil dan materiil dari alat bukti elektronik tersebut.

Sebagai contoh dalam kasus sidang Jessica Kumala Wongso dalam proses pembuktian di persidangan kondisi alat bukti elektronik berupa video rekaman CCTV  yang dihadirkan tidak utuh dan sudah berubah. Menjadi sebuah pertanyaan kembali bagaimakah prosedur autentifikasi alat bukti elektronik sehingga muncul kesimpulan alat bukti elektronik tidak memenuhi syarat formil dan materiil kemudian tidak dapat diterima dalam persidangan, Mengingat dalam perkara Jessica Kumala Wongso pada saat itu belum diatur mengenai Digital Evidence First Responder (DEFR) yakni individu yang berwenang dan terlatih serta memiliki kemampuan untuk melakukan tindak pertama di lokasi.

Permasalahan cukup serius juga dapat dilihat pada statistik pekara tindak pidana siber yang bertumpu pada bukti elektronik dalam proses pembuktian terus meningkat dari tahun ketahun, setidaknya berdasarkan pengamatan penulis terdapat 2 hambatan praktik bukti elektronik di persidangan, kesatu pada umumnya pemahaman Digital Evidence First Responder (DEFR) hanya dimiliki oleh penyidik yang didukung dengan fasilitias laboratorium digital forensik. Kedua sepengetahuan penulis saat ini baru ada  2 fasilitias laboratorium digital forensik milik negara yakni pada Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Tentu kondisi dua hal diatas belum dapat mengakomodir penanganan tindak pidana siber diseluruh wilayah Indonesia.

Terkait dengan problematika bukti elektronik baik pada sumber daya manusia dan infrastruktur yang belum dapat mengakomodir penanganan tindak pidana siber di seluruh wilayah Indonesia. Kembali pada doktrin hukum acara pidana yang membagi jenis alat bukti menjadi dua yang sering diistilahkan dengan Stille Getuigen (bukti diam) dan Gessprekende Getuigen (bukti yang berbicara). Bukti elektronik sendiri tergolong dalam jenis Stille Getuigen (bukti diam) yang memerlukan keterangan ahli untuk dapat menjelaskan bukti tersebut. kemudian timbul pertanyaan baru mengenai apakah setiap bukti elektronik yang dihadirkan dalam persidangan diperlukan ahli dan hasil laboratorium digital forensik. pada praktiknya selama ini kembali pada konsep dasar dari pembuktian yakni proses memberikan keyakinan kepada hakim, sehingga selama hakim memiliki keyakinan terhadap bukti elektronik yang sudah jelas dan utuh, terhadap alat bukti elektronik tanpa melalui proses autentifikasi telah memiliki nilai pembuktian.

Konsep Chain Of Custody

Istilah rantai barang bukti atau Chains Of Cutody merupakan suatu rangkaian proses dalam rangka menjaga dan memelihara setiap tindakan yang dilakukan terhadap barang bukti elektronik. Setiap tindakan tersebut mulai dari proses pengambilan, pengumpulan hingga proses akhir bertujuan agar informasi digital yang tersimpan  di media penyimpanan tetap ada dan terjaga keutuhannya hingga bisa dibawa ke pengadilan, serta bisa dipertanggungjawabkan asal-usul dan sumbernya khusunya mencegah kemungkinan adanya rekayasa data digital.

Pasal 75 KUHAP menyebutkan berita acara harus dibuat untuk setiap tahapan penanganan tindak pidana, hal yang sama juga untuk penanganan alat bukti elektronik. Pada praktiknya dalam hal perolehan bukti elektronik penyidik membuat berita acara perolehan alat bukti elektronik yang ditanda tangani oleh penyidik dan pihak terkait. 

Hingga saat regulasi yang sedikit menyentuh Konsep Chains Of Cutody hanya ada pada regulasi instansi yang notabane diluar dari instansi penegak hukum, antara lain Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi penyelenggaraan sistem elektronik harus menerapkan standar ISO / IEC 27001. Selain itu pengaturan Chains Of Cutody juga dapat dilihat dalam lampiran “Berita Acara Pemeriksaan Forensik Digital” dan “Berita Acara Pemeriksaan Forensik Komputer” pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Administrasi Penyidikan dan Penindakan Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang menjelaskan informasi yang tercantum dalam Berita Acara tersebut anatra lain seperti Personil yang menangani, spesifikasi bukti elektronik, tindakan yang dilakukan terhadap bukti elektronik, dan berbebagai tindakan serta informasi lainnya.

Konsep Chains Of Cutody merupakan penerapan dari standar ISO / IEC 2703 dalam penanganan bukti elektronik, di Indonesia konsep menjaga dan memelihara keutuhan dari alat bukti elektronik sendiri hingga saat ini belum diatur dalam sebuah regulasi yang mengikat sehingga standar dari penanganan bukti elektronik masih belum memiliki kepastian hukum. hakim pada praktiknya selama ini dalam proses autentifikasi bukti elektronik pada persidangan tidak memiliki rujukan atau pedoman dalam menguji bukti elektronik sehingga terjadi perbedaaan tafsir dari proses autentifikasi tersebut. 

Pengaturan Konsep Chains Of Cutody pada dua regulasi tersebut pada dasarnya sudah cukup mengakomodir dari kebutuhan akan praktik penanganan alat bukti elektronik. namun perlu diperhatikan terkait kedua regulasi diatas hanya mengikat penyidik ppns dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, sehingga melihat dari permasalahan dari penanganan bukti elektronik sangat diperlukan kehadiran regulasi yang mengatur penanganan bukti elektronik yang akan menghadirkan persamaan persepsi dari para penegak hukum terkait admisibilitas bukti elektronik dalam persidangan.

***

*)Oleh: Sakafa Guraba SH., MH., adalah Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Banda Aceh.   

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES