Kopi TIMES

Mengapa Pendidikan Nonformal Dikaitkan dengan Dikotomi Kemampuan Inteligensi Anak?

Senin, 13 Desember 2021 - 16:18 | 57.36k
Esti Nalurani,S.Sos.,M.M.; Pengusaha, Mahasiswa Program Doktor Pengembangan SDM Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Bendahara Umum BPD HIPMI Jawa Timur, Ketua Departemen Pendidikan Kadin Surabaya.
Esti Nalurani,S.Sos.,M.M.; Pengusaha, Mahasiswa Program Doktor Pengembangan SDM Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Bendahara Umum BPD HIPMI Jawa Timur, Ketua Departemen Pendidikan Kadin Surabaya.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Pendidikan adalah pendorong pembangunan yang kuat dan salah satu instrumen terkuat untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesehatan, kesetaraan gender, perdamaian, dan stabilitas. 

Negara-negara berkembang telah membuat kemajuan luar biasa dengan memasukkan anak-anak ke dalam kelas dan mayoritas anak-anak di seluruh dunia sekarang berada di sekolah dasar. Namun demikian, sekitar 260 juta anak masih putus sekolah dasar dan menengah. Seiring berkembangnya jaman dan teknologi, tingkat pendidikan di Indonesia sudah tidak dapat diukur oleh besarnya nilai di Ijazah maupun kemampuan akademis seorang anak. Namun, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa tingkat inteligensi seorang anak dapat dilihat dari perkembangannya di sekolah.

Padahal, sesuai dengan data Dapodik tahun 2018, tercatat sebanyak kurang lebih 928.776 anak yang putus sekolah (Sumber : detiknews), dan memilih melanjutkan pendidikan dengan program kesetaraan atau dikenal dengan istilah program kejar paket”. Meski begitu, ini juga dijadikan permasalahan tersebab banyak masyarakat yang menganggap bahwa kemampuan inteligensi seorang anak lah yang menjadi pokok utama dari permasalahan ini. 

Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwasanya anak-anak yang ikut kejar paket di dalam Lembaga Pendidikan nonformal merupakan anak-anak yang terbelakang di kelasnya tanpa mengetahui adanya banyak faktor yang memengaruhi kejadian tersebut.

Ada satu cerita tentang seorang anak yang putus sekolah karena faktor ekonomi, ada cerita tentang seorang anak yang putus sekolah karena faktor lingkungan sosial, dan lain sebagainya. Walaupun tidak selalu disebutkan dan bahkan tidak dipertanyaan pada lembaga penyedia program kesetaraan, namun hal-hal seperti ini lumrah terjadi pada masyarakat menengah ke bawah.

Bahkan, beberapa masyarakat berasumsi jika anak yang mengikuti program kesetaraan tidak akan bisa “setara” dengan anak-anak yang lulus tepat waktu. Hal seperti ini harus dihilangkan dari pola pikir masyarakat.

Untuk yang belum paham apa saja fasilitas dan manfaat yang ditawarkan dari program Pendidikan nonformal kesetaraan, ada beberapa tingkat dan istilah yang digunakan dalam menggambarkan program ini, yaitu di antaranya ada Paket A (setara dengan Sekolah Dasar), Paket B (setara Sekolah Menengah Pertama), dan ada Paket C (setara Sekolah Menengah Atas).

Dengan mengikuti program kesetaraan ini, para murid dapat mendapatkan pelajaran yang sesuai dengan tingkatannya, dan juga jumlah murid yang lebih sedikit dari pendidikan formal biasa. Yang dapat membantu murid untuk lebih fokus dalam mempelajari berbagai pelajaran yang diberikan. Waktu penyelenggaraannya pun dapat disesuaikan dengan kebutuhan murid. Semisal murid sudah lebih dulu mengambil pekerjaan, maka ia dapat mengikuti program kesetaraan ini pada malam hari, pun sebaliknya jika pada malam hari ia sudah mendapat pekerjaan atau kegiatan lain, program ini dapat dijalankan pada siang hari.

Program Pendidikan nonformal ini termasuk program yang menguntungkan bagi para siswa yang putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan sekolah dengan jadwal yang rutin lagi seperti misalkan anak-anak calon atlit dan atilit profesional, seniman, anak-anak yang konsen pada usahanya atau yang mengikuti orang tuanya dalam berbisnis yang sering berpindah-pindah tempat, bahkan anak-anak para pejabat dan pegawai pemerintah ataupun profesi apapun yang orang tuanya sering dipindah tugaskan. Pasalnya, metode pembelajaran yang diterapkan cukup intensif dan efisiensif, dan dapat ditempuh dalam waktu yang relatif singkat.

Meskipun asumsi masyarakat sejak dahulu sudah tidak bagus mengenai program kesetaraan ini, namun pemerintah tidak ingin menghilangkan program ini. Karena Pendidikan nonformal adalah pilihan dan sekaligus solusi untuk dapat memberikan kesempatan yang sama pada semua anak-anak yang belajar dan sekolah.

Dari semua faktor yang disebutkan di atas, ada banyak alasan yang cukup krusial mengenai mengapa pada akhirnya banyak anak yang “sengaja” berhenti dari sekolah formal dan memilih program pendidikan nonformal.

Salah satu hal itu adalah, bahwa terkadang pendidikan formal terkesan hanya lebih mementingkan pengembangan kurikulum dan akademis dibandingkan dengan melihat dari sisi minat dan bakat yang dimiliki. Sangat disayangkan karena banyak anak yang terlahir lebih potensial ke arah minat dan bakat daripada bidang akademis. Jika memang begitu permasalahannya, salah satu solusinya adalah dengan mengadakan ekstrakurikuler atau program di luar bidang keakademikan sekolah yang dapat berpotensi mengembangkan minat dan bakat siswa sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Pada jaman yang sudah dipenuhi oleh teknologi canggih seperti sekarang ini, tidak dapat dibilang penting lagi jika hanya mengandalkan sistem akademis untuk mengembangkan para siswa menghadapi jaman yang semakin berubah. Perlu diadakan perubahan sistem kurikulum maupun akademis yang mengizinkan siswa untuk berkreasi dan mengasah sisi kreatif pada otak, namun tidak melupakan konsep logis dan sistematis agar kemudian dapat berkembang dengan sukses di kemudian hari.

Minat adalah proses motivasi yang kuat yang memberi energi pada pembelajaran, memandu lintasan akademik dan karir, dan sangat penting untuk kesuksesan akademik. Minat adalah keadaan psikologis perhatian dan pengaruh terhadap objek atau topik tertentu, dan kecenderungan yang bertahan lama untuk terlibat kembali dari waktu ke waktu.

Oleh karena itu, perpaduan antara minat dan bidang akademis sangat berpengaruh besar pada perkembangan psikologis seorang anak. Mengembangkan minat dapat berkontribusi pada pengalaman belajar yang lebih terlibat dan termotivasi bagi para siswa. Definisi minat dapat terbagi menjadi dua, yaitu ; pengalaman sementara dari sebuah objek dan juga perasaan yang nyaman terhadap satu objek yang menjadikannya sebagai sesuatu yang bisa dieksplor lebih jauh.

Banyak sekolah umum yang tidak menawarkan banyak otonomi atau mengizinkan siswa untuk belajar sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. Para petinggi sering meremehkan kecenderungan siswa untuk mengejar topik yang menarik minat mereka. Sistem penilaian yang digunakan di sebagian besar sekolah semakin membuat mereka enggan belajar mandiri dan seringkali tidak menikmati proses pembelajaran yang sudah diterapkan di sekolah, dan cenderung bermalas-malasan.

Masyarakat terdoktrin memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa semua anak menerima pendidikan yang memadai yang memberi mereka keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi orang dewasa yang berkontribusi dalam masyarakat. Namun, masyarakat cenderung lupa dan lebih sering “mengucilkan” anak-anak yang jarang memiliki ketertarikan pada bidang akademis. Akibatnya, banyak anak yang berbalik meremehkan keberadaan sekolah dan pendidikan hanya untuk memuaskan hatinya yang tidak cocok dengan bidang akademis.

Sebagian besar sekolah masih menggunakan praktik usang seperti skorsing di luar sekolah, pengeluaran siswa dari sekolah, dan kebijakan nol toleransi untuk satu masalah yang bahkan belum ditemui titiknya, dan menolak untuk beradaptasi dengan keadaan setiap anak dan kebutuhan mereka.

Faktor utama mengapa banyak siswa yang memilih berhenti dari sekolah formal walaupun tidak didorong oleh faktor ekonomi adalah, bahwasanya pendidikan formal dan asumsi masyarakat Indonesia mengenai julukan anak “pintar” masih didefiniskan seperti orang jaman dahulu, yang dinilai sangat merugikan bagi perkembangan kemampuan anak-anak Indonesia jaman sekarang.

Masyarakat dan para petinggi sekolah melupakan hal yang sama, yaitu ketika jaman nenek moyang kita bahkan untuk membaca satu buku saja harus meminjam, dan saat ini untuk membaca buku sudah bisa hanya melalui satu genggaman tangan. 

***

*) Oleh: Esti Nalurani,S.Sos.,M.M.; Pengusaha, Mahasiswa Program Doktor Pengembangan SDM Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Bendahara Umum BPD HIPMI Jawa Timur, Ketua Departemen Pendidikan Kadin Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES