Kopi TIMES

Jangankan Laki-Laki, Kucing Pun Bisa Khilaf Ketika Perempuan Keliru Sikap

Senin, 13 Desember 2021 - 14:31 | 57.52k
Fata Pujangga: Founder Gen Demokrasi Digital Indonesia.
Fata Pujangga: Founder Gen Demokrasi Digital Indonesia.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Siang sebelum saya mengawali tulisan ini, sedikit terjadi perdebatan antara saya dan teman saya di grup WhastApps. Kami memperdebatkan tentang pemerkosaan, yang belakangan santer diberitakan. Di tengah-tengah perdebatan, teman saya bilang bahwa, perempuan mudah dirayu. 

“Laki-lakinya juga banyak yang bejat!” kata teman saya, ia memberikan pembelaan terhadap perempuan di grup itu.

Lantas saya bertanya demikian, “Kenapa kebejatan itu tetap berjalan atau tetap terjadi? Jangan-jangan memang perempuannya yang lemah mental, menikmati saja apa yang menimpanya, low intellectuality, not speack up, baru kalau sudah terkhianati mau bicara.”

“Mereka yang menyadari wanita itu lemah harusnya menjaganya bukan malah mempermainkannya,” temen saya menanggapi dengan kalimat pembelaan lagi, keren sih.

 Saya pikir ini bukan lemah dan tidaknya perempuan, tapi bagaimana perempuan yang bersangkutan menyikapi itu—pelecehan seksual, kekerasan dan semacamnya. Kalau kita dizalimi oleh orang lain, tentu tidak lepas dari sikap kita sendiri, tidak sepenuhnya gara-gara orang lain.

Berkaitan dengan itu, sedikit saya mengutip quote Kartini, dia bilang begini, “Banyak hal yang bisa menjatuhkan kamu, tapi hal yang benar-benar menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri”.  

Misalkan dalam satu kelompok ada seorang perempuan diantara lima laki-laki. Dari lima laki-laki tadi bisa saja menindas atau melecehkan seorang perempuan itu. Tapi karena perempuan itu paham lingkungan yang ia hadapi, ia juga tahu bagaimana menyikapi para laki-laki tersebut. Kalau perempuan itu menyikapinya keliru, misalkan sedikit genit atau genit banget, tentu dari antara kelima laki-laki tadi, ada salah satu bahkan semuanya cenderung menzalimi perempuan itu. 

Pertanyaannya, kenapa perempuan menjadi ‘objek’ kezaliman yang dilakukan laki-laki?

Saya menganalogikan kepada teman saya seperti ini, “kalau kita punya ikan, terus dimakan kucing yang patut disalahkan siapa: kucingnya, ikannya, atau yang punya ikan dan kucing?”

“Yang punya ikan dan kucing,” kata teman saya. 

“Berarti dalam hal ini laki-lakinya tak punya akal, karena menyerupai kucing. Yang membedakan manusia dengan kucing adalah akal. Ketika laki-laki lebih mendahulukan nafsunya saat melihat wanita yang dianalogikan sebagai ikan, artinya akalnya sudah diletakkan, karena kalah dengan nafsunya. Mirip dengan kucing yang asal makan aja liat ikan.” Kata teman saya menjelaskan. Padahal saya belum selesai menjelaskan analogi saya tadi. 

Untuk menjawab analogi tadi, yang patut disalahkan, ya benar kata teman saya, pemilik ikan dan kucing. Harusnya dia tidak asal meletakkan ikan pada sembarangan tempat. Sedangkan pemilik kucing, tidak membiarkan kucingnya nakal, harusnya ia tahu bagaimana memelihara kucing agar tidak nakal. 

Kemudia kucing itu punya kekuatan, ada cakar, ada taring, penciuman yang tajam, untuk membedakan ikan asli atau bukan, otot, dan kecepatan. Ketika ia merasa memiliki kekuatan, dia akan cenderung berkuasa atau menindas terhadap yang dianggapnya lemah. 

Saya pikir bukan karena tidak punya akal, lantas kucing asal makan ikan. Dia bisa membedakan mana ikan, mana daging yang bisa dimakan atau tidak. Sapi juga punya daging, tapi tidak ada sapi yang dimakan kucing hidup-hidup. Iya kan. Karena kucing tahu diri bahwa, kekuatannya lebih besar sapi. 

Bukan soal tidak punya akal atau bodoh sehingga laki-laki melakukan pemerkosaan, pelecehan atau kejahatan seksual. Dia punya akal tapi tidak berpikir. Bodoh, tidak punya akal berbeda dengan tidak berpikir. Banyak orang cerdas, katakanlah dosen - seperti kasus yang ramai hari ini, tapi karena ia tidak berpikir, sehingga ia melecehkan mahasiswinya atau ada juga yang memerkosa mahasiswinya. 

Saya jadi teringat apa yang dikatakan Hanna Arendt -- seorang filsuf perempuan asal Jerman, dia mengatakan demikian “The sad truth is that most evil is done by people who never make up their minds to be good or evil”. (Kebenaran yang paling menyedihkan adalah sebagian besar kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah bepikir atau tidak pernah memutuskan untuk menjadi baik atau jahat). 

Jadi sebelum laki-laki melakukan pemerkosaan atau pelecehan seksual, ia tidak pernah berpikir dulu, baik dan buruknya. Dalam pikirannya yang ada enak dan tidak enak. Ujung-ujungnya khilaf. “Okelah kalau alasannya khilaf, mending gak ada perempuan. Biar khilafnya sama binatang. Hahaha…”

Selain itu, yang mempertahankan kekerasan, pemerkosaan atau pelecehan seksual, karena didasari adanya kekuatan dan kekuasaan yang disalahgunakan oleh laki-laki. Misal seorang perempuan diperkosa lima laki-laki, di sana jelas adanya kekuatan satu banding lima. Ada juga satu perempuan diperkosa seorang laki-laki, dasarnya pasti karena dia merasa lebih kuat dari perempuannya. Kalau ada laki-laki tanpa bersenjata, yang nafsunya sudah memuncak, melihat lima atau lima belas perempuan seksi, dia tidak akan berani melakukan pelecehan atau pemerkosaan. Karena dia merasa sekelompok perempuan tadi memiliki kekuatan yang lebih besar dari dirinya. 

Seorang kiai melecehkan belasan santrinya, atau dosen melecehkan mahasiswanya atau polisi memperkosa pacarnya, semua itu karena dia merasa punya kekuatan dan kekuasaan. Dengan kekuasan yang dimiliki, mereka bisa melakukan ancaman dan pemaksaan. 

Jadi, solusinya para perempuan harus terus berani speack up, kecuali menikmatinya. Negarapun wajib melindungi perempuan, perempuan-perempuan lagi merasa tidak aman ini, loh! Segera bergegas, donk! Untuk perempuan, nih. Kalau ditindas, dijatuhkan, ya segera berdiri sendiri. Jangan terlalu banyak berharap sama negara. Upss! Maksudnya, sama orang lain. Maaf khilaf!

***

*) Oleh: Fata Pujangga: Founder Gen Demokrasi Digital Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES