Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Solusi Krisis Negarawan

Senin, 13 Desember 2021 - 10:46 | 46.10k
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Pepatah klasik mengingatkan “evil causis evil vallacy” atau sesuatu yang buruk terjadi itu disebabkan oleh hal-hal buruk pula. Tidak ada hal buruk menimpa manusia jika tidak diakibatkan oleh kondisi atau kejadian buruk yang mempengaruhinya. Ada tarik menarik atau saling mempengaruhi antara apa yang terjadi dengan faktor pembentuknya. Jika yang terjadi adalah realitas buruk dalam kehidupan manusia atau bangsa dan negara, maka ini artinya ada banyak factor buruk yang cukup kuat menentukannya.

Ketika suatu bangsa dihadapkan dengan krisis yang serius, khususnya di sector sumberdaya manusia (human resources), maka bangsa ini sulit mengelakkan dirinya dari akumulasi penderitaan. Sebut misalnya, saat bangsa ini sedang mengidap krisis manusia-manusia berjiwa negarawan, maka bangsa ini terlihat kesulitan keluar dari krisis multidimensinya.

Sebagai bahan analisis adalah Hadis berikut: Ada suatu dialog menarik antara Umul Mu’minin Zainab RA dengan Nabi Muhammad SAW. Zainab bertanya kepada Nabi, “apakah kita akan binasa di tengah-tengah orang-orang jahat atau mun­culnya Ya’juj Ma’juj, sedangkan diantara kita masih ada orang-orang saleh”? “Ya”, jawab Nabi, bilamana terdapat banyak kejahatan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dialog Nabi dengan isterinya itu mengajarkan mengenai hubungan signifikan antara kebinasaan dan kehancuran yang menimpa umat dan bangsa dengan perilaku kriminal (disnormati­fitas) berjuluk Ya’juj Ma’juj yang membingkainya.

Maraknya kejahatan di sebuah negeri membuat Allah SWT mengirimkan hukuman yang setimpal. Allah tak akan begitu keji dan menjatuhkan azab di luar batas kemampuan dan keberdayaan manusia, manakala perilaku manusia tak demikian dehumanistik dan mendistorsikan nilai-nilai religiusitasNya.

“Dimanapun manusia berada, azab (siksa atau hukuman) akan selalu mengikutinya ketika manusia telah memutuskan hubungan dengan Allah (hablum­minallah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablum­minannas)”, demikian peringatan Allah kepada manusia.

Hilangnya kemesraan hubungan dengan Allah membuat hidup manusia kehilangan makna (meaningless). Dengan sirnanya makna ini, manusia menjadi jauh dan termarginalisasi dari berkah, rahmat dan hidayah yang mencerahkan dan membahagiakannya.

Sebaliknya, kehidupan manusia itu lekat dan diakrabkan oleh Allah SWT dengan ragam dan “persalinan” azab, supaya manusia mau menyadari dan mengoreksi perilakunya dan menem­patkan sunnatullah sebagai “panglima” dan generator moral aktifitas sehari-harinya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sunnatullah yang diabaikan, tak diberdayakan dan budaya­kan mengakibatkan terjadinya dishamonisasi hubungan vertikal maupun horizontal. Masing-masing individu akhirnya lebih konsentrasi pada target individualistik, hedonistik dan kon­glomerasinya, dan membiarkan nurani dan kepekaan transendensi­nya tumpul.

Sosok pengabai dan pembangkang  sunnatullah itulah yang memekarkan dan memarakkan beragam potensi kesejarahan kesemes­taaan azab, yang seharusnya tidak bergulir dahsyat jika saja manusia itu tidak mengekspresikan menyuburkan dan rajin menggerakkan obsesi-obsesi dan aksi-aksi jahatnya. Kejahatan yang dipuja-puja dan terus menerus dijadikan sebagai jalan memenuhi kebutuhan merupakan bentuk nyata dari pengingkaran kebenaran. Sementara bentuk pengingkaran kronis ini potensial menyulut kemarahan Tuhan untuk mengazabnya.

Dengan tegas firman Allah memperingatkan, “Dan bilamana kami ingin menghancurkan sebuah negeri, Kami suruh kelompok matraf-nya (membaca peringatan Kami), tapi malah mereka menja­di fasik (melewati batas dan berfoya-foya). Oleh sebab itu pantaslah mereka diberi azab, lalu Kami hancurkanlah (negeri)  sehancur-hancurnya” (QS, 17: 16).

Istilah matraf itu bermakna hidup dalam kemewahan dan berfoya-foya, yang terkait dengan kelompok elit penguasa dan golongan kaya yang tidak punya prinsip kokoh kecuali prinsip hedonisme kelompok. Mereka adalah orang-orang  yang mabuk dalam kemewahan dan kekuasaan. Golongan mutrafun adalah orang-orang yang menentang kebenaran yang dibawa para rasul. Mereka sangat pongah dengan kekuasaan dan kekayaan (Ma’arif, 1996).

Kata “mutrafun” merupakan deskripsi dari sosok manusia dan komunitasnya yang  menempatkan tujuan-tujuan keduniaan, kalkulasi kebendaan dan pesona kesenangan sebagai kultur dan “kultus”, yang tidak mengenal henti, tidak merasa puas dan mengekspresikan (mengumbar) keserakahan untuk memburu dan menguasainya. Mereka hidup bukan untuk memburu ketenangan, melainkan mengabdi pada kesenangan.

Mereka yang sedang jadi “mutrafun” itu berarti sedang dikuasai dan dijajah oleh nafsu untuk menimbun harta, mengeksploitasi kekayaan alam dan sumberdaya manusia (pekerja) tanpa panduan moral humanistik dan keberimanan. Di matanya, kekayaan alam dan sesama manusia hanyalah “proyek” yang dikal­kulasi dapat mendatangkan keuntungan materialistik berlimpah.

Begitupun elit kekuasaan yang “tergoda” oleh tuntutan kekayaan dan kemapanan kepejabatannya, yang mengakibatkan etik profesinya luntur dan tergusur, kepekaan dan komitmen kemanu­siaannya tereduksi dan terdistorsi, maka mereka ini patut digolongkan sebagai mutrafun.

Diazabnya mutrafun oleh Allah dinilai cukup pantas, mengingat mereka itulah yang mengemas dan  mengaksikan perila­kunya dengan modus “kefasikan”. Allah menjatuhkan azab kepada manusia ini karena tuntutan kesejarahan manusia itu sendiri yang merindukan tegaknya kebenaran dan keadilan, dan hancurnya kebatilan (kejahatan).

Allah tak mendiamkan kebenaran teramputasi, keadilan terkebiri, kejujuran dan hak-hak asasi manusia terbelenggu oleh bias-bias materialistik-oportunistik. Allah menunjukkan  keotoritasanNya dengan “menghakimi” kefasikan yang menghimpit manusia dengan aksi represipnya berupa azab yang mustahil dicegah.

Allah sudah menggariskan sebagai sunnatullah, bahwa kebenaran dan kebajikan harus menang dan bersinar, meskipun harus dengan jalan “meng-azab”, mendekonstruksi kemapanan dan kejayaan kefasikan. Hal ini dimenangkan tatkala kejahatan makin diupayakan tampil sebagai panglima yang superior di pentas kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Praksis dehumanistik, amoralistik dan “paganistik” (menyandingkan dan menkultuskan kepercayaan atau hal-hal lain melebihi Kemahakuasaan Allah) merupakan corak perilaku yang menyebarkan kedaliman, kenistaan dan penisbian harkat kemanu­siaan (human dighnity) dan kebertuhanan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pada saat lingkungan fisik alam sudah terpolusi dan komunitas sosial kita sedang rentan oleh perilaku yang gemar “membangkang” sunnatullah, lantas apalagi yang masih membe­kas dalam diri kita? Alekander Solzhenitsyn akan menjawab, “tidak ada lagi, kecuali kenyataan bahwa status kita telah turun, lebih rendah daripada status binatang”.

Ketika status kemanusiaan kita telah tercemar, terpenetra­si dan terhegemoni oleh status kenaifan dan kebinatangan (al-bahamiyah) itu, Maurice Clavel, Filosof aasal Perancis cukup menyindir bahwa “gagasan besar yang tertindas dalam kultur modern adalah Tuhan”.

Sebagai komparasi kesejarahan. kehancuran negeri dan peradaban umat-umat di masa lalu selalu tak lepas dari ragam dan komplikasi perilakunya yang lebih memenangkan, mengunggul­kan dan menkulturkan disnormatifitas, enggan bercerai dengan akumulasi “kefasikan” atau menolak mencerabut akar-akar keja­hatan dan sifat-sifat kebinatangan atau homo-animalistiknya.

Sebut saja umat Nabi Luth dan Nabi Nuh yang lekat dengan budaya mesum, menanggalkan kaedah moral, gemar merusak sumber­daya alam dan mengejek dakwah sunnah kenabian, akhirnya harus dihancurkan oleh Allah “sehancur-hancurnya”. Firman Allah SWT mempertegas, “mereka yang mendustakan (mematikan) ayat-ayatNya akan ditarik secara berangsur-angsur ke arah kebinasaan dengan cara yang mereka tidak ketahui (QS, Al-A’raf: 82).

Keberadaan orang-orang saleh (al-muslihun) tak bisa menghalangi dan menafikan azab (bencana) yang akan dijatuhkan oleh Allah tatkala kejahatan menkultur dan mensistemik di tangan kaum cendekiawan dan politisi. Allah tak menginginkan orang-orang saleh sebatas diposisikan dan diperankan sebagai pelindung untuk menyelamatkan akumulasi kejahatan yang menyebar dan tumbuh subur di sebuah negeri.

Beragam cobaan sudah yang silih berganti mengingatkan pola kehid­upan kita merupakan suatu tamsil atas  berfungsinya “ayat-ayat” Allah dalam menggugat realitas konkrit pola hidup manu­sia modern yang sedang terbius oleh nafsu menyuburkan kejahatan yang dikemas dengan dalil-dalil politik, kepentingan umum, pembangunan, reformasi dan atas nama rakyat.

Ragam prahara nasional di republik ini yang antara lain mengorbankan  (menumbalkan) orang-orang tak berdosa tak cukup ditangkal dengan mengandalkan dan meminta do’a orang-orang saleh, melainkan menuntut praksis sejati “kesalehan nasional”, ketakwaan publik atau kesadaran komulatif dan sistemik, khu­susnya elit politik yang telah didaulat sebagai pemimpin bangsa untuk memberdayakan sunnatullah dalam setiap dinamika perilaku individu, kelompok, etnis dan organisasinya. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Oleh: Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES