Kopi TIMES

Demi Keadilan, Jaksa Mengubah Tuntutan Pidana

Sabtu, 11 Desember 2021 - 15:21 | 268.62k
Rudi Pradisetia Sudirdja S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia & Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia).
Rudi Pradisetia Sudirdja S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia & Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia).

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kasus istri mengomeli suami karena mabuk yang terjadi di Karawang, Jawa Barat telah membuat heboh jagat maya.

Bagaimana tidak, perbuatan itu telah membawa Ibu Valencya dihadapkan ke meja hijau. Ia dituntut pidana 1 tahun penjara oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Karawang karena dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kekerasan psikis terhadap suaminya melanggar  Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 5 huruf b UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 

Kasus tersebut menarik perhatian pimpinan Kejaksaan Agung. Pada 15 November 2021, Jaksa Agung memerintahkan eksaminasi khusus terhadap penanganan perkara tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa pihak-pihak yang menangani perkara itu dianggap tidak memiliki sense of crisis, dan tidak mengindahkan kebijakan pimpinan tentang pengedepanan hati nurani dalam penanganan perkara. Jaksa Agung pun memerintahkan agar kasus tersebut diambil alih dan dikendalikan langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum.

Pada 24 November 2021, Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung menarik tuntutan yang telah dibacakan sebelumnya oleh Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Karawang. Kejaksaan Agung berpendapat bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan. Oleh karenanya, Penuntut Umum mengubah “Tuntutan Pidana 1 Tahun Penjara” dengan “Tuntutan Bebas”.

Kasus tersebut menarik untuk dikaji. Bagaimana hukum acara pidana mengatur hal itu? Dalam hal apa Jaksa/Penuntut Umum diperkenankan mengajukan tuntutan bebas. Apakah Jaksa/Penuntut Umum diperkenankan mengubah tuntutan pidana dalam Replik-nya?

Konsep Penuntutan

Penuntutan adalah tindakan Jaksa/Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Pelimpahan perkara ini merupakan kewenangan monopoli Jaksa selaku pemegang asas dominus litis. Artinya, hanya Jaksa yang dapat membawa suatu kasus ke pengadilan. 

Dalam melakukan penuntutan, Jaksa harus Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum. Hal ini merupakan amanat asas legalitas dalam Pasal 3 KUHAP: “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Penuntutan hanya dilakukan apabila Jaksa yakin berdasarkan alat bukti yang sah dan cukup menurut udang-undang bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. 

Selain itu, ada aspek-aspek lain yang harus dipertimbangkan Jaksa dalam melakukan penuntutan. Pasal 8 ayat (4) UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menyatakan bahwa dalam melakukan penuntutan Jaksa harus mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.

Kebijakan Jaksa Agung 

Jaksa Agung adalah pemimpin dan penanggung jawab tertinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan kewenangan Kejaksaan dan juga pimpinan tertinggi dalam bidang penuntutan. Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi Negara berwenang sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan perkara pidana di Indonesia.

Jaksa Agung Burhanuddin telah menetapkan kebijakan bahwa setiap tindakan penuntutan harus senantiasa didasarkan pada hukum dan hati nurani. Menurutnya, hati nurani diperlukan dalam rangka mewujudkan hukum yang hakiki dan untuk lebih memanusiakan manusia. Hati nurani hadir untuk melahirkan keadilan hukum yang membawa manfaat untuk semua pihak.

Dalam penanganan perkara tindak pidana umum, kebijakan Jaksa Agung tentang hati nurani tersebut tercermin Pedoman Kejaksaan Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum. Pedoman itu disusun dalam rangka memberikan mekanisme lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaan penuntutan pidana dengan memperhatikan kemandirian dan kebebasan Penuntut Umum namun tanpa mengurangi unsur pengendalian dan pengawasan dari pimpinan. 

Tuntutan Bebas atau Lepas

Pedoman penuntutan di atas memperkenankan Penuntut Umum untuk mengajukan Tuntutan Bebas (vrijspraak) atau Tuntutan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (ontslag van rechtsvervolging). Jaksa Agung selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan memimpin dan mengendalikan langsung pelaksanaan kedua jenis tuntutan tersebut. 

Penuntut Umum dapat mengajukan tuntutan bebas dalam hal. Pertama, kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kedua, tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terpenuhinya unsur tindak pidana. Ketiga, tidak terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang sah karena alat bukti yang diajukan di depan persidangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian atau diperoleh secara tidak sah (unlawful legal evidence).

Sementara itu, Jaksa dapat mengajukan tuntutan lepas demi hukum dalam hal  berdasarkan fakta hukum di persidangan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Dalam hal  Jaksa mengajukan tuntutan lepas dari segala tuntutan hukum, Jaksa tetap wajib membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan menguraikan alasan mengapa perbuatan itu meskipun terbukti tetapi tidak merupakan suatu tindak pidana.

Adapun beberapa alasan yang dijadikan dasar tuntutan lepas. Pertama, adanya alasan pembenar yang menghapus sifat melawan hukumnya atau adanya alasan pemaaf yang menghapuskan kesalahan sehingga perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak merupakan tindak pidana. Kedua, perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak termasuk dalam ranah hukum pidana. Ketiga, terdapat perubahan peraturan perundang-undangan yang mendekriminalisasi atau menghilangkan sifat melawan hukum perbuatan yang didakwakan

Mengubah Tuntutan Pidana

KUHAP tidak mengatur secara eksplisit bahwa Jaksa/Penuntut Umum dapat mengubah  Tuntutan Pidana. Hal ini berbeda dengan perubahan Surat Dakwaan yang telah secara tegas diatur dalam Pasal 144 KUHAP: “Penuntut Umum diberikan hak untuk mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya”. 

Hal ini dapat dipahami sebab KUHAP pun tidak mengatur muatan apa saja yang  harus terdapat dalam Tuntutan Pidana. Hal ini berbeda dengan Surat Dakwaan (Pasal 142 KUHAP)  dan Putusan Hakim (Pasal 197 KUHAP) yang muatannya diatur secara limitatif. Adapun pedoman penyusunan Surat Tuntutan diatur dalam Peraturan Internal Kejaksaan. 

Dalam menyikapi perubahan Tuntutan dalam kasus Ibu Valencya, aturan formal yang dapat dijadikan dasar adalah Pasal 182 ayat (1) KUHAP. Pasal tersebut menyatakan bahwa setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana, dan selanjutnya terdakwa dan atau Penasihat Hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh Penuntut Umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau Penasihat Hukum selalu mendapat giliran terakhir. 

Pasal tersebut memberikan dua hak kepada Penuntut Umum, yakni mengajukan Tuntutan Pidana dan Jawaban atas Pembelaan Penasihat Hukum. Dalam literatur, Jawaban Penuntut Umum atas Pembelaan Penasihat Hukum biasa disebut Replik (counterplea), sedangkan Jawaban Penasihat Hukum atas Replik Penuntut Umum biasa disebut Duplik (rejoinder). Istilah itu diambil dari pemeriksaan perkara perdata. 

Dalam perkara perdata, Replik dapat diartikan sebagai respons penggugat atas jawaban yang diajukan oleh tergugat. Oleh karenanya, isi Replik biasanya disesuaikan dengan isi jawaban dari tergugat. Lazimnya, Replik berisikan bantahan-bantahan penggugat terhadap jawaban dari tergugat. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan dan membuka peluang dalam Replik penggugat menambah keterangan dengan tujuan untuk memperjelas dalil yang diajukan penggugat dalam gugatan nya. 

Begitu juga dalam praktik peradilan pidana, Replik biasanya berisikan tanggapan-tanggapan Penuntut Umum terhadap pembelaan yang disampaikan oleh Penasihat Hukum. Lazimnya tanggapan tersebut memuat bantahan Penuntut Umum terhadap pendapat Penasihat Hukum baik tentang fakta persidangan, analisis fakta, fakta hukum, analisis yuridis, pemenuhan unsur delik, pertanggungjawaban pidana, termasuk hal yang meringankan atau memberatkan. Dalam kesimpulan, biasanya dimuat klausa bahwa “Penuntut Umum Tetap pada Surat Tuntutannya”.  

Replik biasanya hanya menjadi prosedur formalitas hukum acara semata. Namun dalam kasus Valencya, Penuntut Umum mengambil terobosan hukum dengan mengubah Sikap/Pendapat terhadap perkara tersebut dalam Replik-nya. Perubahan sikap itu sangat mungkin terjadi dan bukanlah hal yang terlarang. Sebab, hakikat dari hukum acara pidana adalah mencari kebenaran materil. 

Sebagai contoh, apabila ternyata ditemukan fakta atau bukti yang baru diketahui setelah Penuntut Umum membacakan Surat Tuntutan. Lebih lagi, apabila bukti tersebut memiliki nilai signifikansi yang tinggi sehingga dapat mengubah pandangan/keyakinan Penuntut Umum terhadap perkara itu . Apakah Penuntut Umum harus tetap memaksakan tuntutan yang telah dibacakan sebelumnya? 

Undang-Undang memberikan kesempatan kepada para pihak untuk dapat saling bantah-membantah dan jawab-menjawab dalam rangka mencari kebenaran yang hakiki. Menurut Narendra Jatna, persidangan merupakan proses yang dialektis, yang diawali dengan thesis (dakwaan/tuntutan/replik), antithesis (eksepsi/pembelaan/duplik),  dan synthesis (putusan). Namun demikian, posisi yang berhadapan antara Penuntut Umum dan Penasihat Hukum bukan berarti pihak yang satu tidak boleh mengamini argumentasi logis dan rasional (dengan dukungan bukti kuat) yang disampaikan oleh pihak lawan. Sebab, kebenaran tidak mungkin untuk ditolak. Bukankah ada pepatah bijak yang mengatakan: “terimalah kebenaran dari mana pun datangnya”. 

Mencermati uraian di atas, pada hakikatnya Tuntutan dan Replik bukanlah dua hal yang terpisah melainkan satu kesatuan sebagai “hak yang diberikan undang-undang kepada Penuntut Umum” untuk menyatakan Pendapat terhadap kasus yang ditangani nya. Replik adalah kesempatan terakhir yang diberikan undang-undang kepada Penuntut Umum untuk menyampaikan Pendapatnya. Penuntut Umum memiliki kebebasan apakah akan mengubah Pendapatnya dalam Replik atau tetap terhadap Pendapatnya dalam Surat Tuntutan.

Dalam kasus Ibu Valencya, Jaksa/Penuntut Umum telah memilih menggunakan haknya untuk mengubah Pendapat terhadap kasus tersebut dalam Replik-nya. Jaksa/Penuntut Umum memilih mengedepankan nilai keadilan di atas formalisme aturan. Jaksa  Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi Negara telah membuktikan konsistensi penerapan Pasal 8 ayat 3 UU Kejaksaan: “Jaksa dalam melakukan penuntutan harus berdasarkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan YME”.

***

*)Oleh: Rudi Pradisetia Sudirdja S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia & Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES