Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Koruptor “Membunuh” Tuhan

Jumat, 10 Desember 2021 - 12:17 | 47.24k
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – 9 Desember adalah tanggal peringatan Hari Anti Korupsi Dunia. Saya teringat ungkapan dari Klittgard yang menyatakan bahwa korupsi timbul karena adanya monopoli kekuasaan ditambah diskresi (discretion) yang, tidak diimbangi dengan pertanggungjawaban (accountability). Discretion (otoritas) merupakan kewenangan yang melekat pada setiap orang atau elite untuk mengambil pilihan dari beberapa alternatif, yang dilakukan  tanpa ada kendali akuntabilitas, sehingga  menjadi sumber korupsi.

Pemikiran Klittgard itu sejalan dengan pernyataan paling populer dari Lord Acton yang menyebut power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely atau kekuasaan itu cenderung melakukan korupsi dan semakin absolut kekuasaan, maka korupsi juga semakin absolut. Akibat absolutnya korupsi di negeri ini, kerugian besar dan berlapis  juga mengabsolut.

Para koruptor itu terus menggiring Indonesia berstigma sebagai negara yang bersifat “sekedar”-nya  dalam berlandaskan hukum. Mereka tidak henti menunjukkan dari sisi senyatanya (das sein), bahwa dirinya telah memberikan potret paradoksal mengenai korupsi yang bisa ditemukan di seluruh sector kehidupan bermasyarakat, khususnya di lini pemerintahan.

Dalam ranah para koruptor itu, agama secara nyata masih ditempatkannya sebagai label atau “baju”, dan bukan sebagai pedoman utama dalam kehidupan komunitas muslim. Mereka memang bisa saja rajin ibadah seperti salat, puasa, haju, atau umroh, tetapi mereka juga “rajin” memproduksi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dimana-mana.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Ayat-ayat suci yang seharusnya ditempatkan sebagai pengawal sikap dan perilakunya telah dilindas oleh “ayat-ayat” hukum positif yang diotak-atik sesuai dengan selera liberalnya.

Koruptor telah melintasi demarkasi norma agama dan hukum. Mereka menjalankan aksinya dengan tidak lagi takut akan terjerat oleh norma yuridis yang bisa memenjarakannya bertahun-tahun,  atau tidak gentar dengan kemungkinan terkena “azab” akibat  melawan atau melecehkan atau “membunuh” daulat  Tuhan.

Barangkali dalam ranah pikiran para koruptor itu, dengan meminjam pernyataan Frederick Nietzhe “tuhan telah mati” (the God is death), atau tuhan itu dirinya sendiri yang sedang berkuasa, sehingga senyampang berkuasa, segaja jenis “penjarahan” kekayaan rakyat berhak dilakukan dimanapun, kapanpun, dan dengan cara apapun.

Benarkah Tuhan memang telah mati dalam diri koruptor? atau benarkah yang hidup dalam diri koruptor bukanlah Allah, melainkan kepentingan berburu dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta benda? Ataukah memang jabatan atau kekuasaan yang diduduki oleh koruptor sudah ditempatkannya sebagai “illah” itu sendiri?

Barangkali memang tidak ada yang berani menyebut kalau tuhan telah mati atau “tertidur” dalam dirinya, akan tetapi indikasi  dapat terbaca, bahwa mereka sedang mendisain dan mendaulatkan dirinya sebagai “illah” dalam ranah keabsolutannya.

Mereka itu wujud kumpulan manusia yang telah sukses merealisasikan pikiran-pikiranya seperti dalam adagium avarus animus nullo satiatur lucro  atau pikiran rakus tidak puas dengan keuntungan berapa pun. Berapapun pendapatan yang diterima dari negara, dinilainya selalu kurang.

Mereka itu mati empati atau tidak punya sensifitas kalau berjuta-juta orang di negeri ini secara ekonomi menjalani kehidupan dalam kondisi serba kekurangan, hidup dalam kemiskinan, atau masih terperangkap kompilasi ketidakberdayaan (empowerless).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sengkarutnya kehidupan rakyat itu mengindikasikan kalau pelaku korupsi telah memperlakukan bangsa ini sekedat obyek jarahan, dan bukan negara bermartabat dan religiusitas. Kekayaan yang seharusnya jadi hak rakyat bukan dijadikan modal menyejahterakannya, melainkan sekedar menyejahterakan diri, keluarga, dan kroni. Bahkan mereka terus berusaha jadikan kekuasaan di lini apapun diintervensi dan dihegemoni supaya kehilangan otoritas dan integritas moral, kecerdasan intelektualitas, dan komitmen religiusitasnya

Mereka juga lihai dalam menjalankan aksinya. Lembaga-lembaga penegakan hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan, kehakiman tampaknya akan  terus dibuat sibuk berperang menghadapinya. Enerji lembaga-lembaga ini bahkan akan terus dikurasnya supaya mengalami reduksi independensi, militansi atau integritasnya.

Koruptor itu mesti tidak akan membiarkan aparat penegak hukum bisa menjalankan perannya dengan konsisten, berintegritas, dan independen. Mereka ingin ingin elemen lembaga-lembaga penegakan hukum tetap bermental serakah, culas, dan demagogistk. Artinya mereka mesti selalu menginginkan elemen-elemen fundamental ini terperangkap dalam “kegagapan”  supaya aksi korupsinya makin liberal dan absolut.

Sudah terbukti, di tahun 2021  ini, mereka yang berposisi strategis di lini penanggulangan atau harus berperang lawan korupsi, justru terjebak jadi “zombi-zombi” yang mengikuti irama sindikasi koruptor.

Inilah yang membuat keadidayaannya sulit dikalahkan, padahal seharusnya dari mereka inilah, bangsa ini berharap besar mampu menciptakan atmosfir perubahan menuju masa keemasan (golden era) yang ditandai dengan berkurangnya zona-zona korupsi. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Oleh: Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES