Kopi TIMES

Refleksi Akhir Tahun Beserta Catatan Kritis Politik dan Hukum

Jumat, 10 Desember 2021 - 11:01 | 59.69k
Ahmad Althof Athooillah
Ahmad Althof Athooillah

TIMESINDONESIA, JEMBER – Muhasabah merupakan langkah strategis dalam berkaca kepada individual terlebih bagi mereka yang hari ini memegang beberapa perangkat penting dalam jantung negara. Meminjam beberapa gagasan dari Louis Althouser, bahwa  mekanisme utama penguasa menguasai dan memungkinkan warga sebuah negara tunduk dengan aturan-aturan yang berlaku, yakni represif dan ideologis. Kedua dimensi ini erat dengan eksistensi negara sebagai alat menguasai. 

Althusser membedakan antara perangkat negara yang represif dengan sebutan RSA (Repressive State Apparatus) dan ISA (Ideological State Apparatus) sebagai perangkat yang ideologis. RSA mekanisme kerjanya memaksa, bentuknya seperti pengadilan, penjara ataupun militer. ISA mekanisme kerjanya halus, bentuknya seperti pendidikan, keluarga, media, ormas, parpol. Kedua perangkat ini mempunyai fungsi yang sama, yaitu melanggengkan kekuasaan penguasa terhadap warga yang dikuasainya. 

Detik-detik penghujung tahun sudah di depan mata. Mari merefleksi dan juga merawat ingatan beberapa fenomena hiruk-pikuk politik dan hukum sepanjang tahun yang konon katanya tahun pertumbuhan. Bagi masyarakat kecil atau orang Jawa mengatakan “Kawulo Alit” mungkin tidak banyak mengerti beberapa peristiwa yang membuat greget melihatnya. 

Inkonsistensi Regulasi

Dimulai di bulan awal ketika presiden mengkampanyekan hingga turun Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), gerakan vaksinansi yang bertujuan agar meminimalisir jumlah kasus pandemi Covid-19. Bagi saya kebijakan tersebut menghasilkan beberapa harapan dan nafas segar yang tidak lain guna mencegah pandemi yang belum jelas narasinya. 

Dalam beberapa fenomena munculnya beberapa Pergub/Perbup secara mendadak tentang vaksinasi, apapun kegiatannya rakyat wajib menggunakan vaksin layaknya pengambilan bantuan, pekerjaan, pendidikan, jual beli, dan aktifitas lainnya. Tapi sangat disayangkan beberapa dari kebijakan tersebut terdapat inkonsistensi peraturan yang dilakukan oleh oknum bahkan lembag lain. Contoh nyata ialah ketika sudah vaksin bisa melakukan aktifitas apa saja, akan tetapi di lain sisi penggunaan rapid test diharuskan dengan dalih memperkuat kesehatan.

Dapat disimpulkan adanya tumpang tindih aturan yang seolah-olah membingungkan khalayak umum untuk bisa melakukan aktifitas tersebut terlebih dalam dunia pekerjaan. 

Dalam analisis sosio politik beserta data yang diperoleh Global Risks Perception Survey (GRPS), sebanyak 50 persen dari Gen Z mengaku kekhawatiran pada prospek karier ataupun pekerjaan mereka berkontribusi pada perasaan stres yang dialami. Sementara itu, 43 persen generasi milenial dan 41 persen Gen Z mengaku khawatir bahwa situasi ekonomi akan memburuk pada 2022. 

Data mencatat terdapat peningkatan tingkat kekhawatiran setinggi 10 persen dibandingkan tahun lalu. Terdapat indikasi bahwa generasi milenial dan Gen Z di Indonesia berbagi keresahan serupa dengan pandemial di berbagai belahan dunia. GPRS mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2021 paling banyak ada di kelompok usia muda berumur 15 - 24 tahun dengan jumlah 19,55 persen. 

Selanjutnya, penetapan PPKM yang berlevel tidak berlandasalkan nilai filosofis yuridis maupun sosiologis, ketika masyarakat sudah mulai nyaman dengan beberapa kondisi pertengahan tahun dihebohkan oleh melonjaknya kasus Covid-19 di berbagai daerah. Hal ini mengakibatkan banyak problem sosial yang dialami karena beberapa kebijakan yang merugikan layaknya penutupan hingga pemadaman lampu jalan. Pertanyaan sederhana apa guna dan fungsi vaksinasi?

Matinya Lembaga Anti-Rasuah beserta Kontroversi Kelembagaan 

Akhir-akhir ini negeri kita dihadapkan dengan sebuah momentum yang dirasa agak kurang nyaman di telinga bahkan agak kontroversial, yakni tidak lain adalah pelemahan KPK. Mulai dari Revisi UU KPK yang sangat hangat dibicarakan dan diputuskan sepihak pada masa disrupsi pandemi Covid-19 yang akhirnya membuat semua berubah mulai dari poin independensi, adanya Dewan Pengawas, izin penyadapan, kewenangan terkait SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), dan asal penyelidikan dan penyidikan.

Padahal apabila pendekatan kelembagaan yang hendak ditempuh legislatif atau eksekutif maka sepatutnya mekanisme checks and balances yang perlu dibangun bukanlah mekanisme pertanggungjawaban.

Padahal UU KPK telah mengatur mekanisme checks and balances tersebut. Secara sudut pandang lain bisa dihadirkannya Dewan Pengawas namun hanya sebatas pengawasan dalam konteks moral dan sikap komisioner pimpinan beserta karyawannya, bukan sebagai pengawasan SOP gerak-gerik penyidikan, penyadapan bahkan penangkapan yang jelas menciderai independensi KPK.

Kita bandingkan dengan UU KPK yang baru, semisal di Pasal 12B. Di situ menjelaskan bahwa penyadapan harus melalui izin tertulis dari Dewan Pengawas. Ini salah satu contoh bahwa pelemahan dan penghambatan dalam menjalankan tugas KPK yang semestinya. 

Kabar duka selanjutnya ialah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil dan menerima sebagian uji materil UU No.19 tahun 2019 tentang KPK. Sebetulnya tidak hanya KPK yang lemah, tapi kalau kita lihat ada lembaga pemutus final yakni MK yang hari ini tidak sesuai pada khittah-nya padahal kalau kita sedikit mencermati bahwa sejatinya membentuk sebuah undang-undang baru tentang KPK meskipun UU a quo secara kasat mata terlihat seolah-olah terbatas hanya sekedar membentuk sebuah UU perubahan KPK. 

Jika diamati lebih lanjut konstruksi berfikir hakim MK, seolah-olah tidak ada unity secara utuh. Dan di sini saya yakin bahwa seluruh tahapan prosedural pembentukan UU secara kasat mata memang sudah ditempuh oleh para legislator. Namun, poin penting perlu dipahami kembali adalah hampir pada tahapan pembentukan UU a quo ini terdapat berbagai persoalan konstitusionalitas dan moral yang cukup serius. 

Yang paling hangat adalah yakni intimidasi bahkan kriminalisasi terhadap karyawan KPK. Terhitung sejak awal Mei setelah KPK mengumukan 75 karyawan yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsan, hal ini mengandung banyak stigma dari beberapa kalangan, ironisnya desas-desus kabar TWK tersebut di luar nalar. Substansi yang dicanangkan dalam soal tersebut meleset jauh dari apa yang diperkirakan mulai dari pertanyaan kepercayaan hingga masalah yang mengandung unsur pribadi yang terdiri dari kegiatan sosial setiap individu. 

Menatap dan Menyuarakan Politik 2024

Desas-desus kampanye politik sudah berasa dalam lingkungan kita. Munculnya baliho, banner, pamflet bahkan short video content creator sudah memulai aksinya. Strategi kampanye yang dilakukan sangat tenang. Seakan-akan memberikan motivasi kepada masyarakat untuk kuat menghadapi pandemi. Akan tetapi elektabilitas bukannya naik, yang terjadi cenderung menurun.

Bisa dilihat masih acuhnya masyarakat yang resistensi terhadap baliho calon kontestasi partai politik (parpol). Kita semestinya bisa belajar dari kerasnya pertarungan politik di Pilpres 2019 lalu. Sudah sedianya akademisi, kalangan pemikir, konseptor, dan ilmuwan politik mulai menyusun formula yang pas bagaimana Pilpres 2024 mendatang berjalan dengan sehat, demokratis, dan tak dijejali dengan maraknya informasi fitnah dan hoaks dengan balutan agama. 

Jangan sampai juga, polarisasi yang berkhidmat pada politik identitas dan menjurus perpecahan antarsaudara kembali terjadi 2024. Secara moralitas bisa digambarkan ada kepentingan dan keinginan yang kuat dalam pertarungan di ring 2024 mendatang. Isu-isu yang menjurus SARA ini akan terus dipelihara segelintir oknum politisi hingga momentum Pilpres 2024.

Penikmat-penikmat politik identitas itu tentu tak berharap bangsa ini damai dalam menunaikan tugas suci lima tahunan yakni memilih pemimpin dengan cara terhormat dan demokratis sesuai konstitusi. Hanya mementingkan kemenangan tanpa memikirkan persatuan. Politik identitas dalam bentuk apapun akan menjadi catatan sejarah buruk bagi generasi peneru kampanye program pun sudah terpampang sebagai iming-iming karakter bangsa ke depan melalui beberapa kata yang dijadikan hastag. Tapi kembali lagi ke pertanyaan mendasar seberapa kuat SDM yang kita miliki? Karena kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin hari ini berada dalam posisi dimana rakyat minim kepercayaan. (*)

*) Penulis, Ahmad Althof Athooillah, adalah Wakil Ketua Umum Law research & Debate Community UIN Khas Jember dan Wakil Ketua 3 Bidang Jaringan Sekolah Pesantren PC IPNU Kabupaten Mojokerto.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES