Kopi TIMES

Akankah Permendikbud Ristek Berujung Pada Uji Materi di MA?

Selasa, 07 Desember 2021 - 15:13 | 59.99k
Susanto (Paralegal di Kantor Hukum Kunawardi, S.H. dan Rekan)
Susanto (Paralegal di Kantor Hukum Kunawardi, S.H. dan Rekan)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meminta agar Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tidak ditafsirkan diluar dari tujuannya.

"Mohon tidak ditafsirkan pada hal di luar apa yang diatur dalam permendikbud ini. Permendikbud ristek ini tidak mengatur aspek di luar kekeraasan seksual,” Kata Nizam kepada Kompas.com, Rabu (10/11/2021)

Pengesahan dan diundangkannya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, Permendikbud ini juga tidak luput memperoleh penolakan maupun dukungan oleh berbagai ormas hingga kalangan masyarakat.

Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 lahir sebagai respon maraknya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah komunitas termasuk perguruan tinggi yang akan berdampak pada penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi, dan sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam lingkungan Perguruan Tinggi.

Terlepas dari itu, sebagaimana dikutip dalam CATAHU, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 yang terdiri dari kasus yang ditangani oleh Pengadilan Negeri/Agama sejumlah 291.677, Lembaga layanan Mitra Komna Perempuan sejumlah 8.234, Unit pelayanan dan rujukan Komnas Perempuan sebanyak 2389.

Tujuan dibentuk suatu peraturan baru yaitu untuk mengisi kekosongan norma atau mengatasi pertentangan norma dengan mempertimbangankan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan.

Permendikbudristek PPKS tersebut dibentuk atas dasar pertimbangan bahwa dengan semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah komunitas termasuk perguruan tinggi secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kurang optimalnya penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi (Vide: Konsideran Menimbang Permendikbudristek PPKS) dan beberapa pertimbangan lainnya.

Menteri sebagai salah satu pejabat yang membidangi urusan tertentu diberi kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada 2 (dua) hal, sebagaimana termuat dalam Pasal 8 ayat (2) UU P3 yang berbunyi: 

“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Permedikbudristek PPKS dibentuk karena adanya kewenangan, bukan karena perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Karena seyogianya peraturan yang baik itu tidak mengadung makna yang ambigu atau multitafsir atau obscuur libel.

R. Soeroso dalam bukunya menjelaskan bahwa penafsiran a contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang.

Penggunaan frasa “siulan” bernuansa seksual juga tidak dapat digeneralisir. Sebab, bersiul bukanlah suatu perbuatan yang berefek langsung kepada orang lain. Selain itu, penentuan siulan bernuansa seksual atau tidak, sangatlah sulit dan cenderung subjektif. 

Frasa “menatap dengan nuansa seksual” dan “tidak nyaman” merupakan klausul yang sangat abstrak. Tatapan nuansa seksual tidak mempunyai batasan yang jelas, dan dalam penegakannya akan mempersulit para penegak hukum. Selain itu, perasaan tidak nyaman dapat bermakna perasaan tidak menyenangkan. Frasa seperti itu dianut dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP yakni “perlakuan tidak menyenangkan”, di mana frasa tersebut sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 1/PUU-XI/2013 karena terlalu subjektif dan bertentangan dengan UUD NRI 1945. 

Rumusan di atas jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi), maka memenuhi unsur Pasal 6 UU Pornografi yang berbunyi: 

“Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.” 

Sedangkan, dalam aspek mengedarkan dokumen yang melanggar kesusilaan, berpotensi memenuhi delik sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berbunyi: 

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” 

Apabila menggunakan argumentum a contrario maka dihasilkan frasa: “Korban melakukan aborsi tanpa ada paksaan atau tanpa diperdayai”. 

Secara yuridis, perbuatan aborsi sudah diatur melalui Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa larangan aborsi dikecualikan berdasarkan, yaitu: 
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau 
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. 

Merujuk pada ketentuan tersebut, maka aborsi hanya dapat dibolehkan apabila ada indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Di luar dari hal itu tidak dapat dibenarkan. Sehingga tolok ukur untuk melakukan aborsi terbatas pada kedua alasan di atas. Tidak dibenarkan hanya karena ada paksaan ataupun diperdayai oleh orang lain. 

Banyaknya aturan yang mengatur mengenai umur untuk Anak, dan hal ini akan menimbulkan kebingungan bagi penegak hukum Permendikbudristek PPKS untuk menggunakan landasan penentuan “belum usia dewasa” tersebut. Hal ini disebabkan karena di dalam peraturan tersebut tidak diatur batasan yang jelas mengenai umur atau usia tersebut. Bahkan sangat bias karena frasa yang digunakan mengandung kata sifat yaitu “dewasa”. 

Yakni penggunaan penalaran hukum yang tidak tepat, karena tidak dapat dibenarkan berdasarkan ilmu hukum. Banyaknya pasal yang kontroversial, maka Permendikbudristek PPKS harus dicabut dan direvisi untuk seluruhnya agar tidak mempengaruhi pelaksanaan tridharma perguruan tinggi yang bernilai moral dan agama serta kearifan lokal. Sebagaimana dikemukakan oleh John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice, bahwa “suatu teori betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil”.

Istilah “tanpa persetujuan” atau “tidak disetujui” dalam Permendikbudristek PPKS harus dihapuskan. Penggunaan istilah tersebut melegitimasi adanya hubungan seksual hanya berdasarkan persetujuan semata antara dua belah pihak tanpa adanya penjelasan mengenai legalitas hubungan seksual tersebut sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain itu, berhubung Permendikbudristek PPKS tersebut dibentuk atas dasar kewenangan bukan delegasi aturan yang lebih tinggi, maka cenderung ada pengaturan yang terlalu besar atau melampui kewenangan dari Menteri untuk merumuskan suatu peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah dari peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi

Pembentuk peraturan perundang-undangan harus lebih objektif dalam mengatur segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam ius constituendum. Upaya penghapusan kejahatan kesusilaan dalam lingkup perguruan tinggi memang patut diperjuangkan. Karena melanggar hak-hak konstitusional warga Negara Indonesia secara universal. Selain itu, kejahatan kesusilaan akan mendegradasi nilai-nilai agama dan kearifan lokal dalam interaksi sosial.

***

*) Oleh: Susanto (Paralegal di Kantor Hukum Kunawardi, S.H. dan Rekan)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES