Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kita Masih Telanjang

Selasa, 07 Desember 2021 - 10:42 | 41.96k
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGKita mesti telanjang,
Dan benar-benar bersih,
Suci lahir dan di dalam batin,
Tengoklah ke dalam,
Sebelum bicara,
Sucikan debu yang masih melekat

(Ebid G. Ade).

Petikan lagu Ebid G. Ade tersebut ditujukan sebagai kritik terhadap diri manusia supaya manusia tidak lupa melihat, mendiskusikan, dan “menelanjangi” diri, sanubari, dan ambisi-ambisinya. Manusia diingatkan untuk membaca dirinya, siapa tahu dalam dirinya ternyata masih banyak debu, virus, atau penyakit yang menutup mata hati, nalar sehat, dan kecerdasan nuraninya.

Ada kecenderunga kalau dalam diri manusia itu sukanya  menutup mata hati atau “menulikan” nuraninya, sehingga penyakit yang sedang bersemai dan hidup subur di dalam dirinya terabaikan. Akibatnya, di dalam dirinya semakin marak bahsil, dekil, dan penyakit yang membuatnya kian terjerumus dalam kesalahan, kekejian, atau praktik-praktik ketidak-adaban.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Perilaku tidak beradab dijadikan sebagai “investasi kezaliman” yang dibanggakan atau diarogansikan, yang seolah-olah dunia atau bumi ini hanya menjadi tempat memproduksi dan menyuburkan hasrat bebasnya. Perilaku bercorak fasik terus menerus dikomoditi atau dijadikan obyek jual, dibudayakan, dan ditempatkan sebagai bagian dari target mengeruk keuntungan sebesa-besarnya.

Manusia yang sedang lupa daratan itulah yang membuat bumi ini sakit parah, menjadi korban keteraniayaan, atau dalam kerusakan berat. Kerusakan ini membuat bumi tidak lagi bisa menyanyikan senandung lagu kedamaian, iraama kesejukan, dan atmosfir alam keindahannya. Bahkan sebaliknya, menuntut tumbal yang mengerikan yang barangkali tidak terbayangkan dalam pikiran manusia.

Kegundahan kita sekarang terhadap ancaman bencana alam yang  bersumber dari perut bumi atau gunung-gunung juga seharusnya kita iqra dari sudut perilaku kita, selama ini merasa arogan dengan kekejian atau ketidak-adaban terhadap bumi yang kita tabur dan suburkan.

Kewaspadaan kita terhadap ancaman meletusnya gunung Merapi misalnya adalah usaha logis yang memang seharusnya kita lakukan, namun akan lebih lengkap jika usaha ini juga diikuti dengan gerakan penyadaran spiritualitas diri dan “akhlak bumi”, sehingga apa yang kita lakukan tidak sebatas memenuhi dimensi strategi fisiknya, tetapi juga strategi non-fisiknya.

Merapi atau gunung-gunung lainnya yang berplat “membahayakan” adalah bagian dari dosa-dosa yang kita perbuat, yang selama ini kita abaikan. Kesalahan atau ketidak-adaban terhadap bagian isi bumi inilah yang seharusnya kita “taubatkan” supaya bumi tidak akan berlanjut menuntut tumbal. Ketidak-adaban yang kita lakukan, yang kerapkali menuntut korban terhadap eksistensi bumi, telah atau sedang menjadi bumerang yang mengancam eksistensi kita.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Allah SWT juga mengingatkan, wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap manusia mau merenungkan kembali apa saja yang telah diperbuat (di masa lalu) untuk mempersiapkan masa depannya, dan bertaqwalah kepada Allah,  sesungguhnya Allah maha mengetahui apa saja yang kalian lakukan. Dan janganlah kalian bersikap seperti orang-orang  yang melupakan Allah, sehingga Allah membuat mereka lupa kepada diri sendiri,  mereka itulah orang-orang yang fasiq. (Al Hasyr   ayat 18 – 19)

Ayat tersebut menunjukkan, bahwa berefleksi atau merenungkan kembali apa yang kita perbuat merupakan salah satu upaya memposisikan diri secara adil, arif, dan bijak diantara sekian ragam ujian yang ditunjukkan bumi. Kemarahan bumi adalah cermin diri kita, yang selama ini masih arogan dengan kezaliman atau ketidak-adaban ang kita budayakan dan panglimakan.

Bumi tempat kita berpijak telah merekah disana-sini, yang menggambarkan kalau selama ini kita pun gampang sekali melakukan dan mengeskplorasikan dosa-dosa terhadapnya. Bumi akan tetap menjadi tempat yang ramah jika kita pun menyuburkan watak dan perilaku ramah kepadanya. Kalau bumi sampai meminta tumbal, maka hal ini menjadi indikasi, kalau selama ini kita masih gampang menjadikan bumi dan isinya sebagai tumbal.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Oleh: Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES