Kopi TIMES

Abad ke-2 Nahdlatul Ulama dan Penguatan Ekosistem Teknologi

Minggu, 05 Desember 2021 - 18:37 | 97.60k
Dr. M. Hasan Chabibie, Pengasuh Pesantren Baitul Hikmah Depok Jawa Barat, Plt. Ketua Umum PP MATAN NU, Kepala Pusdatin Kemendikbud.
Dr. M. Hasan Chabibie, Pengasuh Pesantren Baitul Hikmah Depok Jawa Barat, Plt. Ketua Umum PP MATAN NU, Kepala Pusdatin Kemendikbud.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam beberapa tahun mendatang, Nahdlatul Ulama akan memasuki 100 tahun. Usia satu abad dalam rentang panjang organisasi pergerakan, merupakan titik penting untuk spektrum kontribusi sekaligus dampaknya dalam konteks domestik, regional hingga internasional. Momentum satu abad Nahdlatul Ulama menjadi titik historis bagaimana santri dan komunitas pesantren untuk melakukan lompatan dalam penyempurnaan sistem organisasi hingga penguatan ekosistem teknologi.

Tentu saja, lompatan-lompatan ini tidak bermaksud untuk menghilangkan Nahdlatul Ulama dari akar sejarahnya. Justru, penguatan di beberapa sektor ini dimaksudkan untuk mengorganisir jamaah (komunitas) dan menggerakkan jam’iyyah (organisasi). Interaksi saling komplementer antara jamaah dan jam’iyyah inilah sejatinya merupakan kekuatan Nahdlatul Ulama. Jika ada strategi dan grand-design untuk mengkonsolidasi komunitas dan mentransformasi organisasi, tentu akan ada perubahan mendasar menuju arah yang lebih baik.

Sejauh ini, dalam sepanjang arus sejarah menjelang seratus tahun, Nahdlatul Ulama telah mengalami berbagai turbulensi politik, namun tetap sekaligus eksis dalam pergerakannya. NU lahir dalam pusaran turbulensi politik internasional, setelah Perang Dunia Pertama berakhir. Pada waktu itu, kekuasaan Ottoman runtuh, berganti dengan munculnya wilayah-wilayah baru dalam koloni negara-negara Eropa. NU muncul dalam konteks itu, sebagai wadah diplomasi internasional yang ditandai dengan terbentuknya Komite Hijaz. 

Setelah itu, Nahdlatul Ulama juga konsisten dalam perjuangan kemerdekaan mewujudkan Indonesia yang berdaulat. Jaringan kiai-santri yang tersebar di berbagai kawasan, menjadi simpul-simpul pergerakan dan perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan. Para kiai sadar bahwa, perjuangan tidak hanya mewujudkan kemerdekaan Indonesia, tapi juga menjunjung kedaulatan sebagai negara bangsa. 

NU juga mengalami masa kritis ketika Orde Baru berkuasa, terpinggir dari panggung kekuasaan, serta sulit mendapat akses pendidikan, ekonomi dan juga politik. Namun, para kiai dan komunitas santri tetap berjuang, tetap mengajar, terus belajar, dan tidak lelah untuk menjaga Indonesia, berkhidmah untuk negeri tercinta.

Seratus tahun: lompatan tekhnologi dan sains

Jika beberapa dekade lalu, sulit untuk mencari santri yang ahli tekhnologi dan menggeluti bidang sains, sekarang kondisinya jauh berbeda. Saat ini, ada ribuan santri yang kuliah di luar negeri, menggeluti bidang sains, dan sekaligus pakar di berbagai bidang teknologi. Para diaspora santri inilah yang menjadi tulang punggung untuk transformasi Nahdlatul Ulama menjelang seratus tahun, sekaligus menapaki jalan menuju abad ke-2. 

Para diaspora santri ini, rata-rata mereka pernah nyantri di pesantren ataupun mengaji dengan kiai-kiai di kampung asalnya. Lalu, mereka berjuang untuk merebut akses belajar hingga perguruan tinggi di berbagai negara. Mereka tetap menjaga keilmuan santri, tetap mempelajari al-Qur’an Hadist, Alfiyyah ibn Malik dan kitab-kitab pesantren, sekaligus juga belajar ilmu-ilmu baru di bidang teknologi. 

Dalam beberapa tahun terakhir, saya sendiri berinteraksi dengan mereka melalui beberapa jaringan media sosial, dan sesekali mengadakan diskusi intensif. Mereka merupakan santri yang tetap tawadhu, senang bershalawat dan sekaligus menguasai bidang-bidang teknologi modern, semisal robotika, artificial intelligence, bioscience, hingga datascience serta data architecture. Potensi besar ini selayaknya disambungkan dengan potensi-potensi santri yang berkhidmah di tanah air, yang tersebar di berbagai lembaga dan komunitas. 

Bagaimana memulainya? 
    
Tentu, yang paling penting adalah kesadaran untuk masing-masing berkhidmah dan ‘bekerja’ sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. Ada beberapa hal yang perlu direnungkan bersama, setidaknya berbasis dari apa yang selama ini saya lakukan dalam khidmah di bidang pendidikan, teknologi dan pusat data. 

Pertama, kepemimpinan yang memiliki visi transformasi. Kepemipinan dalam konteks ini, tidak sekedar personal leadership, namun kepemimpinan kolektif yang memahami dan mau melalukan transformasi. Pada konteks NU, sudah sangat jelas kaidahnya: al-muhafadzatu ‘ala al-qadimi as-shalih wal akhdzu bil jadidi al-ashlah. Transformasi berbasis teknologi ini penting untuk menggerakkan NU agar menjadi organisasi yang lebih berdampak luas sekaligus efektif dalam sistemnya, namun tidak menghilangkan basis tradisinya. Jadi, menggunakan teknologi sebagai al-jadid al-ashlah, seraya menjaga pengetahuan Islam klasik dan tradisi pesantren sebagai al-qadimi as-shalih. 

Kedua, memetakan dan menggerakkan sumber daya. Para santri sekarang ini sudah mengalami transformasi pengetahuan dan keahlian yang luar biasa. Kita bisa mudah menemukan sarjana, master hingga doktor dari pelbagai perguruan tinggi dari kalangan santri, dari lintas bidang keilmuan. Maka, perlu ada program menengah dan panjang untuk memetakan sumber daya ini. Sekaligus, dari mapping hingga plotting, dari pemetan hingga skenario untuk menggerakkan sumber daya ini. 

Ketiga, menyiapkan ekosistem teknologi. Dari pemetaan sumber daya, nanti akan terlihat bagaimana potensi besar komunitas santri bisa digerakkan. Selanjutnya, dari peta ini kita bisa melakukan transformasi dengan menyiapkan ekosistem teknologi yang tepat, untuk menggerakkan bidang pendidikan, ekonomi, pangan, hingga kebudayaan kita. Jadi, teknologi bisa menjadi ‘backbone’, menjadi tulang punggung pada momentum Seratus Tahun dan menjelang Abad-2 Nahdlatul Ulama.

Maka, mari bersama-sama melakukan pengabdian besar ini, sesuai dengan kapasitas dan tanggungjawab masing-masing. Semuanya punya potensi, semuanya punya wilayah untuk berkhidmah. Mari kita menata puzzle-puzzle khidmah ini, agar menjadi gambar besar perjuangan untuk Nahdlatul Ulama kita. (*)

* Penulis Dr. M. Hasan Chabibie, Pengasuh Pesantren Baitul Hikmah Depok Jawa Barat, Plt. Ketua Umum PP MATAN NU, Kepala Pusdatin Kemendikbud.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES