Kopi TIMES

Panggung Sandiwara Undang-Undang Inkonstitusional

Jumat, 03 Desember 2021 - 12:12 | 73.98k
Bery Manurung, Penulis buku nulis aja kok repot dan daya ungkit bonus demografi Indonesia.
Bery Manurung, Penulis buku nulis aja kok repot dan daya ungkit bonus demografi Indonesia.

TIMESINDONESIA, JAKARTASekali berarti. Sudah itu mati. Chairil Anwar.

Zaman selalu berubah, sikap dan tindak-tanduk manusia memiliki ambang batas kesabaran melihat tingkah laku pemimpin yang tidak mampu memimpin. Apalagi realitas ketidakadilan di depan mata. Genggaman tangan mengepal dan kertak gigi tertahan publik, tidak bisa berbuat apa-apa, menyaksikan tangan kuasa pemerintahan terlihat abai, acuh-tak acuh, bahkan sekedar read my lips ala presiden Bush, memanipulasi janji untuk sementara, menenangkan dan meredakan situasi. Janji keadilan yang urung di tepati.

Berapa banyak kita melihat sekarang kebijakan terlihat tumpul ? Tidak memihak kaum tertindas. Kaum yang bernafas dengan kesesakan, terbatuk-batuk hanya ingin mendapatkan harapan, ia dapat makan untuk satu hari saja. Sadarkah kita akan anak-anak kecil balita yang nantinya akan kesulitan mendapatkan layanan kesehatan, sementara dananya di bajak oleh manusia-manusia yang katanya paham, peduli akan kebutuhan rakyat miskin ?

Malah, kebijakan terlalu sering di bungkus dengan kalimat “demi keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia. Adil menurut mulutnya tapi berlumuran darah dan racun pada tangannya. Triliunan rupiah terbuang sia-sia bagai ampas, akibat peraturan yang tak bisa membedakan kritis dan krisis.

Kebijakan kartu Pra-Kerja yang dipertanyakan, data bantuan yang amburadul, dan statement pemangku kebijakan yang tidak satu orkestra. Bahkan, peraturan yang katanya mempermudah investasi segemuk omnibus law ajaib menyerupai tongkat penyihir mampu memperluas pekerjaan, menerobos para cukong, ternyata kontraproduktif. Konyolnya, draft yang dulu diketok palupun seperti menjadi serupa makhlus halus, yang sulit diraba apalagi dibaca. Celakanya, produk Undang-undang tersebut justru sekarang inkonstitusional !

Apakah kita sebagai masyarakat cukup mengeluh dan mengusap dada, melihat hak-hak kita di angggap hanya sisa-sisa makanan di selokan terbuang percuma setelah pesta pora para “dedemit” kebijakan yang menguntungkan oligarki ?

Bahkan, mungkin, sebentar lagi, kita pemberi suara dan kepercayaan akan menangis atau hanya dapat tersenyum kecut, mendengar dana bantuan triliunan Rupiah yang masuk ke dalam karung kantong pribadi, hanya karena coretan tanda tangan—yang katanya pemegang kebijakan. Bijak bagi kerumunannya ; keluarga, saudara, teman, rekan politik !

Kemiskinan persis berhadapan dengan wajah kita, pengangguran membludak membelalakkan mata kita, koruptor dibela aturan undang-undang yang menghianati akal dan nurani. Sampai kapan panggung sandiwara ini berakhir ?

Jika wabah ini berlanjut sampai tahun depan, kita akan menatap miris kehidupan. Para ibu akan kesulitan mendapatkan susu bagi bayinya, anak-anak lugu tanpa pendidikan yang layak hanya menjadi tontonan laporan tahunan, dan kaum proletar akan kian terjerembab dalam palung penderitaan, tidak mampu menghidupi diri karena pangan pokok yang kian mahal dan peluang pekerjaan yang merosot tajam. Buruh kian terjepit akibat upah seuprit. Bagaimana masyarakat produktif jika kebijakan tidak responsif ?

Celakanya, kaum muda yang katanya cukup 10 orang mampu mengguncang dunia kehilangan sikap kritisnya bahkan nihil keberanian sekalipun dalam lingkaran pemerintahan. Bahkan, terlihat oportunis ketika diberi kedudukan. Mungkin kita bertanya-tanya, apa program khusus dan dukungan moral staf khusus milenial saat wabah kian tak terkendali ? Apakah, gembar-gembor usia muda yang energik dan penuh kreatifitas mendadak hang dan mati karena virus nikmat politik?

Kini , kaum muda justru terlihat ramai seperti orang-orangan sawah : lusuh, kucel, kaku, dan tertancap di dalam tanah dan hanya sanggup menakut-nakuti burung-burung kecil, berparuh kecil. Kehilangan nalar kritis dan kalah oleh oligarki politik dan gerombolan pengerat, perampok uang rakyat.

Padahal, realitas penderitaan, kengerian di atas bukan sekedar angka-angka statistik semata. Ia makhluk hidup sangat mungkin menderita, compang-camping, dan mati tanpa keadilan. Dan, malaikat maut seakan berlari mendekat.

Para politikus pengerat telah terlihat bersatu dengan kepentingan. Tidakkah kita telah di buat buta ? Padahal , kita bisa lebih kuat jika bersatu bahkan lebih garang, lebih cepat, lebih gigantis, karena tiada kepentingan di antara kita. Kita adalah : Vox populi, Vox Dei !

Beranikah kita kembali bersatu padu, saling mengeratkan tangan, menjalin keteguhan hati, menggalang gerakan, memenuhi ruang, berteriak menentang kebatilan aturan, memberikan solusi yang lebih baik, bagi bangsa kita yang kian terpuruk karena pandemi Covid-19 ?

Jangan kita serahkan suara dan tanggung jawab ini hanya kepada pejabat berdasi yang lagaknya membela kepentingan publik, tapi pengkhianat kepentingan rakyat. Kritisi dan kita awasi dengan seksama.

Send. Delivered. Semoga pesan ini tidak lelet untuk sampai kepada orang-orang yang masih punya ikhtiar melihat negeri selamat dari gerombolan pengerat yang kian hari beranak-pinak dan mengambil keuntungan saat krisis, menghabisi lumbung-lumbung bantuan kepada masyarakat berdampak tanpa sedikitpun risau di cap penjahat paling laknat. Sekarang atau tidak sama sekali. An unjust law is itself a species of violence. Hukum yang tidak adil itu sendiri merupakan jenis kekerasan (Mahatma Gandhi). Berani “melawan”?

***

*) Oleh: Bery Manurung, Penulis buku Nulis aja kok Repot dan Daya Ungkit Bonus Demografi Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES