Kopi TIMES

Pilkada 2024: Polemik Masa Jabatan Kepala Daerah

Jumat, 03 Desember 2021 - 10:29 | 114.58k
M. Dwi Sugiarto, Pemerhati isu sosial, politik dan kebijakan publik, Anggota MD Kahmi Boyolali, Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang.
M. Dwi Sugiarto, Pemerhati isu sosial, politik dan kebijakan publik, Anggota MD Kahmi Boyolali, Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang.

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan kembali dilaksanakan pada 2024, sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dasar UU Pilkada tersebut mengatur bahwa agenda Pilkada di desain untuk dilaksanakan secara serentak secara nasional di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Konsekuensi atas kebijakan menyelenggarakan Pilkada Serentak secara nasional adalah dengan memotong masa jabatan kepala daerah yang belum habis, tetapi sudah tersedia kepala daerah terpilih yang perlu untuk dilantik. Ataupun kepala daerah yang sudah habis masa periodenya yaitu lima tahun, tetapi belum ada kepala daerah terpilihnya sehingga perlu diisi penjabat kepala daerah.

Jabatan kepala daerah yang belum habis atau mengalami pemotongan terjadi diantaranya pada hasil Pilkada 2020 yang akan kembali diperebutkan jabatan kursi kepala daerahnya pada 2024. Jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 hanya akan menjabat sekitar 3,5 tahun atau kurang bergantung pada agenda pelantikannya. Padahal untuk Pilkada 2024 sudah ditentukan sebagaimana dalam UU Pilkada akan dilaksanakan pada November 2024.

Pemotongan masa jabatan bagi sejumlah kepala daerah cukup merugikan bagi kepala daerah yang menjabat terkait masa tugas tahunnya yang berkurang lumayan banyak. Aturan satu periode selama 5 tahun dianggap cukup dalam membangun daerah melalui program kebijakan yang terukur, namun dengan waktu yang dialokasikan untuk periode 2021-2024 jelas sangat berpengaruh terhadap kinerja pembangunan yang digagas kepala daerah. Apalagi bagi kepala daerah yang masuk pada periode pertama sangat berat menunjukkan kinerja dengan masa tugas yang singkat. Tidak terkecuali juga bagi kepala daerah yang menjabat untuk periode kedua yang sedang menggenjot program kebijakan meneruskan kebijakan pada periode pertama.

Program kebijakan yang berhenti tidak dapat dieksekusi akibat singkatnya masa jabatan kepala daerah sebagaimana kepala daerah yang dipilih hasil Pilkada 2020, juga akan terjadi pada daerah yang akan mengalami kekosongan kepala daerah definitive hasil politik produk Pilkada. Ada beberapa daerah yang akan mengalami kekosongan kepala daerah definitive akibat penundaan Pilkada. Daerah-daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2017 ada sekitar 101 daerah 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota) yang habis masa jabatannya pada 2022, sedangkan hasil Pilkada 2018 ada sekitar 171 daerah (17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota) yang habis masa jabatan kepala daerahnya pada 2023.

Daerah yang kosong jabatan politiknya akibat penundaan Pilkada akan diambil dari pejabat eselon kementerian untuk Gubernur atau dari perwira kepolisian, sedangkan Bupati/Wali Kota akan diisi oleh pejabat di Pemerintahan Provinsi. Kondisi pengisian jabatan kepala daerah yang diambilkan dari aparatur negara tentu akan berdampak pada progres pembangunan yang ada di daerah. Pertama, kepala daerah yang notabene nya menjabat sebagai pengganti akan dibatasi oleh kewenangan yang dimilikinya. Kedua, kepala daerah hasil penugasan pemerintah tidak memiliki legitimasi politik di depan rakyat juga di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ketiga, fraksi di DPRD tidak berada pada posisi sebagai pendukung dan pengusung kepala daerah, sehingga pengaruh dalam hal eksekusi kebijakan sangat riskan terhambat. Keempat, kepala daerah dapat berlaku mencari aman dan hanya sebatas menjalankan tugas administrasi tanpa terobosan kebijakam yang baik.

Padahal masa jabatan kepala daerah nantinya ada yang kosong sekitar 1-2 tahun yang relatif cukup lama, persoalan dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bisa jadi akan berjalan alot. Kedua, banyaknya daerah yang perlu diisi posisi jabatan kepala daerahnya akan mengganggu jalannya tugas dari posisi awal pejabat kepala daerah baik yang berasal dari Kementerian maupun dari Pemerintah Porvinsi.

Mengunci Komitmen Kepala Daerah

Skema Pilkada Serentak pada satu sisi dapat memberi dampak positif bagi proses jalannya tata pemerintahan dimasa-masa yang akan datang. Para kepala daerah yang sedang menjabat dapat lebih fokus menyelesaikan tugasnya. Tidak akan ada lagi kepala daerah di tingkat kabupaten/kota yang sedang menjabat terganggu tugasnya karena sedang mencalonkan diri pada kontestasi politik di Pemilihan Gubernur. Kedua, para politisi dituntut memiliki komitmen kuat dalam mengemban amanah melalui jabatan kepala daerah yang diembannya. Para Gubernur yang memiliki popularitas tinggi dan berancang-ancang untuk maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) misalnya dapat menjalankan kebijakan yang lebih serius sebagai bentuk tolak ukur kualitasnya untuk menjadi kepala negara.

Dengan agenda pemilihan yang terprogram demikian momentum politik dapat lebih matang dilaksanakan, baik dari penyelenggara pemilihan, pemerintah, maupun partai politik serta kandidat yang akan terlibat kontestasi. Publik dalam menikmati pesta demokrasi juga secara teratur hanya berlangsung dalam tahun-tahun politik, seperti satu tahun sebelum penyelenggaraan pemilihan. Polarisasi politik yang terjadi dari satu daerah ke daerah yang lain akibat kontestasi nasional dapat lebih diminimalisir.

Catatan konflik horizontal akibat kontestasi politik dapat lebih tersamarkan, misalnya dalam kontestasi Pilpres terjalin koalisi A dan koalisi B yang kemudian ketika Pilkada di 34 Provinsi peta koalisi menjadi cait. Meruncingnya polarisasi dapat lebih diantisipasi melalui kebijakan politik dari masinh-masinh partai politik yang terlibat langsung dalam kontestasi terutama partai-partai besar pengusung utama.

Perpanjangan Masa Tugas

Kekosongan kepala daerah yang relatif cukup panjang serta jumlah daerah yang cukup banyak berdampak pada dugaan-dugaan publik yang masih liar dalam membaca pilihan kebijakan pemerintah. Pada Pilkada 2018 beberapa daerah Provinsi diisi pejabat Gubernur dari unsur ASN Kementerian dan juga perwira Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pilihan tersebut sempat menimbulkan gejolak akibat keterlibatan unsur kepolisian dalam mengisi jabatan kepala daerah.

Pilkada 2018 hanya beberapa daerah yang memerlukan penjabat Gubernur serta masa tugasnya yang tidak terlalu lama. Sedangkan pada penundaan untuk Pilkada 2024 sebanyak 24 provinsi yang perlu diisi. Kemudian momentum melewati Pileg dan Pilpres cukup riskan dan besar potensi untuk disalahgunakan dalam kondisi yang demikian.

Pilihan yang dapag dipertimbangkan oleh pemerintah ada dimungkinkannya bagi kepala daerah yang akan habis masa jabatannya justru diperpanjang. Perpanjangan masa jabatan hingga tersedianya kepala daerah terpilih justru lebih efektif, sebab kepala daerah yang menjabat adalah hasil Pilkada yang langsung dipilih oleh rakyat. Kedua, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak perlu menugaskan personalia kementerian untuk mengisi penjabat Gubernur, begitupula di Pemerintah Provinsi menugaskan ASN nya mengisi jabatan Bupati/Walikota.

Dibandingkan menggunakan unsur kepolisian mengisi penjabat kepala daerah, rasanya pilihan memperpanjang masa jabatan kepala daerah lebih dapat diterima publik. Pertimbangan lainnya adalah kebebasan publik di daerah lebih terlindungi ketika kepala daerah bukan dari unsur sipil.

Penghilangan Status Periode

Pembatasan periode yang singkat pada hasil Pilkada 2020 berarti kepala daerah yang memiliki jabatan dua periode tidak merasakan 10 tahun masa tugasnya. Bila pada level politik nasional saja, muncul wacana Presiden-Wakil Presiden menjabat selama tiga periode karena alasan masih diinginkan rakyat atau karena dianggap kurangnya waktu jabatan maksimal 10 tahun. Maka kepala daerah yang merasakan jabatan pada 2021-2024 dapat pula dihilangkan status pengisian periodesasinya. Artinya kepala daerah dapat merasakan sekitar 13,5 tahun maksimal nantinya. Atau minimal satu periode yang melewati 2021-2024 menjadi 8,5 tahun.

Pertimbangan pada agenda pembangunan daerah yang seringkali terbengkalai akibat pergantian kepala daerah serta masa kepemimpinan yang relatif singkat dapat digunakan sebagai pertimbangan. Penghilangan status periodesasi memungkinkan untuk dilakukan guna menjaga peluang masa tugas kepala daerah yang bisa lebih panjanb, tetapi tetap dengan batasan dua periode. Sebab pengurangan tahun periodesasi akibat Pilkada Serentak di 2024 telah menghilangkan waktu tugas kepala daerah yang tidak sedikit. Dengan menghilangkan penghitungan periodesasi hasil Pilkada 2020 justu mengembalikan penilaian kualitas kepala daerah kepada publik, sedangkan negara (pemerintah) tidak menghilangkan hak peluang tugas bagi kepala daerah atau aktor politik yang didukung rakyat.

***

*) Oleh: M. Dwi Sugiarto, Pemerhati isu sosial, politik dan kebijakan publik, Anggota MD Kahmi Boyolali, Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES