Kopi TIMES

Demokrasi Senewen Masyarakat Sipil

Jumat, 03 Desember 2021 - 07:02 | 64.24k
Fata Pujangga, Founder Gen Demokrasi Digital Indonesia.
Fata Pujangga, Founder Gen Demokrasi Digital Indonesia.

TIMESINDONESIA, MALANG – Sebagian dari kita, saya pikir sudah banyak tahu tentang masyarakat sipil (baca: Civil Society). Sejak periode klasik, hadirnya masyarakat sipil—dulu di barat disebut masyarakat politik—kelompok ini cenderung membawa misi perubahan. Dan masyarakat yang tergabung di dalamnya beragam, sehingga hal itu bisa membentuk karakter masyarakat yang demokratis. Selain itu, masyarakat sipil identik dengan kelompok yang penuh gagasan, cerdas dan beradab. 

Namun belakangan, khususnya di Indonesia, identitas masyarakat sipil mengalami pergeseran, ketika bermunculan kelompok-kelompok yang terlalu arogansi dan tidak beradab. Beberapa masyarakat sipil menggunakan kebebasan semaunya sendiri, yang seharusnya menjadi penengah dalam konflik sosial, agar tidak saling menyakiti, justru belakangan kelompok ini sebagian menimbulkan kekacauan.

Saya khawatir demokrasi dan hak asasi manusia makin disalah artikan. Kesalahan dalam menafsirkan kekuasaan dan kebebasan rakyat kian menjadi-jadi di tengah-tengah masyarakat, bahkan di dalam masyarakat sipil. 

Tak habis pikir, dan sangat ironis, ketika saya melihat pertunjukan video pengeroyokan yang dilakukan anggota Pemuda Pancasila terhadap seorang polisi. Video itu beredar di jagat digital dan menjadi sorotan media di akhir pekan ini. Tak hanya itu, dalam satu pekan yang sama, sebelumnya terjadi bentrok antar ormas Pemuda Pancasila dan Forum Betawi Rempug (baca: Pemuda Pancasila).  

Harusnya semakin banyak masyarakat sipil terbentuk dalam satu negara, makin demokrastis negara tersebut. Namun jika dilihat dari peristiwa-peristiwa tadi, justru masyarakat sipil yang demikian hanya menjadi duri dalam sistem demokrasi. Pertanyaanya, mengapa sih hal itu bisa terjadi?

Demokrasi Tidak Waras

Demokrasi lahir atas nama hak asasi dan kebebasan, tujuannya mewujudkan kedaulatan rakyat. akan tetapi, rakyat yang berdaulat tidak semerta-merta memiliki hak untuk berbuat sesuatu sebebas-bebasnya, tentu masih terikat dengan undang-undang. 

Dalam mewujudkan kedaulatan rakyat, negara dan masyarakat sipil dapat menjalankan demokrasi dengan cerdas, atau tidak dengan kekuatan otot dan kekuatan massa semata. Jika jalan demikian yang ditempuh, baik oleh negara atau masyarakat sipil, itu akan melahirkan ‘Demokrasi Senewen’ atau demokrasi yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak waras. 

Tindakan yang dilakukan anggota Pemuda Pancasila, harusnya menjadi contoh bagi ormas-ormas lainnya, untuk tidak arogan dalam bertindak dan berperilaku. Kelompok seperti mereka merupakan masyarakat sipil  yang harusnya mencerminkan ‘masyarakat yang baik’. Apalagi sikap yang ditunjukkan menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Lantas apa fungsi penggunaan nama ‘Pemuda Pancasila’ itu?

Dikhawatirkan, ada penggiringan opini dari kelompok dan aktor-aktor anti-pancasila bahwa, Pancasila tidak berarti lagi, karena dalam penerapannya bisa kita lihat, telah tercermin pada sikap yang sering ditunjukkan oleh anggota ormas Pemuda Pancasila itu sendiri. Saya yakin menangis para pendahulu yang membidani lahirnya Pancasila itu.

Pendidikan Demokrasi

Jauh sebelumnya, seorang filsuf Yunani, Socrates, mengajarkan bahwa, konflik sosial harus diselesaikan dengan argumentasi atau bermusyawarah, menggunakan ’dialektika’, karena cara seperti itu lebih ‘beradab’, dari  pada mendahulukan kekuatan otot. Pastinya, tidak hanya Socrates, nenek-nenek moyang kita juga mengajarkan demikian. Dan prinsip itu harusnya tertanam di dalam organ masyarakat sipil. Jika belum, maka perlu dipupuk lagi masyarakat sipilnya, bahkan saran saya harus diadakan pendidikan demokrasi.

Tidak hanya bagi ormas Pemuda Pancasila, tapi juga berlaku bagi ormas-ormas lain untuk diadakan pendidikan demokrasi, entah terlepas sudah ada sebelumnya atau tidak, itu merupakan saran saya. Bagi anggota yang sangat awam terhadap konsep demokrasi, setidaknya beri pemahaman kepada mereka bahwa, ada batasan-batasan hukum yang harus dipatuhi dalam melakukan tindakan. Bukan karena sebatas loyalitas terhadap organisasi dan alasan kebebasan, lantas seenaknya melakukan aksi-aksi brutal. Kalau ujung-ujungnya mendekam di penjara, kan kasihan istri dan anak bagi yang berkeluarga. 

Saya pikir pendidikan demokrasi tidak susah diterapkan di dalam ormas Pemuda Pancasila, apalagi banyak pengurus Pemuda Pancasila yang menjadi pejabat, seperti Bambang Soesatyo, Zainuddin Amali, La nyalla Mahmud Mattalitti dan lain-lainnya (tempo.co, 26/11/21). Mereka aktor-aktor politik yang tidak diragukan lagi kecerdasannya. Harapan kami, Pemuda Pancasila bukan masyarakat politik yang hanya dijadikan komuditas politik saja, begitu.  

***

*)Oleh: Fata Pujangga, Founder Gen Demokrasi Digital Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES