Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Uang Yang Beradab

Kamis, 02 Desember 2021 - 10:09 | 43.41k
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Kata Imam Al-Ghazali “uang itu bagaikan ular yang menyebarkan bisa bagi siapa saja yang hidupnya terikat dengannya”.

Apa yang disampaikan filosof dan ahli zuhud itu merupakan peringatan keras terhadap manusia yang hidupnya diserahkan, diabdikan, dan diperbudak oleh uang. Uang dapat menjadi bumerang yang mengakibatkan manusia kehilangan kecerdasan moral dan spiritualnya, karena di dalam diri manusia hanya disibukkan untuk menkalkulasi dan mengikuti arah rotasi uang, tanpa bisa berfikir dengan bening untuk memperlakukan uang sebatas alat pertukaran.

Celakanya, uang kemudian dijadikan sebagai senjata utama atau instrument untuk melemahkan kinerja, mengacaukan wacana, membeli opsi anomali, mengamputasi ideologi, mendegradasi kebenaran, menjungkirbalikkan kejujuran, dan khususnya menghancurkan kontruksi pemerintahan yang benar-benar berbasiskan kerakyatan.

Kredibilitas seseorang atau sekelompok orang yang sejatinya mewakili “daulat rakyat” seperti dewan atau eksekutif, ternoda secara serius akibat mempermainkan anggaran (keuangan) negara.

Itulah “racun” yang ditabur oleh uang yang disalahgunakan oleh   pemakainya. Pemakai hanya mampu menempatkan uang sebagai kekuatan pembunuh yang ganas dan mematikan tanpa berfikir kalau yang dilakukannya ini akan menghancurkan peradaban masyarakat di masa mendatang, atau menghancurkan keadaban rezim lokal.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Jika elitis itu masih berhati nurani dan berprinsip pada sila Pancasila “kemanusiaan yang adil dan beradab” tentulah tak sepantasnya mengail di air keruh, memanfaatkan kesempatan saat berkuasa, atau bereksperimen secara kriminal dengan cara membohongi publik, atau menyalah-alamatkan uang rakyat untuk memuaskan naluri kebinatangan atau ambisi kleptokrasinya.

Ambisi kleptokrasi itu merupakan keinginan meledak-ledak untuk mendapatkan kekayaan dengan cara yang tidak bermoral, mengkhianati amanat, menodai sumpah jabatan, dan melanggar norma agama dan hukum. Ketika ambisi ini diwujudkan dalam perbuatan, maka  apa yang dilakukan ini tergolong sebagai potret perbuatan berklas “maling kundang”.

Dulu Bung Hatta pernah bilang kalau korupsi di negeri ini sudah membudaya. Kritik ini kemudian dijadikan patokan menganalisis gerak perkembangan koruptor di Indonesia, yang gejalanya ternyata membenarkan dan menguatkan sinyalemen Hatta tersebut.

Faktanya, koruptor benar-benar mampu membuktikan dirinya sebagai pemilik budaya struktural  yang sangat patologis dan anomalistik, alias sakit berat yang membuat negeri terus bergeser jadi sekarat.

Membudayanya korupsi di Indonesia memang tidak main-main, karena di hampir setiap sector strategis yang berbau asset publik atau menyimpan kekayaan negara, para koruptor yang dewasa ini disebut sebagai tikus-tikus negara, mampu dan sangat  canggih menggaruk, mengeruk, dan menggerogoti kekayaan negara.

Kekayaan negara atau daerah dijadikan ajang untuk memperkaya diri, kroni, dan keluarga. Mereka berlomba untuk mengeruk atau menjarah sebanyak-banyaknya di berbagai pos APBD misalnya.

Namanya saja sebagai kejahatan yang sudah membudaya dan membumi atau “merakyat”, maka untuk memberantasnya pun jelas tidak gampang, apalagi jika para pemegang kekuasaan tidak totalitas, atau jihad-nya hanya setengah hati dan sekedar mengisi wacana politik kriminalitas.

Dalam “konstruksi kriminalitas” yang telah membudaya, setiap elemennya terikat untuk saling menghormati dan mengadvoaksi. Siapa saja yang mencoba keluar dari kesepakatan, berarti menyerahkan dirinya sebagai musuh bersama (common enemy)

Mereka itu telah sekian lama dan sistemik hidup dalam kubangan kenikmatan bendawi lewat  longgarnya dan dibudayakannya cara-cara “apapun bisa dan aman dilakukan, asalkan lainnya kebagian”, adalah kondisi yang membuatnya sama-sama mengamini dan mendiamkannya.

 Tatkala semua atau setidaknya terjadi pemerataan perbuatan anomaly atau kleptokrasi, maka akhirnya yang berlaku adalah kekuatan mayoritas atau kolektifitas koruptor dengan cara saling mendukung dalam “mengoyak” ketahanan uang negara.

Semakin banyak yang terlibat, kecipratan  atau sama-sama ikut menikmati hasil korupsi APBD, maka kekuatan kejahatannya makinlah terorganisasi dan menjadi  produk “hukum kesepakatan” yang jelas-jelas tidak gampang dibongkar secara tuntas, pasalnya masing-masing pemain telah memainkan perannya dengan “professional” dan sindikatif.

“Kesepakatan” tersebut menjadi ciri khas dunia sindikat, tidak terkecuali di lingkungan birokrat dan poliitisi. Birokrasi sindikasi atau sindikatnya para birokrat sudah terbukti dan “teruji” mampu mengalinasikan hak-hak public.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Tatkala kekuatan strategis bangsa ini sangat kuat mengelola kejahatan terorganisirnya, maka  barangkali suatu kemustahilan produk kejahatannya akan terbongkar, terlebih pada saat menjabatnya.

Praktik semacam itu, dapat dicegah  jika setiap elemen masyarakat terus menerus mengkritisnya. Masyarakat wajib menyuarakan secara keras dan gencar terhadap komunitas elitis yang masih berusaha membuka “ruang” menghalalkan atau menoleransi “penjarahan” uang negara.

Selain itu, berbagai proyek pembangunan atau kegiatan di masyarakat, yang biasanya mendapatkan kucuran dana dari negara, juga wajib “diadili” oleh masyarakat  tentang realitas jumlah dana dengan kebenaran peruntukannya.

Msyarakat mempunyai tanggungjawab yang sangat besar dalam mewujudkan “uang yang beradab”, pasalnya masyarakat itu selain menjadi lokasi perealisasian tidaknya, juga mempunyai mata telanjang yang bisa mengukur tingkat kesesuaian antara uang yang dikeluarkan dengan kualitas proyek pembangunan yang dilaksanakan.

Kalau masyarakat tidak gencar menyuarakan dan beraksi, ditakutkan akan banyak terproduksi tiranis parlemen lokal . Banyaknya tiranis mestilah berdampak serius dalam mendegradsikan atau mengeliminasi hak-hak rakyat. Rakyat miskin akan semakin sulit terbebaskan dari kemiskinannya  di tangan rezim lokal yang bernafsu memiskinkannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Oleh: Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES