Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Terorisme dan Fundamentalisme Kemanusiaan

Senin, 29 November 2021 - 14:54 | 45.28k
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku.
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Menjadi orang baik itu tidak mudah. Di saat seseorang sudah bertekad menjalani kehidupannya dengan nilai-nilai mulia yang menjunjung tinggi kemanusiaan, terkadang ada saja muncul sekelompok orang atau pihak lain yang berusaha dan mengajaknya berbuat di jalur keburukan dan berlawanan dengan nilai=nilai kemanusiaan.

Mereka ini mengajak dengan cara menjebak lewat doktrin yang bermuatan aaaaaaaaaapenisbuian fundamentalisme kemanusiaan, yang pada intinya mmemprokasi dengan berbagai caraa supaya seseorang itu tidak sngguh-sungguh dan kalau perlu mengasingkan hidupnya dari kewajiban berdimensi kemanusiaan.

“Bagian terbaik dari seseorang adalah perbuatan-perbuatan baiknya dan kasihnya yang tidak diketahui orang lain” demikian pernyataan William Wordsworth  yang sejatinya mengajak setiap manusia di bumi ini untuk berlomba berbuat baik pada sesama manusia

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pemberian rasa aman, bebas dari ketakutan, bebas dari kekejaman, bebas dari kebencian, atau bebas dari tercerabutnya hak hidup merupakan sebagian dari aktifitas yang bisa diproduksi dan “disemaikan” manusia atau sekelompok orang yang satu kepada manusia atau sekelompok orang lainnya.

Doktrin yang disampaikan Wordsworth  itu sejalan dengan sabda Nabi Muhammad  SAW “apabila kamu tidak bisa berbuat kebaikan kepada orang lain dengan kekayaanmu, maka berilah mereka kebaikan dengan wajahmu yang berseri-seri, disertai akhlak yang baik”

Pesan Nabi itu jelas, bahwa menunjukkan sikap dan perbuatan yang membuat sesama atau sekelompok orang lainnya menjadi berbahagia atau dapat menjalankan kehidupannya tanpa merasa terganggu, terancam, atau terampas hak asasinya dalam bangunan masyarakat dan berbangsa yang beradab, adalah doktrin fundamentalisme kemanusiaan.

Nabi memberikan opsi demokratis, yang di satu manusia sejatinya diperintahkan berjiwa karitas (dermawan) pada sesamanya, yang nota bene jiwa ini juga menjadi perwujudan istimewa fundamentalisme kemanusiaan, namun disisi lain, jika pada fundamentalisme yang pertama ini sulit dipenuhinya, manusia diperintahkan membangun sikap dan perilaku yang membuat sesama atau sekelompok orang lainnya bisa merasakan kebahagiaan.

Merasakan hidup berbahagia seperti tidak terancam hak berkehidupan dan keselamatannya dimanapun dan pada saat kapanpun merupakan kenikmatan tersendiri dalam relasinya dengan fundamentalisme kemanusiaan. Tanpa ada manusia atau kelompok lain yang menunjukkan komitmen kemanusiaannya, hak asasi itu mustahil terwujud.

Sayangnya, merasakan hidup  berbahagia di tengah masyarakat belakangan ini masih merupakan “barang mahal” yang tidak setiap elemen sosial bisa menikmatinya. Ada saja seseorang atau sekelompok orang yang mendisain dirinya dengan sikap dan perilaku yang belum nirkebinatangan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Hak atas keamanan atau kedamaian publik rentan dikoyak oleh mereka yang (kelompok ISIS) tidak memahami kesejatian fundamentalisme kemanusiaan. Mereka membenci dengan cara menunjukkan pola penghakiman kalau keberadaan seseorang atau sekelompok orang lainnya merupakan produsen aib atau sekumpulan pendosa yang tepat “diekekusi” .

Dalam Sila Kedua Pancasila  yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab” sudah jelas memerintahkan, bahwa manusia Indonesia diwajibkan mengamalkan (memperjuangkan) tegaknya hak berkehidupan yang berkeadaban, dan bukan berkehidupan berlandaskan hajat  kebinatangan.

Pola keberagamaan yang dibangun di masyarakat atau dalam kehidupan bernegara ini wajiblah berlandaskan fundamentalisme kemanusiaan. Beragama tanpa fondasi kemanusiaan bukanlah beragama, tapi sekedar apologisme, eksklusivisme atau stigmatisme beragama.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Bernegara yang beragama dapat terbaca melalui aksi-aksi empiric yang ditunjukkan setiap subyek bangsa, yang menjadikan agama yang dipeluk dan diyakininya sebagai “generator” yang menghadirkan dan memprogresifitaskan rahmatanl lil alamin,  dan bukan menciptakan berbagai pola masifikasi radikalitas (terorisme).

Komitmen kemanusiaan yang berjiwakan keadaban menjadi indikasi utama keberagamaan. Seseorang atau sekelompok orang yang berkomitmen demikian, dalam sikap dan perilaku keseharianya dapat terbaca sebagai subyek bernegara atau bermasyarakat yang dimanapun atau saat kapanpun dan bersama siapapun selalu berupaya “memberikan” yang terbaik, dan bukan memproduksi ragam dehumanisasi dimana-mana.

Itulah deskripsi fundamentalisme kemanusiaan, suatu sikap dan perilaku setiap subyek manusia Indonesia, apapun agamanya, yang ditunjukkan lewat “karya-karya kemanusiaan”, dan bukan pagelaran tragedy kekerasan atau  panggung kompetitif hajat ideologis eksklusif yang tereksplorasi dengan pola kebinatangan  atau “pemenggalan” harkat lewat keragaman modu radikalistiknya. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Oleh: Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES