Peristiwa Daerah

Pegiat Kopi Malang Raya Bersatu Kuatkan Nama Kopi Malang

Senin, 29 November 2021 - 12:20 | 105.07k
Para Pembicara Membagikan Pengalaman dan Ilmu Tentang Kopi dari Sisi Historis, Ekonomi, Politik serta Gaya Hidup. (Foto : Maula Zahra/TIMES Indonesia)
Para Pembicara Membagikan Pengalaman dan Ilmu Tentang Kopi dari Sisi Historis, Ekonomi, Politik serta Gaya Hidup. (Foto : Maula Zahra/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Menggali potensi kopi lokal sekaigus mengangkat kopi lokal sebagai produk kopi unggulan menjadi target para pegiat kopi di Malang Raya. Untuk itu, diperlukan usaha bersama dari hulu ke hilir agar nama kopi Malang bisa lebih terkenal dan diterima oleh penikmat kopi, khususnya di Malang dan Jawa Timur.

Hal ini menjadi garis merah dalam acara diskusi “Eksplorasi Kopi Malang Raya Historis Ekonomi Politik dan Gaya Hidup” yang digelar di Kedai Koopen, Malang, Minggu (29/12/2012) malam. Diskusi ini menghadirkan para pegiat kopi di Malang, mulai Aliansi Petani Indonesia, petani, pemilik kafe, akademisi, dan juga media.

Prawoto Indarto, akademisi peneliti kopi dan penulis buku menyampaikan tips sederhana untuk membuat kopi Malang lebih punya nama dan lebih dikenal lagi oleh orang Malang. Yang pertama adalah menguatkan narasi atau cerita mengenai kopi Malang.

Parwoto penulis buku The Road to Java Coffee mencontohkan perlunya menggaungkan bahwa Malang itu adalah ibu kandung dari seluruh kopi robusta di Indonesia.

Pria yang tengah menyiapkan buku tentang kopi di Jawa Timur ini menjelaskan, di wilayah Gunung Kawi, tepatnya di Kebun Bangelan, kebun andalan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII adalah awal pusat penelitian kopi jenis robusta yang didatangkan dari luar negeri. Di tempat ini pula dilakukan uji kelayakan tanam kopi Robusta untuk pertama kali dan berhasil. Robusta ini yang kemudian disebar dan ditanam di seluruh Indonesia.

Pegiat Kopi Malang Raya bPeserta diskusi menyimak paparan pemateri mengenai Kopi Malang. (Foto : Maula Zahra/TIMES Indonesia)

"Orang Malang sendiri banyak yang tidak tidak tahu cerita semacam ini, bahwa Malang adalah ibu kandung robusta di Indonesia. Sementara, dalam dunia kopi, orang itu tidak hanya membeli rasa tapi juga cerita," ucapnya.

Arif Ipong dari kopi Koopen, sekaligus mewakili pengusaha kafe mengakui jika cerita kopi Malang tidak banyak diketahui. Mereka hanya memahami jika wilayah Dampit, di Kabupaten Malang sebagai daerah penghasil kopi. Padahal di wilayah Malang, terdapat banyak sentra kopi, seperti Karanglo dan daerah lereng Arjuno, atau wilayah Poncokusumo di lereng Semeru.

Bahkan dalam banyak kasus, kopi lokal kalah dari kopi luar. Pengunjung kafe justru mencari kopi Toraja atau kopi Aceh. "Padahal ada kopi Malang juga sama enaknya dengan pengolahan dan pemoresan yang tepat," ucapnya.

Ipong kemudian mencoba mencari cara menaikkan brand kopi Malang, caranya langsung memberi nama kopi ini dari desanya. Seperti menyebut kopi Maduharjo untuk kopi dari daerah Gunung Kawi. Barista juga wajib untuk memberikan pengetahuan tentang kopi Malang kepada pelanggan yang datang dengan cerita biji kopi yang akan diseduh. Selain itu, Koopen juga membuka program SMS, atau Sekolah Meracik Kopi. Program gratis ini untuk memberikan pengetahuan tentang kopi kepada siapa saja yang ingin belajar mengenai kopi.

"Setidaknya orang akan tahu kopi ini berasal dari desa mana, dan dari petani mana, dan kemudian tahu mengolah kopi. Ini yang coba kami bangun," ucapnya.

Sekretaris Jenderal API Muhammad Nuruddin yang ikut hadir dalam diskusi ini menilai, kopi Malang terkadang terkendala pada mutu yang tidak beragam, atau tidak memiliki standar mutu yang diinginkan pembeli. Ini karena masih ada kebiasaan buruk petani di Malang, yaitu memproduksi kopi dengan cara tidak benar, misalnya memetik kopi secara asal-asalan.

Penyebabnya, tidak ada insentif dari pengusaha kepada petani yang berjuang menjaga mutu. Usaha petani yang melakukan petik merah juga kurang dihargai. Selain itu, petani terkadang terdesak kebutuhan dan akhirnya sehingga asal cepat menjual hasil panenannya.

Nuruddin menyatakan, petani perlu menghimpun diri dan berorganisasi bersama. Ini bertujuan untuk menjaga untuk tetap memproduksi kopi berkualitas baik yang pada ujungnya memiliki nilai tawar lebih tinggi. “Di sinilah peran komunitas, baik petani, jaringan kopi, maupun lembaga pendamping,” kata Nuruddin.

Sementara itu, Naning Yusuf, Corporate & Development Director TIMES Indonesia membagikan pengalaman saat ikut membangun branding kabupate Bondowoso sebagai Bondowoso Republik Kopi yang kemudian diwujudkan dalam buku berjudul Bondowoso Republik Kopi.

Naning bercerita, bagaimana orang Bondowoso sendiri tidak paham jika di lereng Gunung Ijen ada kopi arabica yang sejak jaman kolonial Belanda hingga sekarang menjadi primadona pasar kopi dunia. Bahkan menjadi salah satu kopi premium atau terbaik di dunia.

Di sini, TIMES Indonesia kemudian hadir menggaungkan kopi Bondowoso melalui tulisan dan buku, serta acara-acara lain terkait kopi. Hasilnya, kopi Arabica Bondowoso sekarang dikenal oleh masyarakatnya sendiri.

Naning bercerita, sekarang banyak tumbuh kafe dan warung kopi di Bondowoso dan mereka kini bisa minum kopi mereka sendiri, kopi Arabica yang diakui dunia. Dulu, mereka bahkan tidak tahu ada kopi premium tumbuh di tempatnya, yang di pasar dunia harganya mahal dan menjadi incaran industri kopi dunia.

“Hari ini saya seperti de javu saat merintis kopi Bondowoso dulu. Sekarang waktunya Malang Raya yang menyimpan berlian-berlian (potensi) yang harus kita siarkan kepada dunia. Kami (Times Indonesia) sangat concern dalam mengisi konten positif karena jejak digital akan abadi,” ucapnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES