Kopi TIMES

Momen Hari Pahlawan: Berjiwa Heroik-Nasionalistik di Era Digital

Senin, 29 November 2021 - 07:37 | 68.80k
M. Hasanuddin Wahid, M. Hum Sekjen DPP PKB dan Anggota DPR RI dapil Malang Raya
M. Hasanuddin Wahid, M. Hum Sekjen DPP PKB dan Anggota DPR RI dapil Malang Raya

TIMESINDONESIA, MALANG – Pembahasan mengenai digitaliasasi, memang sedang marak terjadi sekitar beberapa tahun belakangan ini. Karena memang perkembangannya yang sudah menjadi bagian dari kehidupan dan menjamur sangat pesat hingga ke tiap-tiap Individu. Hal ini bisa kita saksikan bersama, kala tahun 2020 kemarin, Lembaga HootSuite dan We Are Social, melakukan sebuah riset terkait penggunaan internet di Indonesia. Hasil dari riset tersebut menyatakan bahwa, Indonesia memiliki 175,4 juta pengguna (user) internet per Januari 2020. Hal ini jika dipersentasekan, maka jumlahnya mencapai angka 64 persen.

Setahun kemudian, lembaga ini melanjutkan risetnya dan mencatat bahwa pengguna internet di Indonesia sebanyak 202,6 juta orang per Januari 2021. Sementara jaringan mobile aktif mencapai 345,3 juta, atau 125,6% dari total populasi. Angka yang lebih tinggi lantaran ada penduduk yang menggunakan lebih dari satu gawai saat beraktivitas di internet.

Kalkulasi kenaikan pengguna internet inilah yang kemudian memperlihatkan prevalensi tersendiri, lebih-lebih didukung dengan Program Literasi Digital Kominfo RI-yang dikampanyekan serentak di seluruh Indonesia. Melalui perangkat yang ada, stakeholder menusuk ke pelosok desa untuk mengoptimalisasi perkembangan era digital.

Memang, era globalisasi saat ini turut menghadirkan berbagai aspek kehidupan manusia yang dipermudah oleh berbagai penemuan atau pun pengembangan sebuah teknologi. Diantara aspek kehidupan manusia yang paling pesat berkembang di era globalisasai ini adalah aspek komunikasi yang tersambung dalam jaringan internet. Fenomena ini, telah menggeser cara berkomunikasi manusia, dari komunikasi di dunia nyata menjadi komunikasi di dunia maya. Bahkan eksistensi seseorang juga diukur dengan kepemilikannya akan akun di jejaring social (Zubair, 2010).

Teknologi dan internet memang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Dari hal tersebutlah terciptanya kolaborasi yang menghasilkan sebuah muatan yang bernama media sosial. Hadirnya media sosial tentu, akan menghasilkan dampak positif  dalam kehidupan sosial manusia. Namun, memang tidak bisa dipungkiri, bersamaan dengan dampak positif, media sosial juga turut membawa dampak negative, seperti misalkan efektif digunakan untuk berbagai praktik penipuan, intimidasi, fitnah, provokasi kebencian, dan sejenisnya.

Dalam negara yang beriklim demokrasi, sebuah ekspresi atau ungkapan tidak selaras memang wajar terjadi. Terlebih, sebuah ekspresi yang dikomunikasikan sudah menjadi sebuah hak dan dijamin dalam Konstitusi Pasal 28F. Namun, tentu tidak bisa serta merta bebas dalam mengkomunikasikan sesuatu hal begitu saja. Karena dengan tegas pula dituangkan dalam Konstitusi Pasal 28J, yang mewajibkan seseorang dalam menjalankan haknya, harus menghormati hak orang lain juga untuk menjaga ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

Salah satu praktik berdemokrasi seperti inilah yang perlu dipahami oleh masyarakat Indonesia di dalam perkembangan digitalisasi saat ini. Karena, tren mal-praktik berdemokrasi sudah seringkali terjadi. Khususnya dalam hal mengkomunikasikan suatu hal yang kurang baik atau membangun pola interaksi yang tidak sehat yang dapat mengganggu hubungan harmonis antar masyarakat. Sebut saja salah satu contoh yang marak, yaitu ujaran kebencian (hate speech).

Bahkan, saat April 2021, Kominfo RI telah menangani 3.640 kasus Ujaran Kebencian Berbasis SARA di Ruang Digital sejak 2018 lalu. Fenomena ini tentu sangatlah mengkhawatirkan, karena perkembangan media sosial di zaman seperti sekarang ini dapat dikatakan termasuk sebagai kebutuhan primer manusia. Selain itu, dari tahun ke tahun atau bahkan hari demi hari, jumlah ujaran kebencian yang ada di media sosial sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan hilang atau teratasi.

Kiranya, momentumen yang belum lama ini diperingati oleh Bangsa Indonesia, yakni Hari Pahlawan, dapat dijadikan sebagai turn back point dari permasalahan di atas, agar dapat menjalin-memupuk kembali semangat persatuan bangsa.

Memaknai Hari Pahlawan di Era Digitalisasi

Bicara mengenai ke-pahlawanan, sebenarnya, bagaimana diri kita memaknai pahlawan? Apakah sekadar orang yang mengorbankan nyawanya demi membela tanah air? Apakah sekadar orang yang telah berjasa bagi hidup kita? Atau barangkali dapat bermakna lain? Jika ya, mungkin kita perlu rembukan bersama untuk menyesuaikannya dengan definisi pahlawan masa saat ini. Khususnya, di era digital.

Pahlawan di era digital seperti sekarang ini bukan hanya sekadar orang yang membela negara untuk merebut kemerdekaan. Lebih dari itu, arti pahlawan masa kini, jauh lebih luas. Musuh bangsa, bukan lagi sekedar berupa ancaman yang mengganggu kedaulatan (meskipun hal ini tidak bisa disepelekan), tetapi juga permasalahan-permasalahan lain yang mencakup hampir semua aspek kehidupan – lingkungan hidup, sosial, tenaga kerja, seni, teknologi, dan sebagainya. Dan keseluruhan aspek ini, menuntut adanya satu tindakan ataupun ikhtiar untuk mengatasinya.

Menurut Sidney Hook (1997) bahwa pahlawan adalah Man of Thought, manusia yang menghasilkan pemikiran, kemudian Man of Action and Man of Inspiration. Dalam artian, nilai kepahlawanan terlihat saat seseorang menemukan masalah atau dihadapkan oleh peristiwa yang memiliki konsekuensi yang mendalam, jika ia tidak bertindak sesuai dengan apa yang dilakukannya.

Berangkat dari paparan Sideny Hook tersebut, tentu bagi bangsa Indonesia, khususnya generasi muda saat ini sekarang punya tantangan dalam lanskap ke-Indonesiaan, kebhinekaan hingga menjaga relasi budaya di negeri ini.  Potensi konflik yang besar, ketimpangan ekonomi, hingga tantangan radikalisme-intoleransi sangat nyata di depan mata.

Meresapi (kembali) Nilai-nilai Toleransi Ala Gus Dur

Beberapa problematika di atas, setidaknya dapat mencukupi kesadaran kita sebagai warga bangsa untuk tetap menjaga keutuhan bernegara. Dalam hal ini, sebagaimana yang kita ketahui dan alami bersama, beberapa tahun ke belakang, terdapat suatu fenomena yang patut menjadi kegelisahan kita bersama di ruang digital, yakni fenomena kedangkalan ruang publik (dalam hal ini sosial media), di mana banyak bermunculan narasi-narasi sentimentil kebencian, yang bahkan menjurus ke pengkafiran-pengkafiran sesama muslim. Intoleransi bahkan menjadi salah satu problem dalam kehidupan intra umat Islam hari-hari ini.

Almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), merupakan sesosok figur yang dikenal luas sebagai salah satu cendikiawan muslim ternama Indonesia. Penilaian pribadi saya, di tengah berkembangnya problematika umat dan kebangsaan dewasa ini, terutama yang berkaitan dengan masalah keberagamaan, pemikiran Gus Dur akan selalu menemukan relevansinya sebagai pondasi untuk mengukuhkan suatu laku dalam kehidupan yang majemuk.

Saya masih ingat dengan salah satu karya fenomenal Gus Dur yang diterbitkan pada tahun 2006 “Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi”; Dalam karyanya tersebut, Gus Dur berpandangan bahwa, apa yang disebutnya sebagai “Islamku” adalah Islam yang khas, yang memiliki pandangan-pandangan tentang Islam yang dipahaminya, berangkat dari pengalaman dan perjalanan sebagai seorang muslim.

Dalam konteks ini, Gus Dur tak bias memungkiri bahwa setiap manusia mempunyai pengalaman berislam yang berbeda-beda, yang bahkan sangat memungkinan untuk menghasilkan kesimpulan (tentang Islam) yang berbeda-beda pula.

Menurut Gus Dur, “Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai ‘Islamku’. Oleh karenanya,  watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuataan pemaksa.

Dalam hal ini, berpijak pada pandangan Gus Dur tentang “Islamku”, tentu jelas, menunjukkan bagaimana keterbukaan pemikiran dari sosok Gus Dur. Meskipun menurut Gus Dur kita memang harus merasa bangga dengan pandangan kita yang berbeda dengan orang lain, akan tetapi kalau sebuah pandangan tersebut dipaksakan, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

Sementara itu, yang dimaksud sebagai “Islam Anda” oleh Gus Dur, adalah sebuah klaim kebenaran yang berangkat dari keyakinan, dan bukan dari pengalaman, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.

Lalu kemudian, apa yang dimaksud sebagai “Islam Kita”? Gus Dur mengartikan “Islam Kita”, yakni pikiran-pikiran tentang masa depan Islam. “Islam kita” dirumuskan berdasarkan keprihatinan-keprihatinan dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu mengacu pada kepentingan bersama kaum muslimin.

Hemat saya, dapat disimpulkan bahw dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya. Akan tetapi, yang menyebabkan kita kesulitan dalam merumuskan “Islam kita”, yakni ketika ada kelompok-kelompok tertentu yang berusaha memaksakan tafsirannya sendiri untuk “Islam Kita”.

Dalam konteks inilah, setidaknya menurut saya, pemikiran Gus Dur relevan untuk menyikapi salah satu problematika islamiyah, yaitu ketika dengan mudahnya sesama muslim menyebut sebagai munafik, hanya karena berbeda pilihan politik.

Kita bisa mengambil pelajaran juga dari Gus Dur, bahwa bagaimanapun seorang Gus Dur tidak menyepakati suatu pemikiran, Gus Dur tetap menghormatinya, yang Gus Dur tolak hanyalah saat pemikiran-pemikiran yang menjurus ke pemaksaan hingga kekerasaan. Sebab itu, bagi saya, mempelajari pemikiran Gus Dur, bagaikan menyelami samudera kebajikan yang dapat meningkatkan taraf kehidupan bersosial kita, terutama untuk laku kehidupan majemuk.

Dengan melihat apa yang sudah Gus Dur sampaikan, setidaknya persoalan mengenai kedangkalan di ruang public (khususnya sosial media), dapat sama-sama kita minimalisir agar keutuhan dalam hubungan bermasyarakat akan semakin erat.

Fenomena ujaran kebencian (hate speech) pun menurut hemat saya akan semakin menurun, jika, nilai-nilai toleransi seperti yang sudah disampaikan oleh Gus Dur, dapat terelaborasikan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu perlu kiranya mengerti dan menerapkan Etika dan Hukum Sibernetika,yang merupakan hal penting di era digital. Meskipun kita diberikan ruang sebebas-bebasnya dalam ruang digital, namun, bagaimanapun juga, siapapun kita tidak bisa melanggar hak pengguna lainnya dalam beraktivitas di dunia digital.

Jadi, mari, tinggalkan kebiasaan asal berkomentar negatif semacam hate speech di kolom-kolom yang ada. Dan, perlu kita resapi bersama, bahwasanya dalam momentum Hari Pahlawan ini, bukan hanya tokoh-tokoh yang berpengaruh di dunia digital yang dapat kita jadikan tauladan. Namun, bagaimana lebih menitikberatkan sikap ramah kita kepada para user platform digital lainnya. Hal ini pun sama demikian dengan bersikap nasionalistik; dalam konteks untuk menjaga kerukunan sesama.

Wallahu’alam Bissawab

*) M. Hasanuddin Wahid, M. Hum Sekjen DPP PKB dan Anggota DPR RI dapil Malang Raya

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES