Kopi TIMES

Stigma Mantan Narapidana di Lingkungan Masyarakat

Rabu, 24 November 2021 - 17:30 | 282.77k
Rafi Rizaldi, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.
Rafi Rizaldi, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Membawa gelar mantan narapidana adalah beban tersendiri yang harus ditanggung oleh pelanggar hukum yang telah menjalani masa pidana di Rumah  Tahanan Negara (Rutan) maupun Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Stigma mantan narapidana muncul dari masyarakat yang membuat orang-orang dengan status mantan narapidana sulit beradaptasi dan membuat mereka harus memiliki kekuatan untuk bertahan dari kesulitan serta hambatan yang dihadapi dalam kehidupan sosial. Ironisnya, sedikit orang di masyarakat peduli dengan keberadaan mantan narapidana, atau mengakui keberadaan mereka dalam hubungan sosial dengan kata lain masyarakat bersifat individualistik atau apatis terhadap keberadaan mantan narapidana.

Seolah-olah seorang mantan narapidana yang telah kembali ke masyarakat dianggap orang yang dalam hidupnya akan selalu melakukan kajahatan. Pandangan dari masyarakat tersebut menyebabkan kebanyakan dari mantan narapidana  menarik diri dari kehidupan sosial karena anggapan bahwa mereka dikucilkan oleh sebagian masyarakat, tetapi ada juga mantan narapidana yang sudah tidak peduli dengan  anggapan masyarakat sekitarnya. Entah mereka mau dikucilkan atau tidak itu sudah urusan masyarakat sekitar. 

Stigma negatif yang diterima oleh mantan narapidana merupakan suatu ketidakadilan yang mereka terima. Mantan narapidana telah menerima penghukuman berupa sanksi pidana yang telah mereka jalani di rutan maupun lapas sebagai bentuk penebusan kesalahan yang pernah mereka lakukan. Penebusan tersebut sudah seperti tindakan membayar hutang kepada pemberi hutang.

Oleh sebab itu, ketika mantan narapidana telah selesai menjalani masa hukuman, harusnya mereka diperlakukan sebagai orang yang merdeka seperti pembayar hutang yang telah melunasi hutangnya. Apabila mantan narapidana tidak diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat yang telah menebus kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah terjadinya pengulangan tindakan kriminal (residivis).

Kondisi tersebut sesuai dengan temuan penelitian Bonta dan Andrews (2017), bahwa pengulangan kejahatan yang dilakukan oleh mantan narapidana disebabkan teman antisosial (dukungan sosial dari teman-teman dengan sikap antisosial dan/ atau yang terlibat dalam kegiatan kriminal), keluarga/hubungan (kurangnya dukungan sosial anggota keluarga dan atau hubungan yang penuh konflik dan kekerasan dengan pasangan) dan sekolah/kerja (kualitas hubungan interpersonal di sekolah atau pekerjaan dan kinerja rendah dan keterlibatan).

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Institute For Criminal Justice Reform, Narapidana dalam lapas yang merupakan pengulang tindak pidana / residivis sebanyak 10,18% (data 2017 – 31 Maret 2020) dan 0,07% pengulangan tindak pidana pada narapidana yang dibebaskan karena Covid-19 (per 21 April 2020)

Bukti ketidakadilan lain mengenai mantan narapidana juga dapat dilihat dari marginalisasi dalam dunia kerja. Dalam konteks ini aturan negara secara jelas sudah membatasi setiap mantan narapidana untuk bekerja disektor formal. Kondisi tersebut mengambarkan bahwa ketidakadilan terhadap mantan narapidana  sudah dilegalkan oleh negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS pasal 23 ayat 1 (b) menyebutkan bahwa tiap-tiap WNI berkesepatan yang selaras untuk mengajukan diri sebagai CPNS  tidak pernah masuk penjara berasaskan penetapan pengadilan yang telah berkuatan hukum tetap sebab melangsungkan perbuatan pidana denga penjara dua tahun atau lebih.

PP tersebut bertolak belakang dengan Perlindungan HAM yang telah diakui oleh Indonesia sejak konstitusi pertama yakni UUD 1945 lewat pasal 27 ayat 1 berbunyi ‘’segala warga negara Indonesia selaras derajatnya dalam pandangan hukum dan pemerintahan dan wajib mendukungnya dengan tanpa pengecualian’’. Lalu amandemen UUD 1945 dalam pasal 28 berbunyi: “kemerdekaan berkumpul dan berikatan, menyampaikan pendapat lisan atau tulisan dan lainnya selaras dengan penetapan UU”. dan pasal 28D ayat 3 “tiap-tiap warga negara Indonesia mendapatkan peluang yang seimbang dalam pemerintahan.”

Diharapkan agar pemerintah dan lingkungan masyarakat tidak memberikan berbagai macam bentuk ketidakdilan terhadap mantan narapidana. Karena dari proses ketidakdilan pada mantan narapidana akan membuat diri mereka semakin tertutup dan menjauhi lingkungan sosialnya serta bisa membuat mantan narapidana kembali melakukan tindakan kriminal kepada masyarakat.

Pemerintah dan lingkungan masyarakat dapat merangkul kembali mantan narapidana menjadi manusia seutuhnya sehingga mereka dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.

***

*) Oleh: Rafi Rizaldi, Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES