Peristiwa Nasional

Tanpa Payung Hukum, Dua Bahasa Masyarakat Adat Hilang Tiap Tahun

Selasa, 23 November 2021 - 18:19 | 49.01k
Ilustrasi masyarakat adat baduy. (www.pkpberdikari.id)
Ilustrasi masyarakat adat baduy. (www.pkpberdikari.id)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) Willy Aditya SFil MDM mengungkapkan minimnya keberpihakan Pemerintah terhadap pembahasan RUU MHA di DPR RI. Padahal, RUU MHA sangat dinanti kehadirannya oleh masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia.

Berbicara dalam Diskusi Forum Legislasi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI, Selasa 23 November 2021, menganalogikan pembahasan RUU MHA di DPR seperti mobil tanpa kunci atau kontak. Barangnya ada tetapi tidak bisa dijalankan.

"Saya flashback dulu, kendalanya dimana? Dan DPR periode kemarin kan Surpres sudah turun, Surpres turun, tapi DIM-nya ga ada. Jadi mobil ada, tapi kunci nggak ada," terang Willy dalam diskusi yang juga menghadirkan Pakar hukum Universitas Kristen Indonesia Dr Aartje Tehupeiory SH MH dan Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi.

Sebagai pengantar, Politisi NasDem itu menyinggung kehadiran Presiden Joko Widodo ke agenda Sidang Tahunan MPR 2021 pada 16 Agustus 2021 lalu. Saat itu, Presiden Jokowi tampak bersahaja mengenakan pakaian adat suku Baduy, suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi dan budaya. Pakaian adat suku Baduy itu merupakan politik simbol.

"Presiden Jokowi datang memakai baju ada baduy itu, itu momen paling tepat. Karena politik selalu memberi representatif icon atau politik simbol, jadi kalau dahulu Bapak Soeharto senyum, itu artinya apa atau bapak Hamzah Haz pakai peci ke kiri atau ke kanan, itu artinya apa. Politik simbol itu kan yang memainkan sebuah pengaruh yang luar biasa," kata Willy.

"Bisa dibayangkan, Surpres turun, DIM enggak ada, itu cek kosong. Bagaimana cara melanjutkan? Artinya ada pertanyaan disana, waktu itu ini diusulkan oleh Fraksi Partai Nasdem, oleh dua orang yang memiliki konstituen adat yang luar biasa, pertama Lutfi Mufti yang kedua Sulaiman Hamzah. Yang satu basis adatnya Sulawesi Selatan, yang kedua Sulaiman Hamzah Dapil Papua," sambungnya.

Di penghujung jabatan DPR RI 2014-2019 atau masa injury time, RUU MHA sempat mendapatkan perhatian dengan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun justru mandeg dan tidak ada kelanjutannya. Akhirnya, kata Willay, bubar jalan sejalan dengan habisnya masa jabatan DPR RI waktu itu.

"Saya ingin katakan begini, problem utama kenapa ini tidak disahkan, karena ada narasi negatif yang selalu mendiskreditkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat ini untuk bisa disahkan. Apa yang paling menjadi ketakutan? Vish a vish undang-undang ini dengan pembangunan dan investasi atau konkrit manivesnya, korporasi-korporasi besar," kata Willy.

Karena dihadapkan dengan semangat pembangunan yang digalakkan pemerintah, RUU MHA menjadi jalan di tempat. Padahal ketiadaan payung hukum bagi masyarakat adat menyebabkan dua bahasa daerah setiap tahunnya hilang. Dan, tidak pernah ada kebijakan untuk melindungi bagian besar dari kekayaan Indonesia tersebut.

"Bahasa daerah kita secara gradual hilang setiap tahun, dua bahasa daerah, kekayaan yang menjadi modal dasar. Bagaimana kemudian kita merawat ini, membuat, mengesahkan, undang-undang masyarakat hukum adat itu sama saja dengan merawat modal dasar ke-Indonesiaan, itu yang paling penting," ucap Willy.

"Mari kita sudahi proses ini, kita bangun sebuah pendekatan yang benar-benar ini merawati. Kalau bahasa Jawanya Merti, Merti itu ya merawat, menjaga, memelihara. Merti ini modal republik, itu hal yang fundamental dari kehadiran undang-undang ini," sambungnya.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES