Kopi TIMES

Paradoks Cita-cita dan Realita Pemuda di Masa Ada

Rabu, 24 November 2021 - 04:27 | 101.49k
 Abul Faqih Andre Anugrah ibnu Jasman, Mahasiswa doktoral prodi Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia, Juga berprofesi sebagai dosen, penerjemah, penulis, penyair dan kritikus sastra inggris.
Abul Faqih Andre Anugrah ibnu Jasman, Mahasiswa doktoral prodi Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia, Juga berprofesi sebagai dosen, penerjemah, penulis, penyair dan kritikus sastra inggris.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Jika kita bertanya pada anak- anak yang masih di usia belia ihwal cita-cita. Barangkali kebanyakan dari mereka, kalau tidak mau dikatakan semuanya, akan sahut-menyahut, sambar-menyambar tanpa pikir panjang dan lebar menjawab dengan serampangan apa-apa saja yang terlintas di dalam benak mereka semaunya mereka. Mungkin sebagian besar mereka ingin menjadi “Presiden”, “Dokter”, “Guru”, “Profesor”, dan selainnya yang mana hampir semua cita-cita merujuk pada tokoh-tokoh besar yang mereka kagumi sesaat atau kenali sepintas.

Namun, adakah mereka menyadari secara terperinci “bagaimana caranya menjadi”. Nah, hal ini boleh diwajarkan kepada anak-anak yang masih dalam tahap pembentukan otak, pematangan logika, pertumbuhan fisik dan lain-lain. Tidak sama halnya kepada para pemuda yang tidak lagi di usia balita, mereka seharusnya telah mengetahui “bagaimana caranya menjadi”. 

Tidak sedikit pemuda juga muluk-muluk jika ditanya tentang cita-cita sekalipun mereka tidak memberikan jawaban segirangnya anak-anak. Para pemuda bercita-cita sangat besar, sangat mewah dan sangat mencengangkan sampai-sampai kita bergetar dengan apa yang dideklarasikan lisan mereka. Mungkin ini terinspirasi oleh sebuah pepatah lama yang masyhur di telinga kita yakni “Gantungkanlah cita-cita setinggi bintang di angkasa”. Tidak ada salahnya makna maupun maksud dari pepatah ini betapapun getir rasanya terkecap oleh lidah, terjangkau oleh mata dan terdengar oleh telinga. Tetapi “Tidak Ada Yang Tidak Mungkin Bukan?”.

Kita boleh bercita-cita bahkan sampai ke langit ke-7 asalkan sikap kita mencapai cita-cita tersebut sejalan dengan apa yang telah dicita-citakan. Contoh ringan, seseorang yang bercita-cita ingin langsing namun kegiatan sehari-harinya tidak jauh dari tempat tidur, di depan laptop dan aneka gawai berbelas-belas jam, makan berpiring-piring, kemanapun naik kendaraan, dan lain-lain semisalnya. Apakah ini dikatakan linier dengan cita-cita? Tidak! namun inilah yang disebut dengan Paradoks Cita-cita dan Realita. 

Seorang pemuda rupawan lagi mapan berkata lantang dengan dagu menjulang terpampang di hadapanku: “Saya akan menjadi seorang yang berilmu bak Profesor!”. Tidak ragu lagi menjadi seorang yang berilmu tidak hanya kebutuhan namun keinginan setiap insan yang otaknya masih waras, lurus, dan berfungsi normal. Hanya seseorang yang memiliki gangguan kognitif yang parah yang menafikan pentingnya ilmu dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan seorang Imam besar umat Islam yang begitu masyhur, Imam Ahmad ibn Hanbal (wafat pada tahun 241 H), dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Shaidul Khatir, telah hafal 750 ribu hadist. Al-Imam Ahmad (semoga Allah merahmati beliau) mengatakan bahwa manusia lebih butuh akan ilmu melebihi kebutuhan akan makan dan minum, dikarena makan dan minum hanya dibutuhkan dalam sehari satu atau dua kali. Sedangkan ilmu dibutuhkan setiap saat.

Benarlah pendapat tersebut! Kita butuh ilmu bahkan hampir di setiap helaan nafas kita, tidak hanya dalam belajar formal, informal, bermu’amalah sehari-hari dengan manusia sampai kita ke kamar kecil pun butuh ilmu. Begitu besarnya kebutuhan kita akan ilmu bahkan banyak dari kita ingin menjadi ahli Ilmu yang menjulang tinggi ke angkasa dan menghampar luas bak daratan dan samudra.

Ibnu Jauzi pernah berkata, “Seumpama saya berkata bahwa saya telah membaca 20.000 jilid kitab, hal ini benar adanya!. Bahkan, jumlah kitab yang saya baca lebih banyak dari itu karena sekarang ini saya masih dalam proses menuntut ilmu.” Ketahuilah bahwa jumlah buku yang telah ia baca tersebut adalah semasa ia masih berumuh dua puluh tahunan. Coba kita bayangkan berapa jam Sang Imam menyisihkan waktunya untuk membaca buku dalam sehari, barangkali 24 jam tidaklah cukup baginya dinisbahkan atas aktivitas kegemarannya tersebut.

Masih dalam buku yang sama, Al-Imam berceritra bahwa ketika dia di suatu perpustakaan melihat buku-buku yang dihadapannya seperti santapan yang lezat yang tanpa kesabaran ingin disantap. Pertanyaannya berapa banyak sudah kitab atau buku yang telah kita tamatkan sampai umur kita sekarang? 

Sisi yang kontradiktif dari kebanyakan yang bercita-cita untuk menjadi ahli ilmu adalah bagaimana sikap mereka masuk menuju goa ilmu dan mengambil harta benda yang tersimpan di dalamnya. Sikap maupun aktivitas maupun kegiatan dan seterusnya yang penulis amati dari kebanyakan pemuda yang mengatakan dirinya sebagai penuntut ilmu dan ingin menjadi ahli ilmu begitu tidak sejalan dengan apa yang ia impikan. Kita ambil contoh Imam An-Nawawi seorang ‘alim dan ahli hadis yang selama dua tahun belum pernah punggungnya merasakan nikmatnya terlentang di dipan tidur, ia tidur sambil duduk dengan ragam buku mengelilinginya. Ketika ia terjaga ia kembali ke buku, tidur sejenak lagi, terjaga lagi, dilanjutkannya membaca menulis dan lain-lain. 

Lihatlah begitu jauh ia dari kualitas tidur yang baik yang kata para medis harus delapan jam. Sungguhlah aneh mereka yang merasa senang dan sehat bisa tidur delapan jam sementara ia tidur dengan perut terisi dan otak yang menjerit kehausan dan kelaparan.

Penulis yakin dengan seyakin-yakinnya, telah terjadi kekeliruan dari fatwa para medis akan banyaknya waktu tidur ini. Kalau kita ikuti perkataan medis ini, maka habislah waktu malam kita untuk tidur, sehingga luput dari buku-buku bermanfaat, sholat malam, sahur puasa sunat dan lain-lain.

Apakah ada secuil saja aktivitas sang Imam (AnNawawi dan Ibnul Jauzi) dicontoh oleh para pemuda penuntut ilmu? Jawabnya tidak, sama sekali tidak! Bahkan dalam perihal tidur 8 jam pun belum cukup bagi mereka. Mereka terbangun subuh, sholat subuh dan lanjut murojaah mimpi mereka lagi (alias tidur tahap dua) sampai-sampai mereka melewatkan keberkahan pagi yang telah dijanjikan oleh Sayyidul Anbiya wa Rasul Shallahualaihi wa ‘ala alihi washohbihi wassalam. Nah inilah yang disebut sikap (attitude) dimana sikap ini yang akan menentukan hasil mereka nanti. 

Bak sebuah pepatah yang makruf di Indonesia yakni “Jauh panggang dari api” yang kurang lebih bisa kita katakan bahwa yang dikerjakan telah membelok jauh dari yang jadi cita-cita. Lebih tegas lagi bolehlah dikatakan yang diimpikan jauh dari kualitas diri, tidak menyebutkan mustahil namun mereka yang memustahilkan hasil yang ekspektasikan terjadi.

***

*)Oleh: Abul Faqih Andre Anugrah ibnu Jasman, Mahasiswa doktoral prodi Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia, Juga berprofesi sebagai dosen, penerjemah, penulis, penyair dan kritikus sastra inggris.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES