Kopi TIMES

Mencicipi Perempuan, Album '30' Adele dengan Jembatan Poris Ludruk

Selasa, 23 November 2021 - 15:33 | 51.62k
Widya Amalia.
Widya Amalia.

TIMESINDONESIA, MALANG – Adele, seorang penyanyi asal Inggris ini bukan nama asing lagi di beberapa penikmat musik. Baru-baru ini pula dirinya merilis album '30' pada 19 November 2021.

Album tersebut berisi 12 lagu yang diawali 'Strangers by Nature'. Tidak kalah ciamik pula, Adele membawakan 'My Little Love' yang memunculkan rekaman suara Adele bersama sang putra di album tersebut. Album tersebut sukses menyayat hati para pendengarnya karena mengisahkan perjuangannya untuk bangkit dari keterpurukan kehidupan pernikahan dan keluarganya. Adele memaparkan bahwa album tersebut disusun dalam waktu yang tidak sebentar. Pada sesi wawancara Apple Music, Adele mengaku menghabiskan waktu kurang lebih 2 tahun hanya untuk menulis lagunya. 

Nah, kali ini mari kita lupakan Adele sejenak. Saya sebagai penikmat myuziek memang sangat ingin membongkar satu persatu lagu dalam album tersebut, karena memang dalam kehidupan perempuan, lagu-lagu Adele mampu jadi senjata untuk sekian banyaknya unspoken things. Tidak ada kata 'Terserah' lagi, kalau kamu perempuan, bisa segera meng-copas lirik lagu Adele atau bahkan mengirimkan link lagu penuhnya. Tapi saya teringat bagaimana Pak Becker, memandang bahwa musik adalah hasil dari relasi berbagai 'hal' dalam medan sosial. Entah dari sisi musikologi atau cocoklogi, musik selalu asyik jadi pengantar saya berpendapat fenomena terkini. 

Beberapa waktu lalu ketika saya diminta menjadi moderator acara yang digelar oleh Lesbumi 'Mbeber Klasa' pada tanggal 7 November 2021 kemarin. Saya memiliki kesempatan (atau bahwa wewenang) untuk menggali sisi keilmuan baru dalam dunia ludruk. Bersama seniman tradisi sekaligus Divisi Seni Tradisi Lesbumi PCNU Kota Malang, Sutak Wardhiono, kami membahas bagaimana Poris Ludruk mampu membantu sang aktor untuk mendalami peran di atas panggung. Simple, namun mumet kalau dibedah.

Adalah 'Poris' yang mampu membuat saya tidak bisa tidur selama beberapa malam. Pasalnya, keberadaan Poris dalam dunia ludruk mampu menjadi bahasa atau bahkan metode untuk mengupas sisi seorang aktor, meng-install-nya dengan kekayaan intelektual tokoh, lalu voila jadilah tokoh dalam kehidupan nyata. Meski dalam berbagai sumber ludruk adalah kesenian Jawa Timur yang seakan mudah karena mengemas komedi kehidupan sehari-hari diselipkan kritik, namun nyatanya tidak semudah membalikkan telor dadar. 

Menjadi tokoh yang hidup di atas panggung tidaklah mudah. Bahkan dengan kelas akting kalau memang tidak menyentuh dari dalam, tentu tidak terbentuk sosok tokoh dalam kehidupan nyata. Poris terdiri dari tiga segmen, yakni tepungan, lantaran, wudalan. Tepungan adalah pengenalan sang aktor, untuk dihadapkan dengan tokoh. Lalu masuk ke lantaran yang membedah inti dari sang aktor. Bagaimana sang aktor mampu membedah sisi emosional, wawasan, bahkan sisi ego yang dipegang teguh. Dari sinilah sang aktor harus mampu 'mengosongkan tempat' untuk memasang puzzle yang dimiliki si tokoh. 

Untuk menanamkan jiwa tokoh tersebut, sang aktor harus mampu bergulat dengan sang tokoh dalam dirinya sendiri. Di sinilah ungkapan yang sering kita kenal dengan 'berakting adalah menjadi, bukan berpura-pura'. Apabila sang aktor mengelabui diri sendiri dengan berpura-pura menjadi sang tokoh, artinya gagar di-Poris-kan.

Ketika saya ngobrol tentang hal ini, timbulah pertanyaan saya 'Bagaimana menilai keberhasilan Poris ini dalam diri perempuan?' dan sang narasumber pun justru bertanya balik kepada saya. Haduh, jadilah tulisan ini (yang sedikit curang saya kemas dengan penilaian saya terhadap musik)

Kembali lagi, bagaimana Adele menuliskan album terbarunya '30' yang mampu 'menyakiti' secara lirik dan susunan nada. Bagaimana lagu tersebut mampu memberikan proyeksi gambaran luka dan perjuangannya dengan mudah bahkan di awal lagu, 'Strangers by Nature',

I'll be taking flowers to the cemetery of my heart
For all of my lovers, in the present and in the dark
Every anniversary I'll pay respects and say I'm sorry
For they never stood, chances if they could
But no one knows what it's like to be us

Terjemahan :

Aku akan membawa bunga ke kuburan hatiku
Untuk semua kekasihku di masa sekarang dan dalam kegelapan
Setiap ulang tahun saya akan memberi hormat dan meminta maaf
Karena mereka tidak pernah memiliki kesempatan seolah-olah mereka bisa
Ketika tidak ada yang tahu bagaimana rasanya menjadi kita

Dalam lagu ini, kita bisa berasumsi (dengan ilmu cocoklogi tentunya) bahwa perempuan memiliki banyak lapisan dalam segi emosional, memori, jejak trauma, dan sosok yang dikuburkan dalam dirinya. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perempuan adalah makhluk yang sangat emosional dan lebih cepat mengenal dirinya sendiri. Namun tidak ada jembatan untuk menyampaikannya pada ekosistem sosial pada umumnya. Terlebih lagi, penelitian yang dilakukan oleh University of Basel di Switzerland ini juga mengungkapkan bahwa pada otak laki-laki memiliki volume insula anterior atau volume materi abu-abu yang tumbuh lebih besar pada bagian yang menyebabkan perilaku kurang peka terhadap perasaan dan emosi.

Laki-laki tidak memiliki kesempatan untuk memahami sisi emosional perempuan, dan beberapa di antara mereka memilih untuk tidak membangun jembatan ke dalam sisi tersebut. Itulah mengapa tergambar jelas bahwa perempuan lebih suka memendamnya, karena dia tahu bahwa tidak ada satupun jembatan yang bisa menjelaskan gelombang emosi dalam dirinya. 

Dalam keaktoran perempuan, sejauh ini dipilih bagaimana karakter yang mendekati dan emosi yang mirip dengan tokoh. Bisa jadi, belum ada keberanian pelaku ludruk untuk membongkar 'emosi perempuan' yang sangat tidak terduga seperti toples arisan. Mari kita asumsikan seorang tokoh perempuan yang sehari-hari kesulitan uang harus memerankan tokoh yang kaya, yang jelas sangat bertolak belakang. Ketika segmen tepungan tantangan yang paling berat adalah ekspektasi. Perempuan selalu bermusuhan dengan ekspektasi dan praduga.

Adele menggambarkannya dengan 'kesempatan' yang diberikannya kepada para pasangannya untuk membangun jembatan ke hatinya dan melihat emosinya dengan mata telanjang. Namun hal tersebut tidak pernah terjadi hingga akhirnya dia harus menguburkannya. Perempuan lebih suka mengubur daripada membuang. Tidak seperti laki-laki yang lebih condong membuangnya. Karena perempuan lebih kuat untuk menyaksikan kembali hal-hal yang menyakitinya dengan damai daripada mengingatnya kembali.

Kita asumsikan lagi sang aktor perempuan ini sudah sampai di segmen lantaran, pastilah kita bertanya jembatan seperti apa yang bisa digunakan untuk menjelaskan dirinya? Sedangkan dalam segmen lantaran inilah bagaimana tokoh dan aktor saling berkomunikasi. Bagaimana sang aktor perempuan membongkar dirinya di hadapan sang tokoh yang bahkan tidak tahu dimana jembatannya? 

Barangkali jawabannya untuk sampai ke segmen wudalan adalah berdamai. Perempuan yang telah mengubur 'sesuatu' dalam hatinya pastilah telah memutuskan jejak emosi itu dalam sebuah simbol. Perempuan yang telah berdamai akan dengan legawa menyediakan jembatan untuk dirinya sendiri kepada sang tokoh. Dari sanalah mereka pada akhirnya mampu merasa memiliki satu sama lain untuk bersatu dengan nama tokoh, di atas panggung. 

Dari sini pula, Adele menciptakan albumnya dalam waktu 2 tahun. Ketika banyak musisi lain membutuhkan lagu untuk mencari uang namun Adele menjadikan music sebagai media terapinya. Dia mengurung diri di studio basement-nya setelah perceraian melandanya. Bahkan anaknya mengatakan padanya bahwa dia hanyalah hantu di rumahnya. Dari sanalah Adele akhirnya mencoba membedah dirinya, menjembatani antara seorang Adele dan sosok penyanyi yang bersemayam dalam tubuhnya. Bahkan mungkin sosok ibu, ayah, teman, bahkan siapapun. Dari sanalah dia berdamai, dan tahu kemana arahnya dalam balutan tokoh yang dia perankan, yakni Adele sang penyanyi. Mungkin kalau saya ketemu, saya ingin tanya apa Mbak Adele ingin ikut main ludruk. 

Poris adalah salah satu keilmuan dalam ludruk yang mampu menjadi langkah baik untuk bertahan di masa serba modern ini. Permasalahan klasik bahwa kesenian tradisi semakin hilang dikikis zaman. Banyak pihak yang disalahkan namun tidak pernah menjadi solusi. Namun dengan langkah dicetuskannya teori ini bisa menjadi solusi. Sutak Wardhiono telah mengkaji poris bertahun-tahun, sembari aktif dalam Koalisi Kendho Kenceng, yang tidak hanya ludruk namun juga forum diskusi terbuka.

Berbagai pementasan telah meramaikan panggung kesenian tradisi seperti 'Sawo Kecik', 'Karsinah', 'Rabi Gantung', dan yang terbaru 'RW Dongkol'. Sekitar 17 naskah dan pementasan telah meramu berbagai gagasan, yang akhirnya lahir menjadi Poris. Nah, menjawab pertanyaan 'Bagaimana menilai keberhasilan Poris ini dalam diri perempuan?' Menurut hemat saya, tergantung seberani apa diri kita menerima apa saja yang ada di seberang jembatan itu. 

Seperti kata Adele, 'Will I ever get there? Oh, I hope that someday I'll learn. To nurture what I've done

***

*)Oleh: Widya Amalia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES