Ekonomi

Menteri Luhut Diminta Tidak Cuci Tangan Soal Maraknya TKA China di Industri Smelter

Senin, 22 November 2021 - 14:44 | 34.17k
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto - (FOTO: Dok pribadi)
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto - (FOTO: Dok pribadi)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengingatkan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan tidak lepas tangan dengan banyaknya tenaga kerja asing China (TKA China) di industri smelter nikel. Apalagi dengan alasan, bahwa kita tidak memiliki SDM untuk itu.

Sementara ditengarai banyak TKA yang bekerja di industri smelter tidak berkualifikasi tenaga ahli. Diantaranya malah datang ke Indonesia dengan visa turis. Kondisi ini sangat merugikan tenaga kerja domestik dan pemasukan pajak negara.

"Masak TKA yang datang pada industri smelter ini berkualifikasi pekerja kasar dan dengan visa kunjungan. Ini kan merugikan kita. Pemerintah tentunya harus memastikan soal ini, agar tidak menjadi isu liar di tengah masyarakat," tegas Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Senin 22 November 2021.

Ia menilai, Indonesia memilikI SDM yang siap untuk dilatih mengelola smelter. Smelter milik pengusaha domestik juga ada dan saat ini Mind ID dan PT Aneka Tambang sedang gencar membangun pabrik Feronikel di Halmahera dengan kapasitas 13,500 nikel dan Smelter Grade Alumina (SGA) di Mepawah, Kalimantan Barat dengan kapasitas 2 juta ton per tahun. Begitu juga smelter PT Freeport Indonesia di Gresik.

"SDM Indonesia dapat disiapkan untuk mengelola smelter. Cuma kebijakan politik pemerintah saja yang tidak memihak dan tegas terkait alih teknologi ini," kata Mulyanto.

Menurutnya, kebijakan Pemerintah terlalu memanjakan pengusaha smelter asing. Harusnya ada kebijakan atau perjanjian semacam offset yang mewajibkan pekerjaan kelas menengah dan buruh diserahkan untuk tenaga kerja domestik, tidak bulat-bulat mendatangkan TKA.  

Kalaupun ini tidak bisa langsung dipenuhi, paling tidak dapat dilakukan secara bertahap melalui mekanisme pelatihan alih teknologi. Hal itu disebutkan dia soal pilihan kebijakan dari Pemerintah dan perhanjian dengan pihak asing.

Selain soal TKA, Mulyanto juga mendesak Pemerintah terus mengevaluasi pelaksanaan program hilirisasi nikel ini. Jangan sampai nilai tambah dan efek pengganda (multiplier effect) dari program ini jauh dari apa yang dijanjikan Pemerintah.  

"Hilirisasi nikel ini kan program yang bagus, agar kita tidak mengekspor bahan mentah, tetapi bahan jadi dengan nilai tambah tinggi. Dengan demikian, penerimaan Negara akan meningkat. Selain itu dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal," kata Mulyanto.

Namun, lanjutnya, kalau praktiknya yang dihasilkan hanyalah produk nikel setengah jadi dengan nilai tambah rendah dan maraknya TKA berkualifikasi kasar. Tentu hal ini akan mengecewakan dan tidak sesuai dengan harapan. 

Untuk diketahui, saat ini sebanyak 80% dari produk yang dihasilkan industri smelter nasional adalah bahan setengah jadi feronikel yang berkadar rendah (NPI). Hanya 20% hasilnya berupa stainless steel (SS). Bahan nikel murni untuk industri baterai belum ada. 

Karenanya nilai tambah industri smelter ini hanya mencapai 3-4 kali dari bahan mentahnya. Tidak sebesar 19 kali sebagaimana yang dijanjikan Pemerintah. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES