Kopi TIMES

Mas Menteri dan Asas Fiksi Hukum

Jumat, 19 November 2021 - 17:00 | 83.91k
Nury Khoiril Jamil, Mahasiswa UIN KHAS Jember.
Nury Khoiril Jamil, Mahasiswa UIN KHAS Jember.

TIMESINDONESIA, JEMBER – Baru-baru ini ramai perbincangan terkait dengan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Sekilas dari judul Permen tersebut tentu memberikan angin segar untuk warga kampus agar bisa lebih aman dan nyaman dalam menjalankan aktivitas akademik. Data dari Komnas Perempuan tercatat pada tahun 2015-2020 terdapat 27 persen aduan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi. Kemudian, data Ditjen Diktiristek 2020 sebesar 77 persen dosen menyatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan sebanyak 63 persen tidak melaporkan.

Kendati 'niat baik' yang diupayakan oleh Nadiem Makarim untuk melindungi warga kampus, nyatanya juga ramai penolakan dengan berbagai dalih, khususnya muncul anggapan 'legalisasi zina'.

Salah satu yang menjadi kontroversi adalah pada pasal 5 ayat (2) yang secara eksplisit terdapat frasa yang dianggap sebagai celah untuk legalisasi zina yang berbunyi 'tanpa persetujuan korban'. Bagaimana jika disetujui? Tentu menjadi pertanyaan dalam masyarakat terkait dengan frasa tersebut.

Penolakan frasa tersebut beralasan bahwa, konteks relasi seksual yang tidak Islami (di luar pernikahan) apapun bentuknya tidak kemudian ketika terdapat persetujuan (konsensus) korban menjadi benar. Hal itu merupakan faktor materiil terpenting alasan penolakan Permen tersebut. Secara sekilas, tentu frasa pada pasal 5 ayat (2) tersebut memiliki potensi yang besar atas legalisasi zina.

Namun, apakah benar maksud dari frasa pada Permen tersebut untuk legalisasi zina? Sedangkan pada judul peraturan tersebut adalah untuk pencegahan dan penanganan, tentu akan bertolakbelakang.

Antara Asas Lex Superior dan Asas Fiksi Hukum

Dalam dunia hukum, kental dengan asas hukum yaitu sebagai akar dari peraturan. Asas hukum berfungsi untuk menetapkan wilayah penerapan aturan pada penafsiran, sebagai kaidah kritis terhadap aturan, kaidah penilai, kaidah yang mempersatukan aturan, menjaga/memelihara konsistensi dan koherensi aturan.

Hubungannya dengan Permen ini adalah bahwa jika ditelaah dari segi Asas Lex Superior Derogat Legi Inferior yang berarti hukum yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah (hierarki), maka Permen ini kedudukannya lebih rendah daripada kedudukan undang-undang, yang mana sampai saat ini undang-undang yang secara khusus mengatur tentang kekerasan seksual masih dalam proses penyelesaian (RUU TPKS).

Konsiderans mengingat pada Permen a quo lebih mengarah pada UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Idealnya Permen ini hadir setelah RUU TPKS disahkan, sehingga menjadi turunan dalam UU a quo. Sehingga terkait pengertian-pengertian fundamental dapat menjadi satu padu pada aturan turunannya.

Lain hal, terdapat masalah lain yang sampai saat ini tidak maksimal dalam penyelesaiannya, yaitu tentang keberlakuan asas fiksi hukum. Asas ini menganggap aturan yang telah diundangkan, maka semua orang dianggap tahu hukum (presumption iures de iure) yang secara penerapan tidak efektif. Jumlah penduduk dan kemudahan akses serta pemahaman atas produk hukum tidak maksimal.

Terbukti, sampai saat ini masih ada yang tidak mengetahui Permen ini bahkan misleading, perlu sosialisasi lebih luas untuk mencegah disinformasi sehingga anggapan Permen ini sebagai 'legalisasi zina' tidak dapat dibenarkan, mengingat pada konsiderans menimbang adalah semangat untuk antisipasi dan menumpas kekerasan seksual di Perguruan Tinggi.

Tafsir Hukum dan Harapan Penegakan

Hukum adalah seninya berinterpretasi. Maka, perbedaan penafsiran terhadap teks aturan dapat sangat terbuka untuk berbeda. Perbedaan penafsiran dalam dunia ilmu hukum menjadi hal yang biasa, menjadi penting adalah kekuatan argumentasi terhadap tafsir.

Perihal tafsir Permen yang kini ramai diperbincangkan, khususnya frasa 'tanpa persetujuan korban' merupakan seni dalam tafsir hukum. Setidaknya terdapat dua tafsir dari dua perspektif, yaitu:

1. Pihak Kontra: Frasa 'tanpa persetujuan korban' berpotensi untuk legalisasi zina. Dengan alasan bahwa, jika terdapat persetujuan korban maka dapat diartikan zina dibenarkan atau dibolehkan yang tentu bertentangan dengan norma-norma di Indonesia

2. Pihak Pro: Regulasi yang dibuat adalah secara mendetail kepada kekerasan seksual. Kekerasan seksual memiliki arti kekerasan yang secara reasoning dilakukan secara paksaan dan tanpa persetujuan.

Selain kontra yang terdapat pada pasal 5 ayat (2) tersebut, perlu diapresiasi pula pada ketentuan pasal 6 ayat (3) yang menjelaskan tentang pencegahan melalui beberapa tata kelola yaitu, kebijakan yang mendukung pencegahan dan penanganan, membentuk Satuan Tugas, layanan pelaporan dan sebagainya.

Terlebih pada pasal 12 ayat (2) yang mengedepankan hak-hak korban maupun saksi atas pendidikan tinggi yang dijalani, jaminan perlindungan, bahkan perlindungan korban dan atau pelapor atas tuntutan pidana. SETARA Institute turut memberikan apresiasi terhadap permen tersebut hingga dijuluki 'Permen PPKS Progresif'.

Sembari menunggu ketok palu RUU TPKS sebagai dasar hukum yang bersifat lex spesialis, Permen ini diharapkan hadir sebagai pengisi kekosongan hukum dan solusi kegelisahan atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi.

Fiat justicia ruat caelum artinya keadilan harus ditegakkan, meskipun langit akan runtuh. Penegakan hukum adalah kunci, semangat yang sama dalam menumpas kekerasan seksual dibutuhkan dari semua kalangan, warga kampus dan aparat penegak hukum. Kesadaran saling melindungi satu sama lain adalah menjadi kesuksesan yang pasti dari adanya harapan terhadap Permen ini.

***

*) Oleh: Nury Khoiril Jamil, Mahasiswa UIN KHAS Jember.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES