Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Negara Cerdas Membaca Akar Kriminogen?

Jumat, 19 November 2021 - 12:51 | 47.34k
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.
Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Kalau jadi rakyat, lantas banyak atau sering mengajukan pertanyaan dan kritikan pada negara, maka ini indikasi kalau rakyat ini menghormati atau memartabatkan hak-hak demokratisasinya. Rakyat seperti ini merupakan rakyat yang hidup dan menghidupkan makna kesejatian system demokrasi yang mengawal negaranya. Rakyat yang melakukan atau menunjukkan suara cerdasnya ini tidak hanya berasal dari kalangan terpelajar yang kaya raya, tetapi bisa juga dri kalangan kaum miskin.

Rakyat yang berlaku seperti itu harus mendapatkan banyak dukingan dari berbagai elemen penting masyarakat, karena dukungannya identic dengan ikut memprogresifitaskan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokratis ini bisa terbaca lebih jelas dengan membaca indek marwah negara.

Benarkah pemerintah atau elit kekuasaan memang sungguh-sungguh mempedulikan, memartabatkan, atau memanusiakan orang miskin? apakah selama ini sudah terbukti kalau pemerintah  atau negara  memang memihak orang miskin? atau benarkah setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dimaksudkan untuk membebaskan atau menyejahterakan orang miskin, ataukah justru sebaliknya ”memiskinkan orang miskin”  yang mengakibatkan lahirnya penjahat konvensional dimana-mana?

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kita memang harus terus belajar. Ada pepatah kuno berbunyi “evil causis evil vallacy” atau sesuatu yang buruk terjadi di masyarakat itu disebabkan oleh kondisi buruk yang mempengaruhinya. Penyakit sosial tidak akan sampai marak atau tumbuh subur di masyarakat kalau tidak didahului dan dipengaruhi oleh kondisi buruk. Berbagai bentuk kejahatan tidak akan sampai merebak dimana-mana kalau di masyarakat tidak tersedia atau “disediakan” akar kriminogen yang menyebabkannya.

Sikap dan perilaku patologis tidaklah berdiri sendiri, melainkan ditentukan oleh aspek lainnya. Sikap dan perilaku demikian bukan disebabkan faktor hereditas, tetapi oleh lingkungan atau keadaan buruk yang membuatnya atau ”mendidiknya ” agar menjatuhkan pilihan-pilihan yang kontra produktif, irasional, disobyektifitas, dan tidak menghormati harkat manusia (dehumanis) lainnya,  atau tidak peduli kalau yang dilakukannya menabur dan menyuburkan kebiadaban.

Di kota-kota besar berkemasan metropolistik atau modernistik dan banyak membuka ruang pergumulan hedonistik sangat gampang dijumpai kasus-kasus yang bertemakan sebagai kejahatan bercorak “blue crime”, yang nota bene pelakunya berasal dari elemen masyarakat dari kalangan bawah (lower class).

Sebagai refleksi, beberapa kali kasus perampokan yang diikuti pembunuhan dan pembantaian korbannya belakangan ini dapat dijadikan sampel, bahwa kasus kekerasan yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat atau sekelompok orang tidak bisa dianggap ringan.  Perilaku kriminal sadismenya layak disebut sebagai kriminalitas sangat istimewa (exstra ordinary crime)

Di suatu komunitas yang semula distigma sebagai daerah aman atau tak pernah dirambah kasus kriminalitas, tiba-tiba muncul serombongan orang (preman) yang dengan kejinya melakukan perampokan dan pembunuhan. Pembantu Rumah tangga atau tukang kebon yang semula di-PHK oleh majikannya, tiba-tiba menjadi anggota kelompok preman terorganisir, yang   datang kembali “mengunjungi”  majikannya dengan cara keji seperti merampok dan menganiayanya.

Masa yang lewat mengandung banyak pelajaran. Dan faktanya sudah memberikan pelajaran, bahwa seiring dengan problem kesulitan ekonomi yang menghegemoni masyarakat miskin, tekanan krisis global dan PHK massal yang dilakukan oleh korporasi atau perusahaan-perusahaan di Indonesia yang sudah tidak mampu menghidupi atau menjaga keberlanjutan hidup karyawan atau tenaga kerjanya, telah menjadi bagian akar kriminogen di kalangan komunitas akar rumput.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Ketika buruh atau tenaga kerja kehilangan pekerjaann misalnya, berarti mereka kehilangan penyangga utama konstruksi kehidupan diri dan keluarganya. Atmosfir rentan, terpinggirkan, dan dikalahkan ini membuatnya dan memaksanaya untuk melakukan aktifitas nekad, berbahaya, dan krimialistik.

Komunitas akar rumput yang kehilangan pondasi ekonominya itu masuk dalam babakan baru kehidupan yang menyakitkan atau menafikan keberdayaannya, yakni kondisi kehidupan serba marjinal, kehilangan pengharapan kelayakan kesejahteraan, dan terpuruk dalam kemiskinan.

Saat negara melalui aparat yang berwajib (polisi) dan pilar-pilar pemerintah mengajak kita berani ”berperang” melawan preman atau sekumpulan orang sukanya melakukan ”pemalakam”, rasanya kita akan kesulitan melawan, apalagi mengalahkannya, manakala problem kemiskinan dan pengangguran, semakin komplikatif menghegemoni masyarakat negeri ini. Kalau sebatas berhenti diajakan, barangkali tidak ada yang sulit, namun ketika sudah memasuki perwujudan, jelas bukan hal yang mudah.

Kita tidak akan mampu mencegahnya dari kemungkinan ketersesatan ”opsi” yang dijatuhkannya (orang miskin) ke dalam  wilayah ”abu-abu” atau kriminalitas baru, bilamana mereka terbiarkan terpuruk dalam ketidakberdayaan atay keterjajahannya ini. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis :  Abdul Wahid, Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES