Ekonomi

Teknologi dan SDM Menjadi Hal Krusial demi Keberlanjutan Investasi

Selasa, 16 November 2021 - 11:28 | 27.48k
12th Kompas100 CEO Forum (Foto:JOKO/TIMES Indonesia)
12th Kompas100 CEO Forum (Foto:JOKO/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Isu keberlanjutan menjadi isu yang krusial dan penting dewasa ini. Bagi sebagian kalangan, keberlanjutan ini bahkan menjadi an endless issue yang terus mendapat perhatian dan pengelolaan dari waktu ke waktu.

Bagi dunia usaha, isu mengenai keberlanjutan menjadi bukan hanya menciptakan proses bisnis yang memastikan keberlanjutan lingkungan, baik lingkungan alam maupun sosial, tetapi juga sekaligus merupakan bagian dari memastikan keberlanjutan bisnis perusahaan itu sendiri.

Hal ini disampaikan oleh Arif Mujahidin, Communication Director Danone Indonesia, dalam CEO Live Series #3 yang diselenggarakan dalam rangkaian 12th Kompas100 CEO Forum: Ekonomi Sehat 2022 Powered by East Ventures, Senin, 15 November 2021, di Jakarta.

Dalam acara tersebut hadir juga Ketua Tim Ahli Kementerian Perdagangan RI Bayu Krisnamurthi, SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero) Daniel S. Purba, EVP Electricity System Planning PT PLN (Persero) Edwin Nugraha Putra, dan Director Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri Bernard A. Riedo.

Danone Indonesia memiliki satu slogan unik yang menggambarkan betapa pentingnya keberlanjutan bagi Danone Indonesia, yakni One Planet, One Health. “Kita hanya punya satu planet, dan kita hanya hidup di bumi ini satu kali. Sehingga apa pun yang dilakukan, kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merusak planet dan merusak kesehatan. Jadi antara human health dan planet health itu sangat interconnected,” kata Arif.

Ia melanjutkan, inisiatif Danone Indonesia, selain menempatkan lingkungan alam sebagai bagian yang penting, juga menempatkan manusia sebagai sesuatu yang tak kalah penting.

“Pada hakikatnya sustainbility bagi dunia usaha bukan hanya berarti menjaga keberlangsungan lingkungan dan masyarakat sekitar. Tapi yang juga tak kalah penting ialah sebenarnya bertujuan untuk menjaga perusahaan tersebut tetap dapat beroperasi dan sustain.

Pada saat pandemi ini, yang dimulai dari krisis kesehatan akhirnya bisa menjalar menjadi krisis di mana-mana.Dua tahun terakhir situasi juga sangat penuh ketidakpastian.

“Tapi kami percaya, jika diselesaikan bersama-sama, kita akan melewati ini semua. Kami ikut membantu dengan apa yang bisa kami lakukan, mendukung prasarana kesehatan, vaksinasi. Saat kini Indonesia mulai pulih, sangat terasa sekali di perusahaan. Produktivitas meningkat, kegiatan bisnis mulai terasa. Itu indikator yang sangat jelas bahwa kita tidak bisa berdiri sendiri. Sustainability sangat interconnected dan membutuhkan kolaborasi. Perusahaan yang baik kalau dulu hanya memikirkan shareholder, kini yang dipikirkan ialah stakeholders, pemangku kepentingan yang lebih luas, termasuk konsumen, masyarakat, regulator, dan lain-lain,” ujar Arif.

Bahkan apa yang dikatakan Arif ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Daniel S. Purba, SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero).

Menurutnya, bagi institusi usaha migas seperti Pertamina, yang memang padat modal dan mengandung risiko tinggi, menjalankan prinsip-prinsip sustainability dengan sendirinya berarti memberikan kepastian usaha bagi perusahaan itu sendiri.

“Untuk upstream seperti produksi minyak, misalnya. Bisa jadi kita melakukan pengeboran hari ini, tetapi produksinya baru bisa kita lakukan dalam lima tahun ke depan. Atau untuk gas, kita eksplorasi, bersyukur bila mendapat gas hari ini, baru 10 tahun lagi baru bisa kita jual. Jadi spektrumnya bisa sangat panjang sifatnya. Itu sebabnya isu-isu sustainbility bagi perusahaan seperti Pertamina ini menjadi isu yang superkritikal bagi perusahaan, apalagi di mata investor,” papar Daniel.

Diketahui dari paparan Daniel, meskipun Pertamina menyusun RJPP dalam lima tahun, tetapi proyeknya bisa sampai 10-20 tahun. Contohnya untuk renewable energy yang hari ini secara portofolio bisnis (Pertamina) masih sekitar 1%, masih sangat kecil sekali. Tapi kita sudah rencanakan dalam 10 tahun ke depan, atau tahun 2030, kita sudah proyeksikan sampai ke 17%. Jadi 17 kali lipat lebih besar dari yang sekarang dalam tempo 10 tahun ke depan.

“Ini adalah bagaimana kita merespons energi transisi. Mengapa, karena ini bagian dari kita memastikan sustainability perusahaan ini,” tutur Daniel yang juga mengatakan bahwa adalah suatu keniscayaan semua pihak nantinya akan bergerak menuju energi baru dan terbarukan,” terangnya.

Bahkan pemaparan Daniel juga menjadi perhatian dari PT PLN (Persero), Edwin Nugraha Putra, EVP Electricity System Planning PT PLN (Persero) yang menyampaikan, PLN melakukan dua pendekatan konseptual terkait penggunaan energi dalam pembangkitan listrik.

Kedua konsep ini, disampaikan Edwin, sangat tergantung dengan perkembangan teknologi. Pendekatan pertama ialah terhadap pembangkit-pembangkit listrik bertenaga fosil yang telah dibangun oleh PLN.

Bahkan ke depan, PLN justru melihat masa depan akan mengandalkan penuh sumber energi terbarukan ini. Terkait hal ini, PLN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL)-nya telah memasukkan energi baru dan terbarukan ke dalam RUPTL tersebut.

“RUPTL  yang kita hasilkan sekarang, kita berani sebut sebagai RUPTL yang paling hijau karena 51,2 persennya itu merupakan pembangkit-pembangkit renewable energy. Dulu itu biasanya yang masuk adalah pembangkit-pembangkit (dengan sumber energi) fosil. Nah, ini sebagai jembatan utama. Untuk jangka panjang, pada 2060, PLN juga akan menerbitkan apa yang disebut Carbon Neutrality 2060, bagaimana pembangkit-pembangkit energi fosil ini secara bertahap akan kita reduce emisinya sesuai dengan perkembangan teknologi. Kemudian hingga 2060 nanti, beban-beban yang naik akan kita layani dengan renewable energy,” papar Edwin.

Sementara menurutnya lagi, penggunaan renewable energy seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), saat ini memang masih menghadapi tantangannya sendiri, terutama terkait intermentensi yang tinggi. “Untuk PLTS ketersediaannya hanya siang hari. Kita tentu tidak mungkin mengatakan kepada pelanggan agar mereka hanya pakai listrik di siang hari. Bagaimana dengan di malam hari? Nah, teknologilah nanti yang akan menentukan. Bagaimana teknologi baterai yang ada sekarang ini dengan keterbatasannya, terutama masalah harga, nanti akan bisa berkembang sehingga memungkinkan kesiapan dan harga yang lebih murah dan bisa bersaing dengan energi fosil yang melayani beban dasar. Sampai dengan teknologi ini berkembang, maka untuk keberlangsungan bisnis dan keberlangsungan kelistrikan, energi fosil yang kita pakai harus dilengkapi dengan peralatan teknologi yang dapat mereduksi emisi yang dihasilkan,” tutur Edwin.

Senada juga disampaikan oleh Bernard A. Riedo, Director Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri, bagi industri sawit. Menurutnya, industri sawit termasuk industri yang heavy regulated. Ada banyak standar-standar yang harus diterapkan, yang bahkan lebih banyak bila dibandingkan dengan industri minyak nabati lainnya. “Di satu sisi kita harus berbangga bahwa memang kenapa kita diperlakukan standar seperti itu, itu karena kita punya daya saing yang cukup tinggi. Competitive advantages kita tinggi, produktivitas kita tinggi, sehingga ini menjadi suatu persaingan dagang di mana sawit diharapkan lebih sustainable.” ucap Bernard.

Ia berharap ke depannya kerjasama tersebut tidak hanya berhenti di generasi kedua, tapi berlanjut ke generasi ketiga, keempat, dan seterusnya. “Dengan pengalaman panjang tersebut, pada 2018 Asian Agri telah mencapai pada apa yang kita sebut One to One Commitment, di mana satu hektar perkebunan inti berbanding dengan satu hektar perkebunan kemitraan. Jadi saat ini Asian Agri sekitar 100 ribu hektar, kemitraan kita itu sudah sekitar 100 ribu hektar juga,” papar Bernard.

Ketua Tim Ahli Kementerian Perdagangan RI. Terkait sustainability, Bayu Krisnamurti bahkan menyambut baik apa yang dipaparkan oleh Bernard.Ia berharap, meskipun setiap industri mempunyai standarisasi sendiri-sendiri, namun tetap memiliki standar-standar dan praktik terbaik masing-masing

 “Karena standardisasi untuk sawit jelas berbeda dengan listrik, beda dengan migas. Salah satu yang jadi semangat Sustainable Development Goals (SDGs) ini bukan regulasi. Yang ditetapkan itu tujuan, caranya kembali ke pelaku industri sesuai dengan karakteristik masing-masing industri,” paparnya.

Selanjutnya, dari sisi Kementerian Perdagangan, Bayu mengatakan saat ini aspek sustainability telah menjadi salah satu tema diplomasi internasional yang terpenting. Hal tersebut dilakukan baik dalam konteks perundingan maupun dalam diplomasi perdagangan yang konteksnya promotif. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES