Pendidikan

Tuai Pro Kontra, Begini Kata Dosen Unair Soal Permendikbud Terkait PPKS

Senin, 15 November 2021 - 19:51 | 69.24k
Dosen Hukum Universitas Airlangga (Unair) Dr. M. Hadi Subhan. (FOTO: News.Unair.ac.id)
Dosen Hukum Universitas Airlangga (Unair) Dr. M. Hadi Subhan. (FOTO: News.Unair.ac.id)

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengeluarkan aturan atau Permendikbud Nomor 30 tahun tentang 2021 tentang pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Aturan ini pun menuai pro konta di berbagai kalangan.

Padahal, tujuan Kemendikbud mengesahan aturan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 itu dilatarbelakangi karena maraknya kasus kekerasan seksual secara langsung maupun tidak langsung  yang dialami oleh warga kampus. Hal itu tentu bisa berdampak pada kurang optimalnya pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Dosen Hukum Unair Dr. M. Hadi Subhan mengatakan bahwa di dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tertuliskan suatu lembaga bisa membuat peraturan atas dasar dua hal, yaitu diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau  karena menjalankan urusan yang menjadi kewenangannya.

“Jadi, meskipun UU PKS sendiri masih digodok oleh DPR, namun secara aspek formal Kemendikbudristek sebagai penanggung jawab pendidikan tinggi tetap berwenang membuat peraturan PPKS,” jelas dosen Fakultas Hukum UNAIR itu,  Senin (15/11/2021).

Dosen yang akrab disapa Hadi itu menerangkan bahwa secara substansi, ia menilai PPKS sangat baik sebagai preventif dan settlement kepada korban yang mengalami kekerasan seksual.

Sementara, terkait dengan tuduhan melegalkan zina, pihaknya menilai ada kesalahan dalam menafsirkan kata ‘tanpa persetujuan korban’. Menurutnya, persetujuan di dalam kaca mata hukum memiliki makna ‘tanpa hak’. Dengan begitu, Hadi menuturkan tidak ada korelasi antara PPKS dengan anggapan free sex atau zina.

“Tidak bisa diartikan kalau korbannya mau ‘disentuh’ berarti boleh dan itu zina. Konsepnya adalah meskipun saling setuju tetapi tidak memiliki hak secara norma hukum agama, etika, dan hukum ya tetap saja tidak boleh melakukan,” tekannya. 

Terkait dengan sanksi yang diberikan pada pelaku kekerasan seksual, dosen yang juga menjabat sebagai Direktur Kewahasiswaan (Dirmawa) UNAIR itu mengatakan pihak kampus hanya bisa memberikan hukuman secara administratif.

“Kalau misalkan mau menghukum pelaku secara pidana itu menjadi kewenangan korban untuk melapor pada pihak terkait, karena hukum pidana sudah menjadi urusan negara. Dalam hal ini, kampus hanya bisa melakukan hukuman berupa DO atau hukuman administratif lainnya,” pungkasnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES